Rencana Kudeta Ekstremis Sayap Kanan di Jerman
Awal Desember lalu, publik Jerman dikejutkan dengan penangkapan empat orang anggota kelompok sayap kanan yang berencana melakukan kudeta terhadap pemerintah yang berkuasa dengan melancarkan serangan bom dengan daya ledak tinggi. Grup teroris tersebut awalnya ingin menciptakan huru hara dengan tujuan menggulingkan sistem demokrasi yang kini dianut oleh pemerintah Jerman. Dari penyelidikan sementara, para pelaku terafiliasi dengan gerakan Reichsburger dan sempat terlibat dalam protes besar-besaran terhadap pembatasan gerak akibat COVID-19.
Kelompok ini menilai pandemi corona beberapa waktu lalu hanyalah akal-akalan pemerintah semata dan kegusaran akibat pandemi mendorong mereka untuk memberontak terhadap elit pemerintah yang menjabat sekarang. Bahkan, dalam rencana pemberontakan, mereka sempat akan menyandera menteri kesehatan Karl Lauterbach.
Profil Reichsburger dan Ancaman Sayap Kanan Jerman
Reichsburger, secara sederhana dapat diartikan sebagai warga Kekaisaran Reich, kelompok sayap terorganisir yang belum rela sepenuhnya ketika wilayah kekuasaan Reich harus tunduk pada pemerintahan federal Jerman yang terlegitimasi di tahun 1945. Meski rencana penggulingan pemerintah mereka gagal total beberapa waktu lalu, gerakan mereka tidak bisa dipandang sebelah mata. Sebab, agensi intelijen melaporkan bahwa anggota-anggota mereka rata-rata memiliki senjata, dan ada juga yang tergabung dalam pihak keamanan serta hukum di sana.
Bukti penyelidikan lain mengungkapkan bahwa mereka memiliki hubungan erat dengan partai sayap kanan Jerman, Alternative für Deutschland (AfD), yang kini mendapat sejumlah kursi di parlemen. Tak heran, dengan anggota yang berada pada lingkaran internal pemerintah, mereka dengan leluasa merencanakan pemberontakan yang dimulai dari dalam. Sekarang, setelah rencana kudeta mereka gagal, publik mulai mengkhawatirkan ancaman mereka ke depannya. Terlebih, pemerintah Jerman dinilai lebih serius menanggapi gerakan ekstremis sayap kiri dan kelompok radikal yang mengatasnamakan Islam daripada kelompok right-wing.
Kritik terhadap pemerintah Jerman tadi bukan tanpa data. Jika ditilik ke belakang, pemerintah Jerman memang baru serius memperhatikan ancaman sayap kanan dalam tiga tahun terakhir. Padahal jumlah kasus yang melibatkan kelompok ekstremis ini telah meningkat tajam dalam 10 tahun, bahkan angkanya 15 kali lipat lebih tinggi dibandingkan yang terjadi pada tahun 1990. Serangan yang dilancarkan mereka bahkan jauh lebih bervariasi, dari perkelahian fisik dengan imigran, pembunuhan yang dimotivasi oleh rasisme hingga tindakan antagonis terhadap Muslim (Alizade, dkk, 2022).
Lalu, mengapa Jerman terlambat merespon meningkatnya sentimen sayap kanan? Salah satu jawabannya berkaitan dengan aspek sejarah. Pada masa lampau, khususnya pasca perang dunia, Jerman tidak sepenuhnya mengganti anggota Nazi dalam parlemen, meski sistem pemerintahan mereka telah berubah. Bahkan, awal dekade perang dingin waktu itu, mereka mempertahankan mantan anggota nazi karena sedang fokus memerangi ekstremis sayap kiri, seperti Baader-Meinhof dan gerakan 2 Juni. Konsentrasi penuh terhadap pergerakan radikalisme sayap kiri, membuat pemerintah tidak menyadari bahwa gerakan sayap kanan bangkit kembali, dengan pertumbuhan yang cukup pesat.
Pembiaran gerakan ini selanjutnya berujung fatal. Pada tahun 2000an lalu, mereka bahkan sempat melakukan pembunuhan berantai yang mengakibatkan tewasnya sembilan imigran dan seorang petugas kepolisian dari tahun 2000 hingga 2007. Bahkan serangan sejenis masih terus dilancarkan dengan mentargetkan warga pendatang dan politisi yang pro kebijakan imigran.
Ancaman sayap kanan yang makin berbahaya sayangnya tidak direspon serius oleh pemerintah, termasuk anggota parlemen. Riset yang dilakukan oleh sejumlah akademisi termasuk sejarawan Katja Hoyer mengungkapkan bahwa kelompok sayap kanan kini kian terorganisir. Jejaring mereka bahkan jauh lebih merata. Mereka tidak terpaku pada gerakan akar rumput, tapi anggota mereka pun ada yang menjadi bagian dari pihak penegak hukum. Katja secara tegas berargumen, “kelompok mereka bukan hanya anak-anak muda yang penuh emosi.
Lebih dari itu, anggota mereka jauh lebih beragam, ada dari guru, pengacara, hingga hakim. Oleh karenanya, gerakan mereka sulit terendus karena mereka ada di tengah-tengah masyarakat normal Jerman”. Gagasan mereka bahkan tidak lagi tersebar secara eksklusif. Propaganda mereka, sama seperti gerakan radikal lainnya, disebarkan secara masif lewat media sosial. Tak jarang pula, mereka merekrut anak-anak muda yang masih polos dengan tujuan regenerasi dan kaderisasi berkelanjutan.
Menilik situasi yang ada, terlihat nyata bahwa ancaman kelompok sayap kanan di Jerman perlu direspon lebih serius oleh pemerintah di sana. Sebab, bila dibiarkan terus berkembang, bukan tidak mungkin sistem demokrasi Jerman akan kian terdegradasi dan dapat sewaktu-waktu digulingkan secara paksa.