Dalam dua minggu terakhir di bulan Desember, otoritas keamanan Jerman telah menangkap sejumlah anggota kelompok sayap kanan yang berencana untuk menggulingkan pemerintahan yang berkuasa. Menurut jaksa federal, pihak keamanan Jerman melakukan penggeledahan di 130 lokasi untuk menangkap jaringan yang akan melakukan pemberontakan dan menjatuhkan pemerintahan demokratis.
Bahkan dalam penggerebekan yang dilakukan oleh aparat, outlet media Jerman Der Spiegel melaporkan bahwa barak unit pasukan khusus militer di kota Calw merupakan salah satu lokasi yang diperiksa. Meski begitu, pihak pemerintah Jerman menolak untuk mengkonfirmasi atau menyangkal bahwa barak telah digeledah. Keterangan sementara yang berhasil diperoleh mendapatkan kesimpulan bahwa organisasi teroris tersebut sedang berupaya menjungkirbalikkan tatanan negara yang ada di Jerman dan menggantinya dengan bentuk negara mereka sendiri.
Untuk mempercepat pencapaian tujuan tadi, kelompok sayap kanan yang berafiliasi dengan gerakan Warga Negara Reich ini dicurigai menggandeng sejumlah angota militer dan pejabat partai. Sebab, berkolaborasi dengan internal pemerintah, akan membantu pencapaian final mereka. Walau realitanya mereka tertangkap lebih dulu sebelum menjalankan aksinya.
Bukan hanya di Jerman saja militer diindikasikan memiliki hubungan erat dengan gerakan sayap kanan. Di Amerika, Komisi Perlawanan Ekstremisme menemukan bahwa ada sekitar 100an kasus radikalisme yang melibatkan anggota militer sepanjang tahun 2021.
Kasus terakhir melibatkan Francis Harker, anggota militer yang terkoneksi dengan kelompok sayap kanan. Setelah terbukti bersalah, ia dijatuhi hukuman empat tahun penjara akibat tergabung dalam perencanaan penyerangan terhadap kepolisian di Virginia Beach. Sebelum tertangkap, Francis terlihat membawa poster besar bertuliskan, “there is no God but Hitler”. Barang bukti lain yang diambil dari Francis yaitu bom Molotov dan senapan semi otomatis.
Akibat aksi Francis, pemerintah setempat kemudian menerbitkan aturan terkait pembatasan pidato politik dalam apel dan upacara di tubuh militer. Secara spesifik, poin regulasi baru itu melarang semua advokasi dan pernyataan yang bertujuan untuk mempromosikan ideologi tertentu. Cakupannya pun tidak sebatas advokasi lisan, pernyataan atau postingan di media sosial pun akan diterapkan aturan sama.
Meski bertujuan mulia, yakni untuk mencegah menyebarnya ideologi ekstremisme dalam tubuh militer, namun aturan ini nyatanya menuai pro kontra. Banyak pihak menilai bahwa regulasi yang diterbitkan menciderai hak konstitusi individu untuk menyampaikan pendapat dan dukungan sebebas-bebasnya. Sehingga peraturan yang ada justru menyalahi sistem demokrasi yang telah lama dianut oleh Bangsa Amerika.
Tantangan dan Problematika Radikalisasi di Tubuh Militer
Sergio Olmos, jurnalis internasional asal Oregon mewartakan bahwa bibit ekstremisme dalam tubuh militer sebenarnya bukan hal baru. Mengambil contoh dari sejumlah kasus di Amerika Serikat, Sergio mengutip pernyataan beberapa pensiunan jenderal yang mengakui bahwa problem radikalisme sayap kanan sudah lama ada, namun tak pernah diselidiki secara mendalam. Kelengahan ini lah yang selanjutnya dimanfaatkan oleh gerakan sayap kanan untuk melancarkan Capitol attack beberapa waktu lalu.
Di Jerman, fenomena yang sama juga terjadi. Bedanya, ancaman sayap kanan di Amerika yang meningkat drastis dan selanjutnya berbuah pada kesuksesan nasionalis radikal dalam menduduki simbol negara, menjadi alarm pemerintah Bavaria. Dengan strategi yang diterapkan lebih sigap, otoritas Jerman akhirnya mampu menggagalkan kudeta sayap kanan sebelum mereka mengeksekusi rencana.
Meski gerakan sayap kanan lebih banyak berada di lingkup lokal atau kawasan negara. Namun,tidak dipungkiri ke depan jejaring mereka akan semakin kuat bila tidak ada kebijakan deradikalisasi secara efektif. Merujuk pada data yang dihimpun oleh Paul Eaton, pensiunan militer sekaligus penasihat senior LSM VoteVets. Masih banyak data kelompok sayap kanan yang tak terendus pihak berwajib.
Bahkan ditengarai mereka juga semakin masif melancarkan propaganda radikal tidak hanya pada anggota militer saja, tapi juga kepada anak-anak muda usia sekolah. Dengan kondisi tersebut, bukan tidak mungkin dalam 5-10 tahun ke depan, mereka mampu merekrut lebih banyak anggota untuk kemudian melancarkan serangan lain terhadap pemerintahan yang sedang berkuasa.
Sejalan dengan pendapat Paul Eaton, temuan dari Kristofer Goldsmith, veteran perang Irak dan peneliti terorisme juga mengindikasikan bahwa pertumbuhan gerakan ekstremisme sayap kanan bertambah dua kali lipat dalam beberapa tahun terakhir. Dalam riset terakhirnya, Kristofer bahkan mengungkapkan fakta baru bahwa kelompok nasionalis radikal ini sengaja mentargetkan veteran militer untuk memperluas jejaring mereka.
Hal ini disebabkan bahwa para veteran jauh lebih terbuka akan gagasan mereka, dan kemudian mampu mengajak anggota bawahannya untuk mengikuti doktrin yang sama. Menilik berkembangnya problem ekstremisme terutama di Jerman dan Amerika, Kristofer berpesan bahwa gagalnya aksi satu kelompok ekstremis bukan berarti mereka telah selesai diberantas. Justru kegagalan mereka harus menjadi alarm bahwa kelompok tersebut pasti akan berusaha mencapai tujuan sama, hanya mungkin dengan cara berbeda.