29 C
Jakarta
Kamis, 12 Desember 2024

Menggugat Eksistensi Perempuan dalam Keluarga di Balik Suami Teroris

Membahas posisi keluarga dalam lingkaran terorisme memang tidak ada habisnya. Ada banyak celah yang bisa kritisi dalam bangunan keluarga patriarki yang sudah tersistem. Pola tersistem ini mengakar pada pola pikir yang dimiliki oleh diri kita masing-masing untuk memposisikan masing-masing anggota keluarga. Posisi suami dalam sebuah keluarga yang kita pahami adalah seorang imam, pemimpin.
Layaknya seorang imam, ia merupakan pelindung bagi keluarga ataupun sosok yang akan membawa kemana langkah keluarga itu akan berlabuh.

Segelintir kisah seorang istri, dibalik suaminya yang ditangkap oleh densus 88 dan menjalani hukuman di penjara kemudian mendapatkan deradikalisasi, harus menanggung beban sangat berat. Bagi seorang istri yang tidak mengetahui betul seluruh aktivitas yang dilakukan oleh suaminya, ia akan sangat shock tatkala mendapati suaminya ditangkap oleh pihak kepolisian. Baginya, ini adalah babak baru dalam kehidupannya yang sangat kelam. Sebab ia akan menangung semua kehidupan seluruh anggota keluarga terutama anak-anaknya.

Pertama, terpaksa menjadi kepala keluarga. Seorang istri yang selama ini hanya bertugas pada bagian domestik, tidak pernah memiliki pengalaman untuk mengurus bagaimana cara mendatangkan uang untuk mencukup kebutuhan keluarga, akan merasa sangat tertekan ketika dihadapkan dengan tanggung jawab untuk mencari nafkah. Tanggung jawab ini tidak selesai karena ditambah dengan mengurus domestik. Dari sinilah dapat dipahami bahwa, beban perempuan dalam posisi ini akan menjadi sangat mengerikan ketika tidak mampu memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarganya.

Kedua, dalam ranah sosial khususnya hubungan sosial dengan masyarakat, ia akan dikucilkan, dihina bahkan dihakimi oleh masyarakat karena suaminya adalah teroris. Meskipun sang suami belum terlibat secara langsung untuk melakukan aksi pengeboman, tetap saja, masyarakat akan terus memberikan stigma buruk terhadap ia dan semua anggota keluarganya. Bagi anak-anaknya, rentan sekali mengalami bullyng, penghakiman, yang berakibat pada terciptanya rasa tidak percaya diri untuk menjalani kehidupan di masa yang akan datang.

Gambaran ini dijelaskan dalam novel yang ditulis oleh Abidah el Khaleqy yang berjudul, ‘Akulah Istri Teroris’. Dalam novel ini, penulis menjabarkan secara rinci bagaimana kehidupan seorang istri teroris yang sama sekali tidak memiliki celah untuk hidup nyaman dan aman. Berdasarkan hasil wawancara dan sejumlah penelitian yang dilakukan kepada keluarga teroris di Poso, Sulawesi Tengah, Abidah menjelaskan bahwa istri para teroris menggunakan jubah hitam dan bercadar. Pakaian tersebut kemudian dihakimi sebagai identitas seorang teroris oleh masyarakat, apalagi ketika suaminya ditangkap dengan dugaan teroris.

Anehnya, beberapa istri yang ia wawancarai, justru tidak mengetahui bahwa sang suami ditangkap oleh kepolisian sehingga benar-benar kaget ketika mendapati suaminya sudah ada di penjara. Keresahan Abidah el Khaleqy dalam kasus terorisme yang selama ini tidak memberikan ruang kepada perempuan untuk dibahas. Apalagi ketika perempuan dianggap kelompok yang memiliki pengaruh kecil ataupun mendapatkan dampak yang sedikit terhadap permasalahan terorisme. Padahal, beban besar disematkan kepada perempuan tatkala sang suami terduga teroris. Dari situlah Abidah bersuara lewat sastra tentang istri teroris. Disinilah eksistensi perempuan mengalami kekacauan. Artinya, eksistensinya tidak terlalu dianggap karena tidak berarti apa-apa.

Sartre mendefinikasikan bahwa eksistensi perempuan selain untuk dirinya juga bagi yang lain (Being for Others). Dengan melihat relasi antar manusia, dimana masing-masing pihak mempetahankan kesubjektivitasannya sendiri. Masing-masing mempertahankan pandangannya sehingga berusaha untuk memasukkan subjek lain dalam dunianya. Other pada perempuan adalah bentuk penindasan. Masalahnya perempuan tidak memiliki kemampuan untuk menggugat otoritas laki-laki dan itu dianggap wajar.

Melihat definisi Sartre tentang posisi perempuan bagi yang lain (Being for Others), kita ditampar dengan sebuah realitas bahwa, perempuan dalam catatan perjalanan hidupnya mengalami kegalauan eksistensial. Bahkan ketika mengalami diskriminasi, penindasan, masyarakat masih menganggap bahwa hal itu adalah wajar-wajar saja.

Maka ketika perempuan tidak lagi bersuara tentang diskriminasi yang dialami oleh perempuan ataupun beban ganda, semesta menganggap bahwa dunia ini baik-baik saja, karena laki-laki adalah penguasa dunia.Dari sinilah barangkali kita perlu melihat lebih jauh untuk memberikan empati yang cukup kepada istri napiter yang mengalami disintegrasi sosial dan disintegrasi diri karena beban yang ditanggungnya.

TERBARU

Konten Terkait