Perdebatan tentang perempuan cadar, selalu menyisakan ruang pertanyaan dan rasa penasaran cukup besar dalam benak kita apabila dikaitkan dengan gerakan ekstremisme yang berujung pada kekerasan. Selama ini, stigma negatif yang muncul terhadap perempuan bercadar tidak lebih kepada perasaan takut yang berlebihan. Di sisi lain, jika dikaitkan dengan makna religiusitas, ada beberapa makna religiusitas yang dimiliki oleh para perempuan bercadar, di antaranya:
pertama, dimensi pengetahuan agama (intelektual) yang ditunjukkan dengan pengetahuan dan pemahaman perempuan millenial terhadap ajaran-ajaran pokok dari agama terhadap kitab suci atau al-Quran melalui kajian keagamaan yang diikuti. Kedua, dimensi pengalaman yang diekspresikan dengan pengalaman keagamaan, persepsi dan perasaan yang dialami oleh perempuan millenial bercadar upaya untuk berubah lebih baik, adalah perjalanan hidup yang sangat berharga bagi para perempuan yang memilih untuk meggunakan cadar.
Dalam konteks ini, cadar menjadi motivasi bagi penggunanya untuk menjalankan ketaatan atau berupaya untuk terus melakukan perbaikan diri. Konsep dari cadar ini tercipta hijrah yang memiliki hubungan erat dengan radikalisme. Hal ini juga yang melambangkan transformasi pribadi dari diri dengan segala aspek negatif di masa lalu menjadi manusia yang benar-benar baru dengan menutupi segala aurat.
Penggunaan cadar dianggap tidak ideologis karena dilihat sebagai produk konstruksi sosial di mana perempuan merekonstruksi dan memodernisasi status sosial mereka, memisahkan diri dari peran dan stereotip yang dikenakan pada mereka dan membedakan diri dari orang lain melalui kreativitas dan inovasi mereka. sehingga dari sinilah para perempuan bercadar kebanyakan eksklusif dan benar-benar menyaring hubungan, baik dari segi pertemanan ataupun ranah pergaulan.
Ketiga, dimensi pengalaman (konsekuensi) yang ditunjukkan dengan upaya identifikasi akibat keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman dan pengetahuan perempuan bercadar. Artinya, para perempuan bercadar memiliki kesadaran yang cukup tinggi di mana ia akan menggunakan pakaiannya itu. terkadang mereka justru menggunakan masker sebagai pengganti cadar dalam upaya meminimalisir stigma negatif yang akan ditampilkan dari orang-orang disekitarnya.
Belum berhenti pada argumen di atas, Inayah Rohmaniyah, pernah melakukan penelitian serupa yang berjudul, “Redefining Status Through Burqa: Religious Transformation and Body Politics of Indonesia’s Woman Migrant Workers”. Dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa, apabila radikalisme didefinisikan sebagai suatu rangkaian perubahan yang mengacu kepada proses, praktik dan seperangkan keyakinan yang saling terkait satu sama lain, penggunaan cadar yang dipraktikkan oleh para perempuan tidak bisa langsung dikatakan sebagai proses seseorang dalam masuk kubangan radikalisme. Mengapa demikian?
Beberapa perempuan yang megenakan cadar, menurut penelitian Inayah, merasa aman dan nyaman saat melakukan aktifitas di luar ruangan. Dorongan dari dalam yang sangat besar ini, membuat para perempuan yang menggunakan cadar tetap konsisten untuk terus menggunakannya. Pandangan ini diperkuat dengan argumen bahwa, penggunaan cadar menjadi salah satu sarana untuk meningkatkan keasadaran beragama agar terus berupaya. Hasil penelitian ini sejalan dengan argumen di atas yang sudah dikemukakan sebelumnya.
Dari sinilah terjadi pergeseran dalam mendefinisikan tubuh sebagai dari sumber bahaya dan menjadi kesalehan dan keunggulan para perempuan. Artinya, pergeseran makna terhadap cadar ini, menjadi isyarat tentang tingkat kesalehan seorang perempuan. Selain itu, penggunaan cadar juga berfungsi sebagai salah satu strategi baru untuk bergabung pada circle baru dalam rangka menguatkan support system untuk terus melakukan kebaikan serupa dan meningkatkan ritual keagamaan.
Selain itu, penggunaan cadar juga menjadi sarana untuk menjaga keagamaan (dari pelecehan seksual) dan kenyamaan saat melakukan kegiatan di luar dan bergaul di tempat umum. Dari sinilah bisa dipahami bahwa, penggunaan cadar terhadap perempuan, tidak serta merta menunjukkan tingkat radikalisme yang dimiliki oleh seorang perempuan. Akan tetapi, justru membawa definisi baru bagi sebagian kelompok cadar bahwa, terjadi sublimasi dalam politik tubuh perempuan yang menegaskan korelasi hijrah dengan komunitas keagamaan.
Para perempuan bercadar otomatis senantiasa berupaya untuk hijrah, dan menemukan komunitas keagamaan yang menjadi status sosial baru sebagai penanda kewibawaan. Maka perlu dipahami bahwa, agama masih menjadi inti dari kehidupan masyarakat. Ia tetap menjadi inti dari kehidupan oleh para pemeluknya.