Lika-liku Kehidupan Khairul Ghazali
Khairul Ghazali alias Abu Yasin adalah sosok laki-laki yang dulu sempat mengkampanyekan Islam radikal secara konsisten. Ia percaya bahwa kebangkitan Islam secara penuh adalah hal yang patut diperjuangkan. Strategi perjuangan Islam, bahkan bisa dengan mengambil paksa harta non-Muslim. Harta yang didapat kemudian akan diperuntukkan sebagai dana operasional ‘jihad’ untuk melawan orang-orang yang berbeda paham.
Tak heran, ia pernah menjadi bagian dari gerombolan yang melakukan aksi perampokan di bank CIMB Niaga Medan pada tahun 2010, lalu. Kejadian saat itu, menewaskan satu orang Brimob. Selain terlibat dalam perampokan, ia juga ikut melakukan penyerangan terhadap Polsek Hamparan Perak di Deli Serdang, Sumatera Utara. Motifnya yaitu menghancurkan institusi yang berseberangan dengan paham radikalisme mereka.
Selain itu, kepolisian juga dianggap sebagai musuh bebuyutan karena telah berhasil menangkap dan menghukum sejumlah anggota kelompok mereka. Meski telah melakukan aksinya dengan cermat, sosok yang akrab disapa Buya Ghazali ini kemudian ditangkap oleh Densus 88. Penangkapan yang membawanya mendengkam di jeruji besi tersebut membuatnya bertaubat dan menyesal atas apa yang dilakukannya.
Lima tahun di penjara, Khairul merenungkan tindakan-tindakan kejinya selama ini. Bahkan, di awal masa hukumannya, ia berulang kali tertunduk lesu karena perbuatannya ternyata jauh sekali dari nilai-nilai Islam. “Empat bulan saya evaluasi kembali tindakan saya, karena penjara tempat saya ditahan di Mako Brimob menjadi tempat untuk itikaf.”
Hasil renungan yang berbuah menjadi keputusannya untuk bertaubat tersebut ternyata tak mudah untuk dieksekusi. Pengakuannya untuk keluar dari jaringan kelompok teroris malah menjadi senjata yang berbalik kepadanya. Ia lalu diincari oleh kawanannya terdahulu, dan bahkan sempat diancam akan dibunuh.
Terlebih, pengalamannya tercuci otak saat tergabung dengan kelompok ekstremis, ia tulis dalam bentuk buku. Lantas, hal itu menjadi pemicu kemarahan kawan-kawan komplotannya terdahulu. Khairul mengaku bahwa penangkapan atas dirinya membuat ia dijauhi dan dibenci.
“Oleh teman-teman seperjuangan dalam jihad saya diancam akan dibunuh. Saya pikir ini ada kebablasan memaknai jihad. Akhirnya saya putuskan untuk berhenti,” ujar Khairul.
Ujian berat yang menimpanya ketika memutuskan keluar dari kelompok teroris tidak selesai sampai di situ saja. Ketika berada di sel tahanan, ia mendapati bahwa anaknya menjadi korban bullying di sekolah. Berulang kali anak Khairul bercerita bahwa ia selalu diejek sebagai anak teroris. Dengan kondisi yang ada, putranya pun tak betah bersekolah. Ia mengaku tak nyaman dan sempat mengatakan bahwa ia lebih baik mengikuti jejak Khairul daripada bertahan menimba ilmu.
Apa yang dialami sang anak, membuat Khairul gundah gulana. Di satu sisi, ia memahami bahwa apa yang dialami anaknya adalah akibat perbuatannya. Di sisi lain, ia mengkhawatirkan dampak besar radikalisme terhadap masa depan anak-anak anggota kelompok radikal. Bila ini dibiarkan, bukankah sang anak kemudian bisa jadi menjadi target selanjutnya dari kelompok teroris?
Mendirikan Pesantren dengan Misi Islam Cinta Damai
Dengan kentalnya stigma sebagai anak teroris, anak Khairul akhirnya memutuskan untuk tidak lagi bersekolah. Melihat kondisi tersebut, Khairul kemudian berpikir bahwa mendirikan pesantren adalah sebuah solusi. Sebab, bukan hanya anaknya saja yang nanti akan ia deradikalisasi, tapi anak-anak mantan teroris lainnya juga perlu mendapat treatment sama. Bagi Khairul, pesantren yang menekankan pada pesan-pesan Islam cinta damai adalah jalan terbaik bagi masa depan buah hatinya dan anak-anak narapidana teroris lainnya.
”Saya berpikir kalau anak saya seperti ini bagaimana dengan 600 mantan teroris lainnya. Kalau dikali tiga saja maka ada ribuan anak yang berpotensi ikut jejak bapaknya,” urai Khairul panjang lebar.
Pesantren bernama Al Hidayah yang Khairul dirikan itu sebenarnya memiliki kurikulum yang tidak jauh berbeda dengan pesantren-pesantren pada umumnya. Bedanya, ada mata pelajaran khusus berkenaan dengan pencegahan radikalisme dan terorisme. Struktur mata pelajaran itu disusun sendiri oleh Khairul dan diajarkan pada sekitar 20 anak dari keluarga mantan terpidana teroris.
Ada empat poin utama yang diajarkan, yakni penanaman sifat kritis terhadap ajaran-ajaran radikal, pluralisme, indoktrinasi agama yang mengajarkan kedamaian dan menghindari ajaran agama yang bersifat dogmatis. Meski begitu, pesantren Al Hidayah sempat mendapatkan sorotan negatif. Publik yang tidak mengetahui kurikulum Al Hidayah menganggap bahwa pesantren tersebut merupakan tempat pengkaderan teroris baru.
Namun, Khairul tidak menyerah. Ia akhirnya memperkenalkan bahwa Al Hidayah adalah sekolah Islam yang tak mengajarkan Islam sebagai agama yang bersifat dogmatis. Di sana, Khairul justru ingin mengajarkan bahwa fanatisme sempit terhadap agama lah yang justru membahayakan keberagaman di Nusantara.