Pada tulisan sebelumnya, penulis memaparkan tentang bagaimana sejarah jamaah Islamiyah di Indonesia. Dari beberapa hal yang dipaparkan oleh penulis, organisasi ini merupakan kelanjutan dari ruang eksklusif yang sama sekali tidak memberikan perempuan untuk berkiprah di dalamnya. Pada tulisan ini, sangat menarik apabila menelisik lebih jauh peran perempuan dalam organisasi Jamaah Islamiyah yang sangat patriarkis dan sangat tidak ramah terhadap perempuan.
Hal ini bisa dilihat dari salah satu argumen yang disampaikan oleh Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) dalam salah satu temanya, yakni perempuan dan kepemimpinan dalam konteks kebangsaan. Kondisi perempuan di tengah jeratan ekstremisme, berada di posisi tertindas dengan karena sangat dibatasi ruang publik. Pada dasarnya, organasisasi Jamaah Islamiyah di Asia Tenggara secara umum tidak menghendaki adanya keterlibatan perempuan di lapangan.
Pandangan ini menjadi sangat umum di kalangan kelompok islam garis keras yang begitu militan dengan paradigma klasik bahwa perempuan tidak boleh melakukan kegiatan di ruang publik. Pandangan JI tentang perempuan semacam ini, ada keterkaitan era tantara JI dengan Al-Qaeda yang dianggap sebagai pimpinan jihadis secara global. Posisi perempuan di JI ini bergeser setelah Umaima Hassan Ahmad, istri Ayman al-Zawahiri mengeluarkan surat untuk merekrut para perempuan untuk melakukan gerakan.
Berdasarkan surat tersebut, perempuan bisa berjihad di lapangan untuk mendukung kelompok dalam ruang publik. Hal ini juga bisa dilihat dari laporkan Institute for Policy Analysis of Conflict yang berbasis di Jakarta, bahwa peran perempaun dalam organisasi teroris tidak hanya menjadi istr seorang teroris. Akan tetapi juga bergerak langsung menjadi jihadis di lapangan. Dari sinilah bisa dipahami bahwa, perempuan dalam jaringan Jamaah Islamiyah memiliki visi besar untuk melakukan gerakan secara langsung. Baik dia menjadi teroris ataupun memiliki peran yang lain.
Laporan berjudul “Mothers to Bombers: The Evolution of Indonesian Women Extremists” (PDF, 2017) yang dipublikasikan Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) memperlihatkan ada trend perubahan peran perempuan di dalam lingkar jaringan Jamaah Islamiyah dalam kurun waktu empat dekade. Pada awal berdirinya Jamaah Islamiyah di Indonesia, sekitar tahun 1980an, perempuan memainkan peran untuk sosialisasi konstruksi wanita sholehah dengan memfokuskan pada pakaian syar’i dan melahirkan sebanyak-banyaknya.
Tahun 1990-an, perempuan di jaringan Jamaah Islamiyah belum masuk wilayah qital (perang), akan tetapi memperluas kekuatannya dalam bidang ekonomi. Artinya, perempuan berperan untuk menyediakan supply makanan untuk kebutuhan para jihadis. Baru setelah tahun 2000 dengan hadirnya internet dan media sosial, peran perempuan lebih banyak digunakan untuk membangun komunitas virtual, berjejaring dan merekrut kader baru untuk melakukan propaganda serta melakukan perjumpaan di ruang media sosial dan memobilisasi pendanaan. Peran ini bisa dilihat dari terjadinya Bom Surabaya dan Sibolga yang melibatkan perempuan dan anak anak.
Keterlibatan perempuan dan anak pada saat itu merupakan sebuah fenomena baru dalam dunia terorisme. Artinya, peran ibu dalam ranah keluarga untuk menyebarkan ideologi radikal sangat besa untuk menyebarkan misi “masuk surga bareng-bareng”. Perempuan juga menunjukkan tingkat militansi yang tinggi pada keluarga dan kelompoknya. Doktrin seperti “dengan bergabung dengan kelompok tersebut akan memudahkan dia untuk membawa orangtuanya, suaminya dan anak-anak atau saudara kandungnya ke surga” (Affianti, konsultasi digital 2020), dipastikan efektif mempengaruhi perempuan untuk mengambil pilihan sebagai pengantin.
Selama ini, para perempuan yang sudah menikah dan memilih untuk bergabung dalam kelompok teroris, karena diajak oleh suaminya. doktrin kepatuhan kepada suami, yang berasal dari agama, dibawa oleh para teroris sebagai senjata untuk memperalat kehadiran perempuan. Kekhawatiran pada masa sekarang yang dianggap penuh dengan degradasi moralitas, seperti pornografi, porno aksi, LGBT, seks bebas, korupsi dan lain-lain, diyakini akan mempersulit masa depan anak-anak mereka. Maka mengembalikan kejayaan Islam dan memberlakukan hukum Islam diyakini akan mengembalikan “kemanusiaan” masyarakat.
Narasi ini akan sering ada dalam ruang media sosial dan disiarkan kepada khalayak. Sehingga, ajakan untuk berjihad, kembali pada Islam dengan mendirikan pemerintah Islam dan berperang, akan selalu menjadi tantangan tersendiri bagi setiap orang, khususnya bagi perempuan yang senantiasa memiliki kecenderungan untuk berpikir dan bergerak.