Persoalan Ekonomi Umat
Domino permasalahan dunia, dari pandemi Covid-19 hingga konflik Ukraina-Rusia yang terjadi selama dua-tiga tahun terakhir mengakibatkan krisis ekonomi di berbagai belahan dunia. Di Indonesia sendiri, gelombang krisis mendorong tingkat inflasi semakin tinggi. Pada bulan Septermber 2022 lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat terdapat kenaikan harga sekitar 1,17 % tiap bulannya di tanah air. Dalam keadaan ini, dapatkan Indonesia menangkal Radikalisasi?
Lebih lanjut, Kepala BPS Margo Yuwono memperkirakan bahwa dampak inflasi ini akan menyebabkan efek berkelanjutan, seperti tingginya angka kemiskinan akibat turunnya pendapat penduduk. Secara spesifiknya, ia memprediksi akan ada kenaikan jumlah orang miskin sebesar satu sampai dua persen jika kondisi ekonomi global tidak membaik.
Yang menarik, tren kenaikan harga tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Seluruh dunia merasakan. Di negara-negara mayoritas penduduk Muslim dengan tingkat perekonomian menengah ke bawah, kondisinya bahkan lebih miris lagi. Suriah, misalnya, meski perang sudah mulai mereda namun dampak konflik yang berkelindan dengan krisis global menyebabkan masyarakat kian terpuruk. Kini dengan kondisi yang serba sulit, terjadi peningkatan kasus bunuh diri warganya akibat depresi berkepanjangan.
Melihat kondisi mengenaskan tersebut, bagaimana Indonesia perlu bersikap menghadapi resesi global agar tidak terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan seperti Suriah? Mengatasi persoalan ekonomi akibat resesi global tentu memerlukan rangkaian kebijakan yang harus tepat sasaran. Pasar yang lesu akibat diterjang badai permasalahan juga tidak bisa langsung dipaksa bangkit seketika.
Pemerintah dan pihak-pihak terkait harus bekerja sama secara koheren agar sistem ekonomi bisa bangkit menghadapi krisis multidimensional seperti sekarang ini. Salah satu caranya dengan menerapkan pendekatan quadruple helix dalam mendorong inovasi untuk membangun ekonomi.
Pendekatan Quadruple Helix dalam Pembangunan Ekonomi Umat
Pendekatan quadruple helix bisa dikatakan sebagai konsep baru dalam pembangunan ekonomi. Selama ini pemerintah Indonesia lebih mengedepankan teori triple helix yang dipopulerkan oleh Etzkowitz dan Leydersdoff (1995). Triple helix sendiri mengedepankan konsep relasi kerjasama tiga aktor penting, akademisi, pengusaha, dan pemerintah. Model ini efektif membantu dunia usaha untuk berinovasi berdasarkan riset dari akademisi yang kemudian dalam pengembangan dan pengurusan administrasinya dibantu oleh pemerintah.
Namun dalam perkembangan selanjutnya, pendekatan triple helix tidak cukup ampuh untuk memenuhi kebutuhan secara berkepanjangan. Mengapa? Sebab dinamika pasar dan kebutuhan publik terus berubah. Oleh karenanya diperlukan satu komponen baru yang tak kalah pentingnya, yaitu masyarakat itu sendiri. Riset mengenai pendekatan quadruple helix baru-baru ini yang dilakukan oleh Schutz, Heidingsfelder, dan Schraudner (2019) mengungkapkan bahwa pembangunan ekonomi yang efektif dan efisien justru melibatkan partisipasi publik.
Terlebih, jika ingin mendapatkan dampak positifnya secara merata. Tantangannya kemudian adalah bagaimana mengakomodasi suara komunitas, sedangkan kita tahu bahwa Indonesia adalah komunitas yang beragam. Dalam hal ini, penting untuk terlebih dahulu membagi pembangunan ekonomi ke dalam beberapa sektor. Dari sektor yang ada, kemudian secara spesifik dipecah kembali menjadi beberapa program khusus.
Langkah selanjutnya setelah program disusun adalah memetakan siapa saja akademisi yang perlu terlibat, pemerintahan di jenjang mana yang perlu mendampingi, pelaku bisnis mana yang perlu bergerak, dan siapa saja representasi dari masyarakat yang perlu diundang untuk bersuara. Contoh aplikatif dari sinergi quadruple helix yang bisa dirumuskan pada masa mendatang adalah pemaksimalan agribisnis pesantren yang berpusat di desa dengan pendampingan dari Kementerian Pertanian, Kementerian Agama, dan Bank Indonesia. lalu, bagaimana kinerjanya?
Bisnis tanaman pangan yang dibangun oleh pesantren perlu didampingi oleh pihak kementerian terkait untuk mendapatkan materi dan teori dasar. Di samping itu, permodalan juga perlu disuntikkan untuk proses produksi berjalan secara berkesinambungan. Sebelum siklus ekonomi berlangsung, pengusaha dalam hal ini toko retail atau supermarket besar perlu melibatkan konsumen untuk mengetahui apa kebutuhan mereka, bagaimana pengemasan yang menarik agar mereka loyal untuk terus berbelanja.
Dan, tidak hanya berhenti begitu saja, ‘bekal’ yang disuntikkan kepada pesantren sebagai pelaku agribisnis perlu ditindaklanjuti dengan transfer knowledge. Skema berbagi pengetahuannya pun tidak muluk-muluk, jalinan kerjasama dengan kementerian bisa ditindaklanjuti dengan gerakan peningkatan literasi Al-Quran secara intensif yang dijadwalkan secara rutin, atau penyusunan kurikulum Latihan Dasar (Latsar) Aparatur Sipil Negara (ASN) yang berbasis nilai-nilai Islam.
Sehingga kerjasama yang dijalin oleh berbagai pihak dalam hal ini bukan orientasi duniawi semata. Namun tetap berlandaskan ibadah. Seperti yang dipesankan Gus Baha, sistem ekonomi pun harus diisi juga oleh orang-orang Soleh. Sehingga kelompok radikal yang mengatasnamakan agama untuk mengeruk kepentingan pribadi tidak dengan mudah ‘merayu’ para ANS, karena dengan adanya sinergi quadruple helix, semua pegawai mendapat pembekalan beragama secara moderat yang berlandaskan nasionalisme.