Sebuah semangat positif yang sangat besar sekali ketika melihat kuantitas generasi muda yang cukup besar di masa yang akan datang. Term bonus demografi yang selalu disemarakkan oleh bangsa Indonesia untuk melihat Indonesia emas di masa yang akan datang, menjadi salah satu hal yang bisa galakkan bersama untuk memberikan kontribusi besar terhadap kemajuan negara. Hal ini karena, potensi manusia manusia ada di usia produktif momen penting untuk mengupayakan secara maksimal seluruh potensi agar bisa memajukan bangsa Indonesia.
Di balik harapan dan angan-angan yang sangat besar ini, salah satu tantangan besar bagi anak muda adalah bergabungnya mereka kepada kelompok teroris, yang dirasa memiliki masa depan cerah untuk menjadi ruang belajar dan menempa diri, serta sebagai wadah untuk menunjukkan eksistensinya sebagai manusia. Dilansir melalui tempo.co, Badan Penanggulangan Terorisme Nasional (BNPT) mengeluarkan data menunjukkan bahwa, sejak tahun 2009 hingga tahun 2021, ada banyak kaum muda yang terlibat dalam aksi terorisme. Tahun 2009, dua pemuda atas nama Nana Ikhwan Maulana (28 tahun) dan Dani Dwi Permana (18 tahun) menjadi pelaku bom bunuh diri di Hotel Ritz-Carlton yang menewaskan 9 orang dan 50 korban luka-luka.
Selanjutnya, tahun 2016, Sultan Azianzah (22 tahun) melakukan penyerangan di pos lalu lintas Cikokol yang melukai beberapa anggota kepolisian. Setelah dua tahun, tepatnya pada Mei 2018, Tendi (23 tahun) melakukan penusukan kepada Bripka Frence. Pada September 2019, pelaku bom bunuh diri melibatkan kaum muda terulang kembali, di mana pelakunya bernama Rabbial muslim Nasution (24 tahun). Ia meledakkan diri di Mapolrestabes Medan. Selanjutnya, pada Maret 2021, Lukman (26 tahun) beserta istrinya meledakkan diri di Gereja Katedral Makassar yang kemudian disusul dengan aksi lone-wolf, Zakiah Aini (25 tahun) menyerang Mabes Polri 31 Maret 2021).
Melihat data yang cukup banyak ini, kita bisa memastikan bahwa, anak muda sangat rentan untuk bergabung dalam kelompok teroris. Mengapa hal ini bisa terjadi? Berdasarkan laporan United States Institite of Peace (2010), ada 4 alasan mengapa pemuda bergabung dalam kelompok teroris. Faktor ini menekankan kepada aspek aspek emosional psikologis, yang diakibatkan oleh kondisi ketidaksilan, ketimpangan serta problem sosial yang bisa diartikan sebagai push factors.
Pertama, the revenge seeker atau pencari balas dendam. Ia menempatkan diri sebagai korban dalam masyarakat. Pada fase ini, anak muda merasa ada kekuatan eksternal yang menyebabkan ketidakbahagiaan dan tercipta kemarahan serta frustasi. Di fase ini, berbagai propaganda yang menampilkan Barat adalah musuh bersama, bisa membuat anak muda memiliki tanggung jawab moral untuk membalas dendam. Kemarahan ini yang membuat seseorang akan berlomba-lomba untuk berbuat kebaikan dengan menjadi teroris sehingga balas dendam tersebut bisa terbalaskan.
Kedua, the status seeker atau pencari status sosial. kelompok ekstremisme ini digunakan sebagai media untuk mencari rekognisi atau pengakuan atas status sosial tertentu. Anak muda yang tidak pernah mendapatkan penghargaan dan apresiasi diri, serta tidak mendapatkan pengakuan atas keberadaannya di sebuah lingkungan. Akhirnya, keberadaan kelompok ini akan dirasa akan memberikan kekosongan itu dan membuat anak muda mampu merasakan kenyamanan akan hadirnya kelompok teroris.
Ketiga, the identity seeker atau pencari identitas, yang berkaitan dengan pebentukan dan pendefinisian diri dengan identitas kelompok yang kuat. Anak muda berada di fase yang galau, kehilangan arah, serta berusaha untuk mencari jati diri. Berada di kebimbangan semacam ini, membuat anak muda rentan untuk dimasuki oleh kelompok-kelompok teroris yang memberikan kepastian janji atas nama Tuhan, seperti syurga.
Keempat, the thrill seeker atau pencari kesenangan, yang melihat kelompok ekstremisme kekerasan sebagai medan petualangan yang menantang. Dari kondisi kebimbangan di atas, bergabungnya anak muda dalam kelompok ekstremis, menjadi sebuah wadah untuk mendapatkan kesenangan, makna hingga kemuliaan diri menjadi manusia. Beberapa faktor di atas, menjadi sebuah bahan refleksi kita sebagai anak muda untuk menghindari diri agar tidak memilih untuk bergabung dalam kelompok teroris. Kerentanan kita sebagai anak muda untuk bergabung sangat besar. Hal ini bisa dilihat dari kondisi emosional, latar belakang sosial, dll.