Fenomena Radikalisme di Kalangan AparaturSipil Negara
Pada bulan Maret 2022 lalu, seorang oknum Aparatur Sipil Negara (ASN) di Kabupaten Tangerang, Banten ditangkap petugas Densus 88 disebabkan oleh keterlibatannya dalam jejaring terorisme. Kasus ASN tadi ternyata bukan pertama kalinya terjadi. Merujuk data Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (2022), sekitar 30 hingga 40 ASN dipecat tiap bulannya karena terafiliasi dengan organisasi yang tidak mengakui Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar konstitusi negara.
Laporan dari Kemenpan-RB tersebut dikuatkan kembali dengan temuan The Habibie Center yang menunjukkan sekitar 30-40% ASN di Indonesia berpaham radikal. Hal ini juga dikonfirmasi oleh pengamat terorisme, Sidney Jones. Ia melihat fenomena radikalisme di kalangan birokrasi sebagai permasalahan kompleks. Sidney memandang bahwa paham ekstremisme di kalangan pegawai tidak bisa dipandang sebelah mata.
Selain itu, negara juga perlu merumuskan program spesifik agar kasus sejenis tidak berulang, bahkan bertumbuh subur dari waktu ke waktu. Oleh karenanya, radikalisme tidak bisa diselesaikan hanya lewat mekanisme hukuman atau pemecatan bagi oknum yang bersangkutan. Sidney menambahkan bahwa permasalahan radikalisme harus diberantas dari akar sehingga efek dominonya tidak mengakibatkan konflik sosial politik dengan skala besar.
Kecakapan Digital untuk Meredam Radikalisme
Jika melihat mayoritas kasus ASN yang terpapar radikalisme, sebagian besar menganut pandangan tersebut melalui tontonan dan postingan dakwah esktrem yang diperoleh lewat media sosial. Mudahnya kalangan PNS mengamini pandangan eksklusif ini ditengarai karena minimnya tingkat literasi digital yang mereka kuasai. Kecakapan digital sendiri dimaknai sebagai kemampuan individu dalam mengetahui, memahami, dan menggunakan perangkat keras dan peranti lunak sistem operasi digital (Rahmawati, 2022).
Sayangnya, hingga kini pekerjaan rumah peningkatan literasi PNS belum terselesaikan. Sistem pendidikan yang ada masih mengedepankan penggunaan perangjat digital semata, belum menyasar pada pengetahuan dan pemahaman secara komprehensif. Padahal, bila ditilik lebih lanjut, kecakapan digital pada era sekarang ini memerankan fungsi signifikan. Tidak hanya akan membantu ASN untuk menyaring mana informasi yang benar, dan mana yang salah, tetapi juga akan berguna bagi pengerjaan tugas pokok fungsinya sehari-hari sebagai pelayan publik.
Terlebih, di era disrupsi yang serba cepat dan erat dengan adaptasi teknologi, sudah bukan lagi waktunya negara mengandalkan metode konvensional yang memakan banyak waktu dan biaya. Ke depan, pemerintah perlu menyiapkan pegawai yang ‘cakap’ dan ‘melek’ teknologi agar mereka bisa terhindar dari pengaruh buruk radikalisme, dan juga melakukan akselerasi pelayanan publik yang lebih profesional.
Sebab, berhubungan dengan urusan kedua yakni pemberian layanan kepada masyarakat secara maksimal, tata pemerintahan kita sayangnya masih jauh tertinggal dari negara lain, termasuk di lingkup kawasan Asia Tenggara. Merujuk data PBB terkait indeks E-Government, Indonesia memperoleh peringkat 77 dari 193 negara.
Bahkan di kawasan regional Asia Tenggara, kita masih berada di peringkat lima, di belakang empat negara lain, termasuk Singapura dan Malaysia. Lebih lanjut, berdasarkan survei yang memuat indeks pelayanan online atau online service index (OSI), indeks infrastuktur telekomunikasi atau telecommunication infrastructure index (TII), dan indeks sumber daya manusia atau human capital index (HCI), problematika ASN kita masih berkutat pada rendahnya kecakapan digital dalam mengoperasikan perangkat dan infrastruktur.
Tak heran, dengan taraf kecakapan digital yang kurang mumpuni, dampaknya tidak hanya berkenaan dengan pelayanan publik yang buruk, namun juga pada merebaknya virus radikalisme pada pegawai pemerintah kita. Melihat permasalahan tersebut, Sociopreneur sekaligus konten kreator Kristiyuana mengatakan, jika PNS memiliki kecakapan digital tinggi.
Ke depannya ia akan mampu memahami dan menggunakan perangkat keras dan lunak dalam lanskap digital, mesin pencarian informasi, aplikasi percakapan dan media sosial, serta aplikasi perdagangan elektronik maupun dompet digital secara efektif dan efisien. Sebab, kecakapan digital penting untuk bisa menyeleksi dan memverifikasi setiap informasi yang didapat di internet untuk kebaikan diri sendiri dan sesama.
Hal ini sejalan dengan program Gerakan Nasional Literasi Digital oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika RI yang diharapkan dapat mendorong aparatur negara untuk menggunakan internet secara cerdas, positif, kreatif, dan produktif. Bukan hanya sekadar untuk menebar fitnah untuk mendorong perpecahan umat, apalagi memprovokasi dan menyebarkan bahwa ideologi negara perlu ditentang dan diharamkan. Sebab, hal tersebut bertentangan dengan intisari ayat 103 dalam Surat Ali Imran:
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara.