Menyoal Keterlibatan dan Eksploitasi Anak dalam Gerakan Ekstrimis

Keterlibatan anak dalam gerakan ekstrimis terjadi di hampir seluruh negara-negara di dunia. Baik di negara yang sedang menghadapi konflik senjata maupun konflik non senjata. Perekrutan anak untuk menjadi bagian dari gerakan terorisme tersebut umumnya dilakukan dengan cara melakukan eksploitasi terhadap anak. Lantas apa alasan perekrutan yang dilakukan terhadap anak tersebut?. Mengingat pentingnya langkah preventif untuk mencegah keterlibatan anak dalam jaringan teorirme, maka artikel ini akan mengulas mengenai alasan kenapa anak dijadikan sasaran radikalisme.

Alasan Melibatkan Anak dalam Jaringan Terorisme
Ada berbagai motif dan alasan kenapa anak dilibatkan ke jaringan terorisme. Sebagian dari anak-anak sengaja dilibatkan dan dijadikan target untuk kepentingan kelompok. Disaat yang lain, anak-anak dilibatkan bersamaan dengan keterlibatan orang tuanya. Penjelasan dalam artikel ini bersumber dari laporan UNODC (United Nation Office on Drugs and Crime) dengan judul Handbook on Children Recruited and Exploited by Terrorist and Violent Eztremist Group: The Role of the Justice System. Untuk lebih jelasnya, berikut ini beberapa alasan kenapa anak-anak dilibatkan dalam jaringan terorisme.

Menyoal Keterlibatan dan Eksploitasi Anak dalam Gerakan Ekstrimis

Pertama, kepentingan propaganda. Di beberapa wilayah, teroris sengaja menampakkan anak-anak baik sebagai korban maupun sebagai pelaku. Hal ini bertujuan untuk menarik simpati dunia terhadap keterlibatan anak sehingga aksi radikal yang dilakukan teroris terus mendapat perhatian dari dunia. Diwaktu yang sama, kelompok teroris juga ingin menunjukkan kekuatan dari jaringan yang dimiliki. Bahwa siapapun termasuk anak-anak memiliki kewajiban untuk memperjuangkan agama, dan disatu sisi juga ingin menunjukkan normalisasi kekerasan pada anak.

Kedua, kemiskinan. Pergeseran demografis negara-negara miskin dan ancaman masa depan anak yang serba tidak pasti membuat kelompok usia anak menjadi sasaran strategis kelompok ekstrimis. Hidup dalam ketidakpastian dan dibawah garis kemiskinan, maka iming-iming kehidupan akhirat yang abadi bak aose ditengah kejumudan dalam menjalankan kehidupan. Pada akhirnya, para orang tua dan bahkan anak-anak itu sendiri termotivasi untuk mengejar kehidupan akhirat dengan bergabung menjadi teroris.

Ketiga, alat untuk memenuhi ekspektasi kelompok teroris. Salah satu tujuan kelompok teroris dibentuk adalah sebagai benteng pertahanan dari ancaman kekerasan kelompok lain yang berbeda ataupun dari negara. Terorisme sebagai kelompok bersenjata non negara, tentu mengalami kendala ketika merekrut calon anggota dewasa. Atas dasar itulah, anak-anak menjadi target yang akan direkrut oleh kelompok teroris. Karena anak-anak memiliki pemahaman yang minim, dan mudah untuk diintervensi.

Keempat, lebih murah biaya operasionalnya. Dibanding dengan kombatan dewasa, biaya kombatan anak tentunya lebih murah. Baik dalam hal pemenuhan kebutuhan makanan, maupun kebutuhan hidupnya. Karena anak tidak menanggung kehidupan anggota keluarga yang lain. Kelompok teroris hanya perlu memenuhi kebutuhan kombatan saja. Begitupula dengan kebutuhan pembelian senjatanya, harga senjata yang berukuran besar tentu berbeda dengan ukuran kecil. Untuk kombatan anak, yang mereka butuhkan adalah senjata kecil dengan harga yang lebih murah. Dengan harga yang lebih rendah, kelompok teroris bisa mendapat output yang kurang lebih sama dengan senjata besar yang harganya lebih mahal.

Kelima, lebih mudah diintervensi. Anak-anak lebih mudah didoktrin untuk fanatik terhadap suatu hal. Wawasan anak-anak masih terbatas, dan ledakan emosional yang ada dalam dirinya bisa dikendalikan untuk memihak pada ideologi radikal. Jika ideologi sudah tertanam maka dimanfaatkan untuk pembibitan teroris. Intervensi juga dilakukan dengan menfigurkan salah seorang teroris yang merelakan nyawanya atas dasar jihad. Karakter anak yang cenderung lebih cepat menunjukkan kesetiaan pada figur tertentu, sangat menguntungkan kelompok teroris.

Keenam, jarang dicurigai dan efektif untuk dijadikan mata-mata. Sebelum melakukan operasi pengeboman ataupun menjalankan aksi radikal, kelompok teroris akan mengutus mata-mata untuk melihat bagaimana kondisi wilayah yang menjadi target operandi. Maka kombatan anak-anak apalagi perempuan, bisa dimanfaatkan untuk dikirim menjadi mata-mata. Mereka jarang dicurigai, dan disatu sisi anak-anak tidak begitu memahami resiko yang dihadapi ketika menjadi mata-mata. Usianya yang labil menjadikan anak-anak sebagai sosok yang patuh terhadap intruksi. Apapun tugas yang diberikan oleh atasan, akan dilakukan meskipun tugas tersebut membahayakan nyawanya.

Demikianlah penjelasan mengenai alasna kenapa anak-anak dijadikan sebagai target oleh kelompok teroris. Terbukti bahwa keadaan anak yang labil, kemiskinan, keputusasaan, dan murahnya bisa operasional kombatan anak menjadi peluang bagi kelompok teroris untuk masuk ke dunia anak-anak. Hak tersebut tentunya menjadi tugas kita semua untuk lebih hati-hati dan waspada dalam menghadapi pergerakan kelompok teroris yang sudah menyusup ke dunia anak.

Penulis

Opini

Di sini kita membahas topik terkini tentang perempuan dan upaya bina damai, ingin bergabung dalam diskusi? Kirim opini Anda ke sini!

Scroll to Top