Keterlibatan anak-anak dalam kelompok terorisme memunculkan pertanyaan besar. Bagaimana seorang anak yang notabene masih dibawah pantauan orang tua, bisa ikut terjerumus dalam kelompok terorisme? Berdasarkan laporan UNODC (United Nation Office on Drugs and Crime) dengan judul Handbook on Children Recruited and Exploited by Terrorist and Violent Eztremist Group: The Role of the Justice System diketahui beberapa teknik yang diterapkan kelompok ekstrimis untuk menarik perhatian anak-anak. Tak lagi menggunakan cara-cara konvensional, kelompok terorism menggunakan pendekatan yang inovatif dan halus dalam menentukan siapa yang akan menjadi target sasarannya.
Setiap target juga memiliki cara yang berbeda tergantung dengan bagaimana kondisi target (anak) dan juga kendala yang mungkin dihadapi saat mendoktrin anak anak. Namun demikian, masih banyak dijumpai beberapa kombatan anak yang memang secara sukarela bergabung dengan kelompok teroris. Statemen ini mendapat bantahan dari Naureen Chowdury Fink dalam buku A Man’s World? Exploring the Roles of Women in Countering Terrorism and Violent Extremism.
Menurutnya, meskipun terlihat seperti sukarela, namun keterlibatan anak tersebut pasti didahului oleh paksaan dan iming-iming. Jika pun pada akhirnya kombatan anak dengan sukarela bergabung maka tentu ada banyak faktor yang melatarbelakaninya. Seperti kondisi ekonomi, pertahanan hidup, marginalisasi, diksriminasi, dan garis kemiskinan. Maka dari itu, Pengadilan Pidana menyepakati bahwa untuk mengetahui apakah kombatan anak masuk ke jaringan karena sukarela atau paksaan tidak bisa didekati dengan pendekatan legal atau hukum saja.
Pendekatan Kelompok Terorism pada Target Kombatan Anak
Sudah dijelaskan dalam paragraf sebelumnya bahwa kelompok teroris memiliki pendekatan yang inovatif untuk memperdayai calon sasaran. Lantas apa sajakah pendekatan yang selama ini digunakan oleh kelompok teroris untuk memperdayai calon target? Pertama, rekruitmen paksa. Meskipun menggunakan cara yang lebih inovatif, nyatanya perekrutan dengan cara yang brutal masih ditemukan. Beberapa anak sengaja diculik, dipaksa, diancam, dan bahkan ada juga yang dibeli dari transaksi tracficking. Mayoritas berasal dari keluarga miskin, terlantar, tidak dalam pengasuhan orang tua, dan anak jalanan. Mereka adalah kelompok yang rentan dan mudah terpapar aliran radikal.
Kedua, kerjasama antara kelompok teroris dengan tokoh masyarakat. Muncul anggapan dari beberapa masyarakat bahwa kelompok teroris berjuang untuk melawan kebathilan. Naasnya, pemahaman ini juga diyakini oleh beberapa tokoh masyarakat yang memang memiliki pemahaman yang radikal. Hal ini dimanfaatkan kelompok teroris dengan melakukan kerjasama dengan tokoh masyarakat untuk mendorong anak-anak agar terlibat dengan jaringan.
Ketiga, iming-iming bayaran yang tinggi. Karena targetnya adalah anak-anak yang terjerembab dalam kemiskinan. Maka iming-iming bayaran yang tinggi tentunya sangat menarik. Kombatan anak menganggap menjadi bagian kelompok teroris adalah salah satu upaya untuk perbaikan perekonomian. Keempat, memanfaatkan jaringan teroris transnasional. Terorisme membangun sebuah jaringan transnasional yang terdiri dari berbagai negara. Jaringan transnasional tersebut secara masif melakukan perekrutan terhadap calon kombatan, dan memberikan akses serta kemudahan bagi calon kombatan untuk menerobos batas wilayah negara lain. Pada perekrutan tipe ini, mayoritas kombatan anak melakukan dengan orang tua.
Kelima, doktrinasi melalui sekolah. Keluasan jaringan terorisme juga masuk ke wilayah pendidikan formal. Meskipun tidak secara langsung mendukung jaringan terorisme, namun sekolah tersebut berperan untuk memberikan doktrinasi kepada anak mengenai jihad. Jika oemahaman mengenai jihad dalam bentuk ekstrimisme sudah tertanam di benak siswa, akan lebih mudah bagi jaringan terorisme untuk merekrut anak-anak tersebut.
Keenam, rekruitmen online. Jaringan internet menembus batas ruang dan waktu. Kemajuan teknologi informasi ini menjadi teknik baru dalam merekrut kombatan anak-anak. Terdapat website-website khusus yang ditujukan bagi calon target kombatan. Dimana didalamnya dijabarkan tentang kenapa harus berjihad, dan juga kemungkinan fasilitas yang akan didapat jika tergabung sebagai kombatan. Selain website, media sosial juga dimanfaatkan untuk menarik perhatian calon target dengan menggunakan bahasa yang disesuaikan dengan calon target.
Demikianlah analisis mengenai pendekatan yang dilakukan kelompok teroris dalam merekrut calon kombatan anak. Dari sini, kita bisa mengambil pelajaran akan pentingnya pengawasaan orang tua terhadap segala aktifitas dan kegiatan anak. Termasuk didalamnya juga tentang pemilihan sekolah bagi anak. Karena sekolah ternyata juga menjadi salah satu cara yang digunakan untuk menarik minat anak terhadap gerakan radikal. Sistem perekrutan ini bertebaran di sekeliling kita. Maka diperlukan kesadaran dan kepedulian bersama untuk turut serta memastikan tidak ada doktrinasi pemahaman radikal di sekeliling kita, dan anak-anak belajar serta bermain di ruang yang aman dan bebas doktrinasi pemahaman ekstrimis.