Gaya hidup menurut Kotler adalah suatu pola hidup yang dibentuk seseorang, yang bisa dilihat dari aktifitas, minat, dan opininya. Gaya hidup seseorang menggambarkan keseluruhan diri saat berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan menurut Sunarto, gaya hidup menunjukkan bagaimana seseorang berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Termasuk didalamnya bagaimana seseorang membelanjakan uangnya dan mengalokasikan waktunya.
Sedangkan menurut Milton Rokeach gaya hodup berkaitan dengan proses berfikir seseorang yang termanifestasi dalam kehidupan sehari-harinya. Lebih jauh, Anthony Giddens menyatakan bahwa gaya hidup berkaitan dengan tindakan nyata yang dilakukan seseorang dalam kehidupan sehari-hari
Lantas apa hubungan gaya hidup dengan sikap purifikasi keagamaan? Adakah hubungan antara gaya hidup dengan cara beragama seseorang?. Dalam artikel ini akan dibahas mengenai gaya hidup dan purifikasi sikap keagamaan. Dengan membaca artikel ini akan dipahami bagaimana sikap keagamaan saat ini telah menjelma sebagai sebuah gaya hidup seseorang.
Agama Sebagai Gaya Hidup
Seiring dengan meningkatnya religius sentimen di masyarakat, agama saat ini juga telah berkembang menjadi sebuah gaya hidup. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Syafiq Hasyim, dosen di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Menurutnya, gaya keagamaan seseorang saat ini bisa dijadikan self identity.
Salah satu ajaran keagamaan yang bisa dijadikan gaya hidup adalah cara berpakaian seseorang. Dengan identitas pakaian, seseorang ingin menunjukkan bahwa agama yang dianut berbeda dengan agama yang lainnya. Meskipun demikian, karena ajaran agama sangat luas dan mengatur hampir keseluruh kehidupan manusia, maka gaya hidup keagaaman ini juga mencakup hal yang luas.
Sebagian pihak menganggap gaya hidup sebagai sebuah preferensi saja. Karena menyangkut pilihan seseorang dalam menjalani aktifitas sehari-hari dan tergantung preferensi yang diambil. Namun demikian, bagi seseorang yang beragama gaya hidup adalah sebuah identitas politik. Salah satu contoh ajaran agama yang dijadikan sebagai gaya hidup adalah penggunaan jilbab. Hal ini terbukti dengan semakin beragamnya tren berhijab di Indonesia. Bagi pemerintahan orde baru, hijab dianggap sebagai fenomena politik. Dengan menggunakan dalih melawan kelompok islam ekstrimis, dan melindungi indentitas bangsa, banyak dikeluarkan aturan larangan penggunaan hijab.
Di era reformasi, yang sekaligus titik kebebasan berpendapat dimulai, tren hijabpun juga berubah. Di mana pada masa tersebut, hijab dijadikan sebagai salah satu simbol perlawanan. Apa yang dilarang oleh pemerintahan orde baru berusaha dirobohkan oleh publik saat itu. Berhijab di era ini tak hanya berangkat dari panggilan syariat namun juga sebagai simbol bahwa perempuan juga melawan.
Dari simbol perlawanan di era reformasi, hijabpun beralih pada sebuah tren fashion. Industri hijab tanah air berlomba-lomba mengeluarkan desain hijab terbaiknya. Hijab sama halnya dengan industri fashion lainnya yang cenderung mengalami perubahan cepat. Karena hijab di era sebelumnya direpresentasikan sebagai busana yang kuno, maka para desainer pasca era reformasi berusaha untuk mengubah mindset tersebut.
Jilbab sebagai gaya hidup juga didukung oleh banyaknya selebgram dan artis-artis yang memutuskan untuk berhijab. Perubahan busana ini rata-rata juga diikuti dengan perubahan bisnisnya. Mereka berhijab kemudian menjual busana-busana muslimah, dari mulai baju syari, hijab syar’i, kaos kaki syar’i, dan produk fashion lainnya dengan embel-embel syar’i. Sebagai bagian dari purifikasi agama, gaya berhijabpun juga diatur dengan balutan konsep syar’i. Konsep jilbab syar’i ini kemudian mengklasifikasi cara berhijab seseorang kedalam dua jenis syar’i dan non syar’i.
Perempuan yang sudah berhijab namun tidak syar’i sebagaimana standar yang diciptakan oleh industri fashion, maka dianggap belum sempurna keimanannya. Apalagi jenis fashion yang berkaitan dengan adat istiadat atau mengandung kearifan lokal, maka sudah tentu masuk dalam klasifikasi non syar’i. Karena dianggap tidak sesuai dengan standar syar’i yang ditetapkan oleh industri fashion.
Industri Hijab Sebagai Jalan Masuk Radikalisme
Berkembangnya industri hijab dan pergeseran gaya hidup muslimah ini juga menjadi jalan masuk paham radikalisme. Berdalih purifikasi agama, maka terjadi takfiri antar muslim satu dengan yang lainnya karena preferensi busana yang diambil. Industri hijab bersaingan memasukkan konsep “hijrah” sebagai salah satu tagline bisnisnya. Selain itu, konsep back to sunnah juga digaungkan oleh industri fashion untuk meningkatkan angka penjualan bisnisnya.
Ketika seseorang sudah disusupi dengan pemahaman yang berdalih purifikasi agama, maka disanalah pintu yang paling efektif untuk memasukkan paham radikal. Disinilah bahaya yang mengintai sebenarnya. Dimana preferensi busana muslimah dijadikan sebuah trend dengan memasukkan paham-paham ekstrimis dan radikal. Maka perlu untuk dipahami bersama tentang makna dan tujuan hijab itu sendiri sebagai salah satu pengalaman syariat Islam. Menjamurnya industri hijab harusnya diiringi dengan semakin tingginya nilai sosial dan rasa kemanusiaan. Bukan justru semakin mudah mengkafirkan hanya karena merasa preferensi busana adalah yang paling benar dibanding yang lainnya.