Kisah Leonora, Mualaf Jerman yang Terjebak Perangkap ISIS

Leonora Messing di usia 15 tahun memiliki kehidupan seperti layaknya remaja perempuan pada umumnya. Ia, layaknya anak-anak sekolah menengah di Jerman, sedang bergulat dengan pencarian jati diri dan mengeksplorasi hal-hal baru dalam hidup. Selain sekolah, ia disibukkan dengan mengelola akun media sosialnya. Selain mengunggah hal-hal personal, Leonora menyukai make-up. Ia kerap berbagi tips kecantikan pada akunnya.

Namun, kecintaannya pada hobi yang ia lakoni berubah saat ia berkenalan dengan simpatisan ISIS yang juga berasal dari Jerman. Laki-laki yang menjabat sebagai intelligence officer ISIS tersebut bernama Martin Lemke. Usai bergabung dengan kelompok radikal yang berbasis di Suriah, ia mengubah namanya menjadi Nihad. Nihad dan Leonora berkenalan lewat media sosial. Tak lama setelah mengenalkan diri, Nihad terlibat percakapan intens dengan Leonora melalui WhatsApp. Ia bahkan mengajak Leonora, gadis yang belum masuk usia dewasa itu untuk menikah.

Kisah Leonora, Mualaf Jerman yang Terjebak Perangkap ISIS

Tergoda akan janji dan rayuan Nihad, Leonora lalu memutuskan kabur dari rumah. Ia berkelana menuju Turki untuk selanjutnya melanjutkan perjalanan ke Suriah dimana laki-laki pujaannya itu menjemputnya. Di sana, Leonora ternyata tak sendiri. Ia bersama dua orang perempuan lainnya akan dinikahi oleh Nihad. Leonora bahkan diiming-imingi kalung dan gelas emas sebagai mahar dalam pernikahannya.

Keputusan Leonora itu tentu mengejutkan ayahnya, Maik. Maik tak percaya bahwa putri kecilnya nekat bepergian ke daerah konflik. Padahal selama ini ke kandang ayam dekat rumah pun ia tak mau karena takut akan tikus. Apa yang dilakukan sang putri semata wayangnya itu tentu membuat Maik khawatir. Meski begitu, ia tak bertindak gegabah. Sembari terus melakukan kontak dengan Leonora, ia juga menghubungi jurnalis Jerman, Vokmar Kabisch, yang melakukan liputan di Irak dan Suriah.

Di saat yang sama, Leonora mulai menyadari bahwa ekspektasinya tentang ISIS mulai berubah. Mimpinya melihat ‘surga dunia’ ternyata hanya imajinasi semata. Alih-alih mendapati kenikmatan hidup, tiap hari ia melihat kekejian yang dilakukan petarung ISIS. Jalan-jalan di Raqqa, wilayah pendudukan ISIS ternyata tak seindah yang ia impikan. Beberapa kali ia menjumpai orang yang disiksa karena berbeda keyakinan. Padahal, ia dulu membayangkan negeri islami yang penuh keteduhan. Sekarang yang ia lihat justru pemandangan layaknya neraka, dimana-mana orang bertindak anarkis dan tak berperikemanusiaan.

Selain itu, kehidupan rumah tangga yang ia bayangkan ternyata jauh dari realita. Poligami ternyata penuh konflik dan dinamika. Terkadang, ia disiksa oleh sang suami karena berbeda pendapat. Keteguhannya ‘berhijrah’ pun luntur seketika. Saat itu juga ia ingin pulang ke rumah mungilnya di desa.
Syukurlah, ayah Leonora sangat suportif. Ia tak sontak menyalahkan dan membenci putrinya. Bahkan ketika Leo, panggilan Leonora hamil dan melahirkan dengan selamat di sana. Ia mengucapkan selamat dan tetap berharap dapat dipertemukan secepatnya dengan mereka. Sayangnya, proses kembali Leonora ke Jerman tidak semudah membalikkan telapak tangan. Satu-dua kali ayahnya mencoba mengontak penyelundup yang dikenalkan oleh Vokmar untuk menyelamatkan Leo, usaha tersebut masih gagal. Remaja Jerman itu terus gagal keluar dari wilayah ISIS.

Hingga kabar baik itu datang enam tahun kemudian. ISIS yang terus dibombardir akhirnya menyerah kalah. Mereka yang awalnya menguasai banyak wilayah, kini hanya bertahan di satu jalan sempit yang menjadi pertahanan terakhir mereka. Kondisi itu kemudian membuka jalan pulang bagi Leonora. Terlebih suaminya, Nihad, yang dahulu merayunya untuk bergabung dengan ISIS kini melihat bahwa mereka tak lagi memiliki masa depan cerah. Sehingga, kembali ke Jerman adalah satu-satunya cara agar mereka dapat bertahan hidup. Menyadari hal itu, Nihad akhirnya mengontak Maik. Ia merengek untuk dibantu kembali ke negara asalnya.

Mendapati pesan suara dari Nihad yang telah menghancurkan hidup keluarganya, Maik awalnya geram. Namun, ia tak bergeming. Ia hanya ingin putrinya kembali. Dengan bantuan pengacara di Hannover, Maik mencoba memperjuangkan kepulangan Leonora dan anaknya. Sayangnya, pemerintah Jerman tidak memiliki hubungan bilateral dengan Suriah. Meski begitu, setelah beberapa kali mengajukan permohonan akhirnya utusan dari Jerman datang dan mengadakan perundingan untuk membantu Leonora dan beberapa warga Jerman lainnya yang menjadi korban rayuan ISIS.

Kini, sekembalinya Leonora di kampung halaman, ia menyadari bahwa pilihannya bergabung dengan ISIS adalah keputusan terburuk dalam hidupny. Tapi, ia tak ingin berlarut-larut memikirkan itu. Ia sekarang hanya memiliki mimpi sederhana: memperbaiki hubungan dengan ayahnya, Maik dan menjalani kehidupan layaknya orang normal pada umumnya.

Penulis

Opini

Di sini kita membahas topik terkini tentang perempuan dan upaya bina damai, ingin bergabung dalam diskusi? Kirim opini Anda ke sini!

Scroll to Top