Dalam satu dekade terakhir, tingkat popularitas partai sayap kanan Prancis semakin meningkat. Partai yang dipimpin Marine Le Pen ini bahkan kian menunjukkan taringnya mendekati pemilihan umum 2022. Meski publik Prancis berbeda pendapat mengenai pandangan partai yang amat konservatif tersebut, namun pamor mereka terus menarik banyak voters. Bahkan, diperkirakan semakin banyak perempuan yang tertarik untuk bergabung dengan partai itu.
Padahal di satu sisi partai sayap kanan Prancis telah beberapa kali menyampaikan pernyataan diskriminatif terhadap kelompok perempuan, terutama kaum muslim. Tapi, mengapa justru ada kaum hawa yang tertarik bergabung pada kelompok tersebut? Menurut peneliti sejarah Linda Gordon dalam bukunya “The Second Coming of the KKK”, banyak perempuan yang terlibat dalam gerakan radikal sayap kanan karena mereka mendapat keuntungan dari kelompok tersebut.
Mereka diberikan otoritas dan dari kekuasaan tersebut mereka diakui aktualisasi dirinya. Bahkan mereka menilai gerakan sayap kanan yang mendiskriminasi perempuan bukanlah upaya negatif. Mereka justru bersikukuh bahwa upaya tersebut adalah untuk kebaikan perempuan, bukan sebaliknya. Sebelas dua belas dengan apa yang terjadi di Prancis. Di Amerika Utara, banyak pihak yang bertanya-tanya apa yang membuat perempuan tertarik pada gerakan konservatif radikal dan gerakan ‘alt-right’.
Di Kanada, Montreal Gazette mengatakan perempuan sayap kanan “keluar dari bayang-bayang” dan mereka tidak mempermasalahkan sudut pandang misoginis yang diinternalisasi kelompok tersebut. Di Quebec, jumlah perempuan yang berpartisipasi dalam kampanye anti-imigran dan anti-Muslim terus meningkat. Majalah Marie Claire juga mengatakan bahwa tren peningkatan perempuan di sana disebabkan oleh persepsi identitas yang coba dibedakan oleh para aktivis sayap kanan.
Jika perempuan kulit putih yang ditekan, mereka akan menyebutnya misoginis. Namun ketika perempuan dari kelompok minoritas yang hak-haknya dicerabut, mereka mengatakan bahwa hal itu layak karena kelompok minoritas tidak memiliki status sosial yang sama dengan mereka. Dan menurut mereka, kelompok minoritas terutama Muslim telah banyak berbuat kekacauan di wilayah mereka. Sehingga, sikap diskriminatif terhadap mereka menjadi tidak masalah.
Bahkan menurut catatan Linda Gordon, pergerakan perempuan dalam politik sayap kanan sudah sejak lama terjadi. Mereka termasuk memegang banyak peran penting dalam kelompok. Beberapa fungsi dan peran yang mereka jalankan antara lain: menuliskan narasi propaganda, mempromosikan gerakan ekstremis lewat berbagai outlet, dan sebagainya. Untuk pengenalan gerakan dan perekrutan anggota, dulu masih dilakukan secara manual lewat koran dan pamflet.
Kini, dengan teknologi yang kian canggih, perekrutan anggota mereka dilakukan melalui media sosial. Mereka bahkan menargetkan kelompok-kelompok millennial untuk menjadi generasi penerus. Sekarang, dengan dinamika global dan inflasi yang cukup tinggi di banyak negara, gerakan ekstremis sayap kanan memanfaatkan ini sebagai alasan propaganda kebencian pada kalangan minoritas.
Mereka mengatakan bahwa banyak perempuan dan ibu-ibu menderita dan kesulitan mengakses barang-barang pokok karena anggaran banyak digunakan untuk memerangi ISIS, dan ISIS ini orang-orang Muslim. Walhasil, banyak perempuan yang menelan mentah-mentah kabar ini dan kemudian mereka mendukung narasi-narasi provokatif yang disebarkan oleh gerakan radikal sayap kanan.
Bahkan pola yang digunakan sama dengan kelompok ekstremisme dengan topeng agama: propaganda ketakutan bahwa orang yang di luar kelompok mereka berbahaya dan membenci mereka. Dengan provokasi amarah dan ketakutan, mereka terus menerus menebarkan teror bahwa kalangan minoritas, kelompok kulit hitam, latin dan umat muslim serta yahudi perlu dijauhi.
Dalam menebarkan keyakinan yang mereka percaya, mereka tidak segan menggunakan istilah ‘keadilan’ dan ‘persamaan’. Sebab, mereka berasumsi bahwa kelompok mereka diperlakukan tidak adil, dan diperlakukan berbeda dari kaum minoritas. Asumsi ini berakar dari pemahaman bahwa ekonomi sulit negara disebabkan oleh kelompok minoritas yang merebut sumber daya mereka secara membabi buta.
Menurut analisis jurnalis Marie Claire, Polly Dunbar, selain dilandasi ketakutan akan kelompok yang berbeda, perempuan yang tergabung dalam kelompok sayap kanan seringkali mendapatkan ruang aktualisasi diri dari kelompok tersebut. Ia dipuja puji oleh kelompok laki-laki meski pandangannya kadang mempersempit gerak perempuan lain. Menilik situasi tersebut, menekankan pada isu segregasi sosial saja tidak cukup, tapi perlu adanya ruang aktualisasi agar perempuan-perempuan tadi tidak terus terjebak dalam propaganda eksklusif dalam lingkar sayap kanan.