28.4 C
Jakarta
Senin, 9 September 2024

Krisis Eropa dan Populisme Sayap Kanan

Dinamika sosial politik tingkat global yang dimulai dari satu dekade terakhir telah menimbulkan efek domino di berbagai negara. Di Uni Eropa, salah satu dampaknya adalah meningkatnya populisme. Populisme, meskipun bukan fenomena baru, telah semakin mengkhawatirkan dan membuat kondisi demokrasi di Eropa kian memburuk. Hal ini juga menambah panjang deretan masalah di sana, dari turunnya kepercayaan pemilih, krisis pengungsi dan tantangan disintegrasi pasca Brexit.

Melihat situasi yang ada, kian banyak orang mempertanyakan bagaimana Eropa yang dulu cenderung stabil kini justru menjadi hotspot populisme sayap kanan? Apakah kebangkitan populisme sayap kanan disebabkan oleh krisis Eropa yang tak berkesudahan? Dulu, integrasi Eropa digadang-gadang sebagai kebijakan komprehensif yang dapat membantu semua negara anggota sejahtera bersama. Namun realitanya ternyata berkata lain. Meskipun tiap negara rata-rata patuh dan mengapresiasi proyek integrasi Eropa, masalah legitimasi menjadi semakin terlihat seiring dengan kemajuan integrasi. Pada gilirannya, respons Uni Eropa yang lemah terhadap krisis semakin merusak kepercayaan publik terhadap proyek itu sendiri.

Dalam hal ini, kekecewaan publik terhadap pemerintah yang tak segera membereskan krisis akhirnya menimbulkan gelombang baru populisme dan retorika anti-Uni Eropa yang kian menguat dari hari ke hari (Mudde 2019). Bahkan, keputusan yang dibuat di tingkat Eropa justru selanjutnya dijadikan wacana politik domestik yang dibumbui dengan skeptisme bahwa Uni Eropa hanyalah proyek belaka tanpa dampak luas kepada masyarakat (Newsome; Riddervold dan Trondal 2021, 597; Lacey dan Nicolaïdis 2020, 378).

Dengan demikian, kelemahan Uni Eropa yang kurang tanggap dalam mengatasi krisis ekonomi lalu membuat mereka dianggap lemah dan tak berguna oleh publik. Tak heran, krisis yang terjadi di sana kemudian bergema menjadi spektrum politik pada tiap negara-negara anggota. Dalam propaganda populis sayap kanan, Euroscepticism telah direkayasa menjadi pembagian sumber daya antara ‘elit’ ekonomi Eropa dan ‘rakyat’ di luar Eropa atau imigran. Propaganda mereka dipenuhi dengan disinformasi tentang bahaya migrasi ke supremasi identitas nasional.

Klaim sepihak yang terlalu disederhanakan ini kian memburuk akibat ketidakpedulian dalam pengungkapan fakta sebenarnya. Salah satu andalan sederhana mereka adalah, “Anda memiliki kebenaran Anda, saya juga memiliki kebenaran saya.” Tagline mereka tersebut terus digaungkan lewat berbagai platform. Dari media sosial hingga demo warga. Bahkan narasi-narasi negatif tadi kian kencang disebarluaskan saat pandemi lalu.

Dengan terbatasnya gerak masyarakat yang kemudian membuat semua orang lebih banyak waktu dengan gadget, narasi provokatif mereka terus-terusan dipromosikan. Kondisi ini bahkan dimanfaatkan secara jeli oleh pihak oposisi politik yang ingin memenangkan pemilu. Mereka yang memahami bahwa warga sedang ‘depresi’ justru memanfaatkan momen itu untuk mempromosikan propaganda politik anti-imigran.

Mereka secara membabi buta menakut-nakuti masyarakat bahwa imigran lah yang menyebabkan Uni Eropa dihantam krisis ekonomi. Para imigran juga digambarkan sebagai pihak yang merebut pekerjaan orang-orang lokal, dan tak ketinggalan orang-orang asing ini memiliki potensi menjadi teroris di kemudian hari. Tantangan di era post-truth tadi kian menjadi-jadi semenjak krisis keuangan global 2008 dan gelombang pandemi terjadi berturut-turut bagaikan gelombang tsunami.

Ketika otoritas dan kepercayaan lembaga-lembaga Eropa memburuk, warga yang dibiarkan ‘berkeliaran’ mencari fakta akhirnya menemukan kabar alternatif yang memuaskan mereka secara emosional – yaitu ‘kebenaran’ lewat provokasi gerakan populis sayap kanan. Apalagi kebijakan utama penanggulangan krisis pemerintah di sana ditekankan pada langkah-langkah penghematan yang ketat di negara-negara yang terbebani utang yang akhirnya menyebabkan tingkat pengangguran yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Sehingga yang terjadi kemudian adalah keresahan ekonomi dan sosial, yang semakin mengguncang kepercayaan warga negara terhadap kapasitas pemecahan masalah di Uni Eropa. Momen tersebut amatlah ideal bagi kaum populis untuk sekali lagi mempromosikan perpecahan antara ‘elit’ (teknokrat Eropa) dan ‘rakyat’. Retorika populis sayap kanan amatlah sederhana dan emosional, berbeda dengan pihak pemerintah yang cenderung banyak menggunakan istilah teknis yang tak dipahami masyarakat awam. Kondisi tersebut diperburuk dengan gerakan cepat para populis untuk mengkomunikasikan retorika mereka kepada publik lewat media sosial, sehingga gerakan ekstremisme yang mereka gaungkan trennya terus meningkat.

TERBARU

Konten Terkait