Perkembangan teknologi dan informasi tidak hanya berdampak positif, tetapi juga memiliki dampak negative, seperti rayuan maut radikalisme di media sosial yang mengarah pada terorisme. Adapun sasaran tersebut kebanyakan adalah kalangan anak muda. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) angka pemuda yang terpapar paham tersebut tidaklah sedikit. Pelaku teroris terbesar berpendidikan SMU yaitu 63,3 persen, kemudian perguruan tinggi 16,4 persen, SMP 10,9 persen, tidak lulus perguruan tinggi 16,4 persen, dan SD 3,6 persen.
Survey yang dilakukan oleh PPIM UIN Syarif Hidayatulloh pada akhir tahun 2017 juga menyebutkan besarnya potensi radikalisme di kalangan anak muda yang memandang benar adanya jihad atau khital alias perang terutama perang melawan non-muslim. Lagi-lagi para generasi muda ini mendapatkan banyak materi radikal dari internet dan media sosial. Selain itu menurut Kepala BNPT RI Komjen Pol. Boy Rafli Amar, Foreign Terrorist Fighters (FTF) juga masih menjadi ancaman terhadap keamanan kawasan Asia Tenggara, khususnya di Malaysia, Filipina, dan Indonesia. FTF adalah perjalanan ke tanah asing dengan maksud terlibat dalam kegiatan, rencana atau pelatihan terorisme serta terlibat konflik bersenjata.

Keterlibatan anak muda terlebih anak-anak dalam pusaran ideologi radikalisme dan terorisme keagamaan merupakan fakta yang tidak terbantahkan. Selalu ada sekelompok remaja yang terlibat aktif ikut serta dalam setiap peristiwa kekerasan atau terorisme keagamaan. Hal ini terjadi karena pemuda belum sepenuhnya memahami tentang paham radikalisme dan bahayanya bagi pemuda. Faktor lain menunjukkan adanya faktor psikologis, kondisi politik tanah air dan internasional, teks keagamaan tekstualitas, dan hilangnya figur panutan.
Lalu kenapa Anak Muda yang menjadi target utama?
Anak muda selalu menjadi target utama para kelompok radikal karena mempunyai potensi mudah dihasut dan masih labil. Terlepas dari beragam faktor baik ekonomi maupun politis, pemuda pada dasarnya berada dalam posisi yang sangat rentan terhadap pengaruh misionaris terorisme. Hal ini karena masa transisi identitas yang merupakan proses mikro sosiologis sehingga pemuda mengalami pembukaan kognisi (cognitive opening) terhadap penerimaan paham atau gagasan baru yang radikal.
Momentum inilah yang dimanfaatkan oleh kelompok radikal untuk mengganggu psikologis generasi muda seperti selalu merasa tidak puas, mudah marah dan frustasi baik terhadap kondisi sosial maupun pemerintah. Selanjutnya kelompok radikal bisa menyediakan lingkungan, fasilitas, dan media bagi pemuda yang rentan. Selain itu, mereka juga menyediakan apa yang anak muda butuhkan terkait ajaran pembenaran, solusi dan strategi meraih perubahan, bahkan rasa kepemilikan, yang semua itu jelas mulai gencar dipropagandakan oleh kelompok radikal melalui jaringan teknologi dan informasi, seperti media sosial.
Perkembangan teknologi dan informasi memiliki peran penting dalam perekrutan anggota jihadis dari berbagai belahan dunia. Yang selanjutnya mengembangkan jaringan baik secara berkelompok maupun sebagai pelaku tunggal (lone wolf). Teknologi informasi dan komunikasi yang berkembang pesat menjadikan aliran informasi dan akses komunikasi berlangsung melampaui batas-batas negara dengan cepat. Hal ini menjadikan kelompok ektremis dan radikalis menunjukkan eksistensinya dalam penyebaran ideologinya via media berbasis teknologi informasi dan komunikasi, seperti jejaring media sosial.
Meskipun internet dan media sosial mempermudah aktivitas terorisme dan radikalisme, namun pola lama perekrutan jihadis seperti pertemuan langsung tetap dilakukan, hanya saja pergerakannya dipercepat melalui media sosial. Adapun penggunaan media sosial bukanlah hal baru. Di era Jemaah Islamiyah pada tahun 1999-2003 misalnya, Imam Samudera dan kawan-kawan menyebarkan propaganda ‘Jika tidak bisa menjadi bomber, maka jadilah hacker’. memasuki periode 2004-2009 nama Noordin M Top yang sangat piawai membuat bom berdaya ledak tinggi, merekrut pengikutnya dengan memanfaatkan internet yaitu melalui MIRC. Di era kejayaan Al Qeda dan Isis hingga kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT), aksi terorisme dan penyebaran propaganda semakin sering bersentuhan dengan internet dan media sosial. Seperti beredarnya beragam video dan aksi pelatihan militer di hutan yang tersebar di internet.
Paham radikal adalah paham yang sangat berbahaya karena dapat melahirkan atau menumbuhkan embrio terorisme yang dapat mengancam keamanan, pertahanan serta integritas bangsa dan negara. Menurut BNPT ada tiga institusi sosial yang berperan penting dalam memerankan diri dan melindungi generasi muda dari paparan paham radikalis. Yaitu peran lembaga pendidikan, guru dan kurikulum dalam memperkuat wawasan kebangsaan, sikap moderat dan toleransi pada generasi muda. Selanjutnya adalah peran keluarga dan orang tua dalam menanamkan cinta dan kasih sayang kepada generasi muda. Terakhir peran tokoh masyakarat di lingkungan masyarakat dalam menciptakan ruang kondusif dan damai bagi generasi muda.
Selain itu, melalui media sosial Kominfo dapat melakukan patrol siber guna mencegah penyebarluasan konten yang mengandung paham radikal. Pemblokiran akses situs yang mempromosikan paham radikal menjadi sangat relevan. Namun selebihnya kejahatan adanya paham radikalisme yang dipropagandakan adalah masalah bersama baik pemerintah, masyarakat, unit keluarga dan individu pemuda itu sendiri, hal ini yang harus terus disadari dan diupayakan dalam pencegahan dan penyebarannya.