Waspadai Narasi Ekstremisme Jelang Pemilu

Pemilihan Umum 2024 memang masih dua tahun lagi. Namun, gembar-gembor dan dinamikanya ternyata telah terasa dari sekarang. Para kandidat bahkan telah menabuh genderang kampanye dengan mendekatkan diri dengan para voters lewat berbagai cara, termasuk melalui media sosial dengan menyebarkan berita buruk tentang lawannya. Tren propaganda lewat hoax seperti sekarang perlu diwaspadai.

Sebab, pemilu sebelumnya masyarakat kita telah terpolarisasi akibat isu-isu politis yang ternyata tidak semua benar dan memuat banyak provokasi yang mengarah pada kebencian terhadap kelompok tertentu. Mirisnya, dampak provokasi negatif tersebut hingga kini masih terasa dan masyarakat belum sepenuhnya move on dari konflik politik periode sebelumnya. Padahal elit politik yang memanfaatkan isu politik identitas justru tenang-tenang saja dan malah berkoalisi.

Waspadai Narasi Ekstremisme Jelang Pemilu

Melihat hal ini, tentu masyarakat harus waspada sebab jika kita kembali menjadi korban kebohongan politik sekali lagi, maka integrasi nasional lah yang dipertaruhkan. Terlebih berkaca dari isu ekstremisme yang ditunggangi partai dan kandidat politik jelang pemilu di negara-negara lain yang telah memperluas konflik sosial. Indonesia sebaiknya perlu mewaspadai bagaimana narasi ekstremisme digunakan pihak tertentu untuk mengobarkan emosi massa.

Contoh pemanfaatan propaganda ekstremisme untuk kepentingan pemilu selain terjadi di Indonesia, terjadi juga di Amerika, India dan Prancis. Di Amerika, mantan Presiden Donald Trump beberapa kali mengaitkan umat Islam dengan tindakan terorisme dalam orasi kampanyenya untuk menggaet simpati masa kelompok ekstrem sayap kanan. Ia bahkan tak segan-segan memposting ulang video hoax dari kelompok ekstremis untuk menguatkan argumennya tersebut. Dengan posisi Trump sebagai pemimpin nomor satu negeri adidaya Amerika Serikat, tentu pengaruh postingan tersebut amatlah besar. Tak ayal, terjadi sejumlah serangan terhadap beberapa Muslim di sana yang didasarkan pada kebencian terhadap kelompok minoritas.

Dan sayangnya meski tak lagi menjabat sebagai presiden, efek propaganda kebencian dari Trump masih terasa hingga sekarang. Usai pemilu Amerika periode lalu telah usai, terjadi peningkatan ancaman terhadap pejabat berperspektif moderat akibat jagoan politik dari kaum ultra-konservatif kalah pemilu. Bahkan angkanya mencapai satu dari enam, yang bermakna bahwa sekitar 16% pejabat di sana mengatakan mereka telah mengalami intimidasi sehubungan dengan pekerjaan mereka (sumbe: survei oleh Brennan Center for Justice, yang berbasis di Washington D.C.). Survei yang sama juga menemukan bahwa terdapat 20 persen pejabat pemilihan kepala daerah yang berencana meninggalkan jabatannya sebelum Pilkada 2024 akibat ancaman ini.

Para peneliti dari Arizona Center for Investigative Reporting mengatakan disinformasi yang didorong oleh pejabat ultra-konservatif di masa lalu ternyata masih terasa efeknya hingga kini. “Kami telah melihat dampak dari misinformasi seputar pemilu, informasi palsu, klaim palsu, yang menyebabkan betapa rusaknya kepercayaan publik terhadap demokrasi. Tetapi di satu sisi kami juga menghargai dan mengapresiasi para aktivis dan publik yang masih terus bekerja untuk menjaga demokrasi,” kata Lawrence.

Norden, direktur senior Program Pemilu dan Pemerintah di Brennan Center. Meski begitu, pihaknya masih mengkhawatirkan bahwa isu ekstremisme dan politik identitas masih digunakan sebagai senjata dan alat menarik simpati masa. Ia juga meyakini bahwa misinformasi akan lebih mudah ditekan penyebarannya jika hanya tersebar di lingkaran kecil suatu komunitas, namun bila yang menyampaikan adalah petinggi partai atau politisi, efeknya tentu jauh lebih besar, “semua ini lebih berbahaya jika politisi, tokoh publik, penegak hukum yang menyebarkan informasi yang salah.”

Para ahli juga khawatir bahwa retorika seputar kecurangan pemilu, dikombinasikan dengan alur deras informasi palsu tanpa verifikasi justru semakin menurunkan integritas pemilu itu sendiri. Pada akhirnya dapat menyebabkan individu terintimidasi untuk tidak memilih dan tidak percaya pada lembaga negara. Dampak akhir tadi sepatutnya juga perlu diwaspadai di Indonesia.

Sebab, berita palsu akan kecurangan pemilu akan berdampak pada penurunan kepercayaan publik pada negara. Selanjutnya dapat dimanfaatkan oleh gerakan ekstremis untuk mempropagandakan bentuk alternatif negara yang berbeda dengan konstitusi kita sekarang. Oleh karenanya, tersebarnya hoax-hoax jelang pemilu dari sekarang perlu diwaspadai. Jika tidak, gerakan radikal dapat dengan jeli memanfaatkannya sebagai senjata perekrutan loyalis baru.

Penulis

Opini

Di sini kita membahas topik terkini tentang perempuan dan upaya bina damai, ingin bergabung dalam diskusi? Kirim opini Anda ke sini!

Scroll to Top