29 C
Jakarta
Kamis, 12 Desember 2024

Pekerja Migran Indonesia dan Keterlibatannya dalam Terorisme, Negara Bisa Apa?

Karakteristik Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang suka menolong dan people pleasure menjadi salah satu alasan kenapa mereka mudah tergabung dengan jaringan terorisme Internasional. Puncaknya adalah ketiga tiga eks PMI Hongkong didakwa terlibat dalam pendanaan gerakan terorisme di Indonesia. Bahkan mereka bersedia menjadi pelaku bom pengantin ketika masa kontrak kerjanya sengan Hongkong selesei.

Mereka adalah Ainun Pretty Amelia divonis 3 tahun penjara, Miranti Mahsum 2 tahun penjara, dan Listyowati divonis paling berat yaitu 3,3 tahun penjara. Saat ini mereka mendekam di lapas Perempuan Semarang per Oktober 2022 ini. Mengingat tingginya angka PMI di kawasan Asia Timur, perlu untuk merumuskan langkah-langkah strategis yang bisa dilakukan pemerintah Indonesia agar tak ada lagi PMI yang tergabung dengan jaringan terorisme.
Langkah Strategis Untuk Menekan Keterlibatan PMI dalam Jaringan Terorisme. Keberadaan pemerintah sangat dibutuhkan untuk menekan bahkan menghindari keterlibatan PMI dalam jaringan terorisme. Adapun beberapa langkah yang bisa dilakukan, antara lain sebagai berikut ini:

Pertama, memperketat jalur perbatasan antar negara. Pemerintah harus mengevaluasi sistem pengawasan pada jalur perbatasan negara dan administrasi keimigrasian. Karena lemahnya pengawasan di dua tempat tersebut, akan menjadi pintu masuk kelompok teroris. Administrasi keimigrasian yang asli tapi palsu banyak dimanfaatkan kombatan untuk bisa masuk ke wilayah-wilayah yang tergabung dengan jaringan terorisme seperti ISIS.

Kedua, perkuat safe migration campain. Untuk memperkuat sistem keamanan kaum migran, Kemnaker RI meluncurkan program safe migration campaign. Kampanye ini ditujukan untuk semua orang, agar terlibat aktif dalam membangun kehidupan kaum migran yang aman. Hal ini lantaran kaum migran rentan terhadap permasalahan ketenagaerjaan. Namun sayangnya, kampanye tersebut belum menyinggung mengenai bahaya keterpaparan gerakan ekstrimis untuk perlindungan diri kaum migran. Disini, Kemnaker perlu memasukkan program zero terorisme bagi kaum migran disertai dengan dampak-dampak negatif yang akan dialami jiga terlibat dalam jaringan terorisme.

Ketiga, memasukkan kurikulum pendidikan anti terorisme dalam materi calon buruh migran. Sebelum calon buruh migran disebarkan ke pengguna jasa, mereka harus menjalani karantina. Tak hanya diberi dasar skill yang sesuai dengan pekerjaan, para calon buruh migran ini juga dibekai kemampuan komunikasi menggunakan bahasa asing. Jika dirasa sudah mampu baik secara kapasitan, kemampuan, maupun psikologis, pihak penyalur tenaga kerja akan menyalurkan buruh migran ke pengguna jasa secara langsung.

Maka kesempatan ini adalah masa terbaik untuk meinternalisasi materi wawasan kebangsaan, nasionalisne, dan bahaya radikalime kepada calon buruh migran. Setidaknya, sebelum benar-benar meninggalkan Indonesia, meraka tahu bagaimana harus bersikap jika mengalami permasalahan yang berkaitan dengan ideologi dan integritas. Keempat, maksimalisasi peran duta besar Indonesia di masing-masing negara tujuan. Duta besar Indonesia di negara tempat buruh migran bekerja juga harus memahami bagaimana dampak gerakan terorisme bangi PMI maupun bagi Indonesia. Sehingga duta besar Indonesia harus menyusun mekanisme pengawasan yang ketat terhadap buruh migran yang ada di wilayahnya.

Termasuk mengawal ada tidaknya indikasi keterlibatan PMI dalam gerakan terorisme. Terlebih bagi duta besar Indonesia di wilayah Asia Timur. Pengawasannya harus lebih ketat karena buruh migran di wilayah Asia Timur memiliki karakteristik yang berbeda dengan wilayah lainnya.
Kelima, melibatkan pemerintahan tingkat desa. Sebelum mendaftarkan diri sebagai calon pekerja migran, diwajibkan untuk melampirkan izin dari desa setempat. Dalam kesempatan ini, pihak desa harus memberikan pemahaman bahwa tujuan mereka menjadi buruh migran adalah untuk perbaikan ekonomi keluarga dan pemulihan stabilitas ekonomi.

Jangan sampai keberangkatannya ke negara asing justru menyusahkan keluarga dan memilik untuk terlibat dalam gerakan teroris. Pengawasan tingkat desa tak hanya saat pemberangkatan saja. Namun harus secara aktif berkala melakukan pengawasan terhadap keluarga yang ditinggal juga. Untuk memastikan tidak ada indikasi yang mengarah pada jaringan terorisme.

Demikianlah beberapa langkah strategis yang bisa dilakukan pemerintah untuk menjauhkan PMI dari jaringan terorisme baik di level nasional maupun internasional. Bukan hal yang mudah tentunya, karena melibatkan berbagai stakeholder di masing-masing sektor. Namun demikian, dengan kerjasama yang bagus antar instansi dan pemahaman yang serupa mengenai bahaya terorisme, maka langkah tersebut bisa diimplementasikan di level kebijakan. Sehingga tak ada lagi PMI yang terlibat dalam kasus teorisme lagi.

TERBARU

Konten Terkait