Salah satu hal penting yang perlu didiskusikan setelah pencegahan ekstrimisme adalah tentang bagaimana napiter bisa diterima kembali di masyarakat. Napiter adalah sebutan untuk narapidana terorisme yang menjalani hukuman di lapas setelah melakukan aksi ekstrimis dan tindakan radikal. Adalah betul bahwa eks napiter tersebut telah menjalani proses rehabilitasi dan indoktrinasi di lapas.
Mereka juga diwajibkan untuk mengikrarkan diri kembali pada NKRI sebelum selesei menjalani hukuman. Namun apakah eks napiter tersebut benar-benar telah terbebas dari ideologi radikal tentu tidak bisa dilihat dengan lahiriyah semata. Disisi lain, mereka telah menebus kesalahannya dengan menjalani hukuman penjara. Seyogyanya, mereka juga bisa diterima kembali sebagai bagian dari masyarakat.

Fatayat NU sebagai salah satu ormas terbesar di Indonesia turut serta terlibat dalam proses rehabilitasi dan reintergrasi eks napiter di masyarakat. Maka perlu untuk diketahui bagaimana praktik baik yang dilakukan oleh Fatayat NU sekaligus apa saja tantangan yang dihadapi. Dengan mengetahui hal tersebut, diharapkan mampu membuka wawasan bagi lembaga, ormas, atau institusi lain yang memiliki kecenderungan untuk terlibat dalam proses rehabilitasi dan reintergrasi eks napiter di masyarakat.
Proses Rehabilitasi dan Reintergrasi Eks Napiter Di Masyarakat oleh Fatayat NU
Ada lima proses yang dilakukan fatayat NU dalam upaya rehabilitasi dan reintegrasi eks napiter. Tujuannya adalah bagaimana membuat eks napiter bisa kembali lagi bersosialisasi di masyarakat dengan ideologi yang sudah berubah. Adapun kelima proses tersebut antara lain;
Pertama, memberikan akses kepada eks napiter melalui penduduk lokal. Mayoritas eks napiter berasal dari komunitas yang tertutup dan memiliki cyrcle pertemanan yang terbatas. Mereka juga menjauh dari kehidupan masyarakat yang dianggap berbeda dalam hal ideologi. Hal ini tentunya akan sangat berpengaruh ketika para eks napiter telah selesei menjalani hukuman. Jika kembali kepada komunitas yang lama, maka potensi untuk terjerembab pada ideologi ekstrimis cukup tinggi. Solusi terbaik adalah memberikan akses kepada eks napiter untuk bergabung dengan masyarakat melalui penduduk lokal. Tentunya dengan meyakinkan terlebih dahulu kepada para masyarakat bahwa eks napiter memiliki hak yang sama untuk kembali di tengah masyarakat.
Kedua, dukungan dari pemerintah melalui Bangkesbangpol. Lantas siapa yang berkewajiban untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat?. Dalam hal ini, Fatayat NU bekerjasama dengan Bangkesbangpol untuk memberikan sosialisasi kepada masyaraat. Selain itu, Bangkesbangpol juga aktif melakukan pendampingan pada eks napiter untuk memastikan mereka tidak kembali lagi dengan gerakan ekstrimis. Bangkesbangpol juga menjadi jembatan antara eks napiter dan masyarakat agar tidak terjadi diskriminasi pada eks napiter.
Ketiga, sinergi dan koordinasi dengan tokoh masyarakat. Selain bekerjasama dengan pemerintah, Fatayat NU juga melakukan pendekatan kepada tokoh masyarakat dimana eks napiter akan tinggal. Kehadiran tokoh masyarakat ini dibutuhkan untuk meredam provokasi baik dari pihak masyarakat maupun eks napiter. Karena posisinya yang rentan, eks napiter memiliki potensi untuk dikucilkan. Pun demikian dengan masyarakat, memiliki ketakutan tersendiri ketika harus berhubungan langsung dengan eks napiter. Maka disinilah kehadiran tokoh masyarakat sayang dibutuhkan untu menjembatani kepentingan keduanya.
Keempat, melibatkan keluarga napiter dalam kegiatan masyarakat. Salah satu cara untuk membuktikan bahwa eks napiter memiliki hak yang sama dalam kehidupan bermasyarakat, maka keluarga eks napiter ikut terlibat secara aktif dalam kegiatan masyarakat. Seperti menjadi panitia 17 agustusan, panitia PHBI, dan dilibatkan dalam musrembang desa. Pelibatan keluarga eks napiter ini juga menjadi jalan pembuka bagi kes napiter untuk juga terlibat di masyarakat. Selain itu, keluarga eks napiter juga memiliki kepercayaan diri karena suadah dianggap bagian dari kelompok masyarakat sebagaimana yang lainnya.
Kelima, bersinergi dengan pesantren. Pelibatan pesantren dalam upaya rehabilitasi dan reintegrasi eks napiter ini bertujuan untuk menginternalisasi paham moderat dalam beragama. Beberapa penelitian menegaskan bahwa teorisme berawal dari pemahaman agama yang radikal. Maka yang perlu dipastikan adalah bagaimana pemahaman agama eks napiter telah berubah menjadi pemahaman yang humanis. Selain itu, keberadaan pesantren juga diperlukan untuk memberikan kenyamanan pada masyarakat bahwa eks napiter tersebut benar-benar telah berubah dan tak akan kembali lagi ke jalan sebagaimana sebelumnya.
Demikianlah lima proses yang dilakukan fatayat NU dalam upaya rehabilitasi dan reintegrasi eks napiter. Meskipun menuai pro dan kontra, namun masyarakat harus memahami bahwa eks napiter juga memiliki hak yang sama untuk diterima di masyarakat kembali sebagaimana pelaku tindak pidana lainnya. Untuk memastikan mereka tidak mendapatkan diskirminasi, dan masyarakat juga mendapatkan kenyamanan ketika bergabung kembali, maka dibutuhkan kerjasama dari berbagai lini dan sektor. Sebagaimana yang dilakukan Fayatat NU, kerjasama dilakukan dengan pemerintah melalui bangkesbangpol, dengan tokoh masyarakat, dan juga pesantren.