6 Oktober 2022, tiga napiter eks Pekerja Migran Hongkong dipindah dari Rutan Polda Metro Jaya ke Rutan Perempuan di Semarang. Kabar mengenai keterlibatan PMI Hongkong dalam kelompok ekstrimisme menjadi berita yang cukup mengejutkan di awal tahun 2020 lalu. Bagaimana tidak, para PMI Hongkong tersebut tentunya meninggalkan Indonesia untuk memperbaiki perekonomian keluarga. Alih-alih bekerja dengan baik, mereka justru aktif terlibat dalam gerakan radikal.
Saat ini, ketiga napiter eks PMI Hongkong tersebut dalam masa menjalani hukuman tahanan. Ainun Pretty Amelia divonis 3 tahun penjara, Miranti Mahsum 2 tahun penjara, dan Listyowati divonis paling berat yaitu 3,3 tahun penjara. Melihat fakta keterlibatan PMI dalam gerakan radikal, perlu untuk dikaji tentang hubungan pekerja migran dengan kejahatan transnasional. Hal ini berkaitan dengan terjadinya infiltrasi kelompok terorisme dalam eksodus pengungsi dari kawasan Timur Tengah.

Kajian ini perlu dilakukan untuk mengantisipasi keterlibatan kembali PMI dalam kelompok terorisme. Mengingat jumlah PMI kita pada Maret 2022 mencapai 10.847 jiwa. Dari jumlah tersebut, sebanyak 34% ditempatkan di Hongkong, 30% di Taiwan, 10,8% di Jepang, 5,6% di Singapura, dan 4,7% di Saudi Arabia.
Kaum Migran dan War Against Terorism
War against terorism adalah proyek politik global Amerika. Dimulai pasca terjadinya serangan 11 September 2001. Salah satu program yang dilakukan adalah melakukan pembatasan mobilitas bagi kaum migran. Keberadaan kaum migran dianggap sebagai sebuah ancaman yang serius bagi suatu negara. Dampaknya, muncul sentimen yang tinggi terhadap kaum migran. Keberadaannya selalu dicurigai, dan tidak disenangi oleh warga lokal.
Pada tahun 2018, World Migration Report melaporkan terjadinya infiltrasi dan radikalisasi kelompok terorisme dalam eksodus migran/pengungsi dari kawasan Timur Tengah-Mediterania-Eropa. Hal ini menyebabkan terjadinya penguatan rejim populisme kanan, yang jauh anti migran dan Islamphobia di kawasan Eropa dan Amerika. Keadaan kaum migran yang sedemikian rupa dikonstruk oleh Barat dan Eropa, dimanfaatkan oleh kelompok teroris.
Kondisi yang rentan akibat gerakan anti migran dan islamophobia menjadi gerbang masuknya kelompok teroris untuk merekrut anggota. Hal ini diperparah dengan perasaan bersalah yang kaum migran rasakan karena menjalani kehidupan yang hedon dan bekerja dengan antek kafir. Mereka merasa tidak dipedulikan oleh negara asalnya, dan tidak mendapat ruang di tempat barunya. Kesendirian kaum migram di negeri orang inilah kemudian mendorong mereka untuk mencari komunitas-komunitas yang bisa mengisi kekosongan jiwa. Dimulai dari pertemuan komunitas virtual kemudian dilanjutkan dengan pertemuan luring. Kelompok teroris dengan pemahaman agama yang radikal dimasukkan secara perlahan.
Sebagai bentuk penebusan atas rasa bersalahnya, kaum migran menjadi donatur utama dalam mendukung gerakan terorisme di negara asalnya. Dengan kemampuan finansial yang dimiliki, kaum migran diperas dengan dalih turut serta dalam jihad untuk menebus dosa. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh Lisyowati, napiter TKW Hongkong yang secara aktif mendanai aksi terorisme di Indonesia.
Kawasan Asia Timur Sebagai Sasaran Gerakan Radikal
Sebagaimana disebutkan diawal, sebanyak 82% kaum migran Indonesia tersebar di wilayah Asia Timur antara lain Hongkong, Taiwan, dan Jepang. Selain itu, kaum migran di wilayah Asia Timur juga memiliki keistimewaan dibanding dengan kawasan lainnya. Mereka memiliki waktu istirahat bekerja di akhir pekan, sehingga waktu tersebut mereka manfaatkan untuk bergabung dengan komunitas-komunitas. Selain itu, untuk mengisi kekosongan jiwa karena feeling guilty (rasa bersalah) yang terus menghantui, mereka mencari kedamaian melalui social media. Buruh migran di wilayah ini juga memiliki keleluasaan untuk memanfaatkan internet.
Jaringan dan social media menjadi senjata yang efektif bagi kelompok teroris untuk merekrut TKW dan TKI agar bergabung dengan kelompok-kelompok ekstrimis. Infiltrasi nilai-nilai ekstrimis dikemas dalam bentuk kajian agama. Karena merasa memiliki visi dan misi yang sama, mereka bersedia melakukan apapun untuk turut serta berjuang demi agama. Salah satunya dengan menjadi donor finansial bagi kelompok teroris, menjadi kombatan, bahkan menjadi eksekutor bom bunuh diri. Itu semua mereka lakukan karena meyakini bahwa jihad adalah satu-satunya jalan untuk menebus kesalahan dan gerbang terakhir perjuangan di dunia untuk mendapatkan surga di akhirat kelak.