Fatayat NU terlibat secara aktif dalam proses rehabilutasi dan reintegrasi eks napiter. Hal ini bertujuan agar para eks napiter bisa menjalani hidup yang lebih baik setelah menjalani hukuman di lapas sebagaimana mestinya. Beberapa proses dilakukan oleh Fatayat NU, antara lain; melibatkan pemerintah dalam proses rehabilitasi, bekerjasama dengan tokoh masyarakat agar eks napiter bisa diterima; dan bekerjasama dengan pesantren untuk memasukkan pemahaman Islam moderat.
Selain itu, Fatayat NU juga melibatkan keluarga eks napiter untuk kegiatan di masyarakat. Hal ini bertujuan untuk menunjukkan kepada eks napiter bahwa masyarakat sudah mau membuka diri. Maka eks napiter juga harus meleburkan diri dan bergabung dengan komunitas masyarakat. Namun demikian, Fatayat NU tentunya menghadapi beberapa tantangan dalam proses rehabilutasi dan reintegrasi eks napiter. Lantas seperti apa tantangan yang dihadapi Fatayat NU selama proses rehabilitasi dan reintegrasi eks napiter?. Simak ulasannya berikut ini.
Tantangan Fatayat NU Selama Proses Rehabilitasi Dan Reintegrasi Eks Napiter
Alimatul Muniroh dalam acara Konferensi Nasional Aman Indonesia dan WGWC di tahun 2020, memaparkan sebuah paper tentang tantangan Fatayat NU selama proses rehabilitasi dan reintegrasi eks napiter. Dengan mengetahui tantangan yang dihadapi Fatayat NU, diharapkan mampu dijadikan pertimbangan dan analisis bagi lembaga lain yang tertarik dengan kegiatan dan isu serupa. Setidaknya ada 4 tantangan yang harus dihadapi Fatayat NU selama selama proses rehabilitasi dan reintegrasi eks napiter, antara lain;
Pertama, konsistensi pemerintah dalam mendukung isu moderasi beragama. Sejak tahun 2001, Indonesia terlibat secara aktif dalam menggelar berbagai konferensi internasional berkaitan dengan Islam Moderat. Berbagai konferensi tersebut diadakan sebagai salah satu respon masyarakat muslim atas berbagai tindakan terorisme dan radikalisme yang mengatasnamakan Islam. Sejak saat itulah narasi moderasi beragama ataupun islam moderat banyak disebutkan dalam berbagai diskusi, konferensi, maupun media online.
Hal ini sejalan dengan pendapat Fadl yang menyatakan bahwa moderasi beragama adalah solusi untuk menjawab problematika global berkaitan dengan tindakan berbasis radikal dan ekstrimis. Puncaknya di tahun 2014, Indonesia melalui Kementerian Agama secara resmi mengarusutmakan narasi moderasi beragama disetiap sector dan lini kegiatannya. Hal ini tentu berdampak positif dalam proses rehabilitasi dan reintegrasi eks napiter. Namun tantangannya adalah bagaimana jika program strategis kementerian agama ini tak lagi menjadi arus utama program pemerintah?
Kedua, sinergitas dengan ulama perempuan secara berkesinambungan. Kenapa dengan ulama perempuan? Karena berdasarkan narasi ekstrimis yang diyakini eks napiter dan keluarganya, ranah perempuan berada di wilayah domestik. Maka pengasuhan anak dan juga pengurusan rumah tangga merupakan hak kewenangan istri secara mutlak. Para istri memiliki potensi untuk menyebarkan paham radikal dan ekstrimis kepada anak-anaknya. Disinilah perlunya sinergitas bersama ulama perempuan, untuk memberikan pemahaman bahwa posisi suami dan istri setara dalam rumah tangga. Pun dalam pendidikan anak, istri juga harus menjadi garda terdepan yang menghalau paham radikal berkembang di keluarga.
Ketiga, komunitas napiter relatif tertutup. Eks napiter lahir dari komunitas eksklusif dan cenderung menjauhi kelompok diluar komunitasnya. Hal ini lantaran pemahaman mereka yang menyatakan bahwa musuh dalam ideologi adalah musuh dalam ladang jihad. Sehingga tak banyak masyarakat yang mengenalnya, apalagi mereka tinggal secara nomaden. Disinilah dibutuhkan keahlian pendamping dalam membuka akses dengan keluarga eks napiter. Salah satunya dengan melibatkan mereka dalam kegiatan sosial.
Keempat, stigma terhadap simbol keluarga eks napiter. Poin penting yang ingin disampaikan dalam pesan moderasi adalah tentang keterbukaan dalam menerima keberagaman (inklusivisme). Keberagaman dalam penentuan mazhab, perbedaan dalam meyakini tafsir tertentu, dan keberagaman lainnya tidak harus menghalangi seseorang untuk menjalin relasi baik atas dasar kemanusiaan.
Jika relasi antar manusia didasarkan pada nilai kemanuisaan, maka semua perbedaan akan dihadapi dengan kepala dingin dan jauh dari sikap anarkisme. Namun sayangnya, masyarakat masih menggunakan standar ganda dalam menerapkan sikap moderat. Di satu sisi menyuarakan sikap untuk berada di tengah, namun di sisi lain juga melakukan stigmatisasi dan penggolongan kepada suatu kelompok berdasarkan preferensi busananya. Salah satunya kepada eks napiter dan keluarganya. Maka penting untuk dipahamkan kepada masyarakat bahwa busana merupakan salah satu bentuk ekspresi keagamaan.
Demikianlah informasi mengenai tantangan Fatayat NU selama proses rehabilitasi dan reintegrasi eks napiter. Dengan mengetahui tantangan tersebut, diharapkan komunitas dan ormas lain bisa mengantisipasi beberapa tantangan yang dialami Fatayat NU tersebut. Bagaimanapun, pelibatan eks napiter pada komunitas masyarakat adalah sebuah tantangan bersama. Tantangan untuk menjaga sisi kemanusiaan eks napiter, dan juga tantangan dalam menyadarkan masyarakat bahwa eks napiter juga memiliki hak yang sama untuk terlibat dalam komunitas masyarakat.