Kita sepakat bahwa Terorisme adalah kejahatan besar yang mengancam kedaulatan NKRI. Besarnya ancaman ini menuntut pemerintah untuk melakukan strategi komprehensif dalam penanganannya. Disahkannya Perpres No.7 Tahun 2021 Tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstrimisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN PE) merupakan upaya nyata pemerintah dalam merespons meningkatnya ancaman ektrimisme yang mengarah pada kekerasan di Indonesia.
RAN PE merupakan regulasi turunan dari UU No.5 Tahun 2018 Tentang Revisi UU No.15 tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Jika UU terorisme masih dominan pendekatan Hard Power di mana negara menggunakan aktor-aktor sekuriti dalam menangani tindakan terorisme, RAN PE lebih menggunakan pendekatan Soft Power dengan keterlibatan aktor-aktor non sekuriti seperti organisasi masyarakat, organisasi perempuan, dan organisasi-organisasi masyarakat sipil lainnya.
Pertanyaannya kemudian adalah, Mengapa masyarakat sipil penting untuk dilibatkan?
Negara adalah satu-satunya Lembaga yang diberi kewenangan menggunakan kekerasan dalam menghentikan kekerasan antarwarga, termasuk di dalamnya adalah aksi terorisme. Namun kewenangan tersebut harus dibatasi oleh prinsip hak asasi manusia untuk mencegah kesewenang-wenangan. Pada titik inilah masyarakat sipil berperan. Bagaimana maksudnya?
Jadi gini, dalam berbagai studi tentang masyarakat terutama dalam diskursus ilmu-ilmu sosial, masyarakat sipil menjadi tolak ukur bagi kemajuan dan peradaban suatu bangsa dalam pandangan politik demokrasi. Karena itu, suatu masyarakat yang demokratis haruslah terakumulasi dalam satu karakteristik yaitu masyarakat sipil.
Anda mungkin sering mendengar istilah Civil Society. Ya, Civil Society adalah istilah lain dari masyarakat sipil. Sebenarnya banyak istilah lain seperti masyarakat beradab, masyarakat berbudaya, masyarakat madani dan sebagainya. Nurcholis Madjid secara sederhana mendefinisikan masyarakat sipil adalah masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai pluralisme, HAM dan demokrasi.
Epistemologi barat secara garis besar mendefinisikan masyarakat sipil adalah masyarakat mandiri yang terlepas dari pengaruh-pengaruh politik negara, ditandai dengan keswasembadaan, kesawadayaan dan kekuatan politik yang sejajar dengan negara. Hal ini sekaligus menjadikan masyarakat sipil sebagai pengontrol kebijakan publik yang diberlakukan kepada mereka.
Dalam masyarakat sipil terdapat istilah penting yang mewadahi eksistensi mereka yaitu Civil Society Organization (CSO) yang mencakup organisasi keagamaan, organisasi, organsasi pemuda, organisasi perempuan, organisasi berbasis massa, perserikatan dan lainnya yang biasanya berada di luar aparat negara yang formal.
Hal terpenting yang menjadi perhatian adalah kemandirian masyarakat sipil yang tidak mempunyai ikatan struktural langsung dengan negara sehingga memiliki ruang yang bebas sebagai penyeimbang negara. Nah, di sinilah perannya dalam mengontrol kebijakan publik dan kewenangan pemerintah agar tidak sewenang-wenang dan melenceng dari prinsip hak asasi manusia.
Hal tersebut kemudian menjadi modal penting bagi CSO untuk memainkan peran penting dalam berbagai kebijakan pemerintah. CSO biasanya bersentuhan langsung dengan masyarakat dalam aktivitas kesehariannya sehingga lebih dapat menerjemahkan apa yang dibutuhkan masyarakat. Kemampuan ini kurang dimiliki oleh Lembaga-lembaga pemerintahan formal sehingga kebijaakan yang tidak melibatkan CSO perencanaannya akan cenderung bias.
Selain itu, pelibatan CSO juga akan menciptakan ruang sehat dalam perkembangan setiap masyarakat di mana masyarakat bisa berkontribusi secara kritis delam kehidupan publik. Sekaligus melatih hak dasarnya akan informasi, kebebasan berekspresi, berkumpul, berasosiasi dan berpartisipasi. Kontribusi tersebut kemudian memungkinkan keputusan pemerintah mencerminkan prioritas dan kebutuhan masyarakat.
Dengan demikian, keterlibatan CSO dalam setiap perencanaan kebijakan sangat penting terutama dalam konteks penanganan terorisme. Apalagi selama ini penanganan terorisme masih cenderung menggunakan hard power sehingga CSO tidak memiliki porsi yang cukup dalam memberikan kontribusi kebijakan dan strategi penanganan terorisme.
Di beberapa negara maju CSO memainkan peran penting dalam berbagai kebijakan dan kegiatan penanganan terorisme. Seperti di Kanada, Amerika dan Inggris yang menggandeng CSO sebagai mitra strategis pemerintah dalam penanganan terorisme terutama setelah tragedi 11 September. Bahkan mereka memberikan dukungan anggaran untuk negara-negara berkembang seperti Pakistan, Afganistan, Sri Lanka dan lainnya untuk melakukan sinergi penanganan terorisme Bersama organisasi masyarakat sipil.
Dalam konteks Indonesia, disahkannya RAN PE pada tahun 2021 merupakan terobosan progresif di mana sinergi pemerintah dan CSO lebih holistik dan intens dalam penangulangan ektrimisme mengarah pada terorisme. Kerja sama dan sinergi tersebut merupakan modal besar bagi efektivitas implementasi RAN PE yang menekankan pada aspek pencegahan dan penguatan kapasitas sehingga pelaksanaan penegakan hukum tidak melanggar konstitusi dan bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia.
Bagi pemerintah, pekerjaan utamanya adalah bagaimana masalah koordinasi antara lembaga dan kementrian dapat teratasi dengan baik, sementara CSO tugasnya adalah menjadi mitra kritis untuk mengawal implementasi RAN PE agar berjalan sesuai prinsip-psinsip yang diatur terutama terkait penguatan pengarusutamaan gender dan pemenuhan hak anak.
Salah satu hal yang dilakukan untuk mengawal implementasi tersebut adalah dengan membentuk kelompok kerja (Pokja). Aneka masukan dari masyarakat sipil kepada pemerintah dapat disalurkan melalui pokja-pokja yang dibentuk. Selain itu juga diharapkan dapat mengetahui perkembangan pelaksanaan RAN PE secara regular.
Di setiap peluang akan selalu ada tantangan. Sinergisitas antara masyarakat sipil dan pemerintah memang memberikan dampak yang positif. Namun menurut beberapa ahli tantangannya kemudian adalah bagaimana masyarakat sipil tetap kritis walaupun “main di dalam” bersama pemerintah.
Masyarakat sipil tidak boleh hanyut. Artinya harus tetap pada tempatnya sebagai mitra kritis. Walaupun pemerintah mulai terbuka atas masukan dan saran, seolah melebur menjadi satu dan berteman, masyarakat sipil harus tetap mengingatkan jika pemerintah melenceng dari prinsip-prinsip utama yang diatur dalam RAN PE sehingga kolaborasi antar pemangku kepentingan dapat berjalan efektif dan menghasilkan perubahan yang signifikan.