Sejarah mencatat bahwa sejak tahun 2000 aksi teror bom termasuk bom bunuh diri marak terjadi di Indonesia. Salah satu yang menarik perhatian dunia dan memakan banyak korban jiwa adalah Bom Bali I di tahun 2002.Nama-nama seperti Imam Samudra, Ali Ghufron, Amrozi dan Ali Imron pun dikenal sebagai pelaku teror.
Perkembangan setelahnya justru lebih memprihatinkan di mana teror bom terus berlanjut bahkan setelah tokoh utamanya tewas atau tertangkap. Seperti yang terjadi di Polresta Cirebon pada tahun 2011, Mapolresta Solo pada Tahun 2016, Sarinah Jakarta (2016), Mapolrestabes Surabaya dan di tiga gereja di Surabaya (2018) yang kesemuanya tentu memakan korban.
Setiap mendengar berita tentang teror bom yang dilakukan oleh kelompok teroris, naluri saya selalu bertanya-tanya apa sebenarnya yang ada di benak mereka? Mengapa mereka memilih menjadi teroris dan tega malakukan tindakan yang bahkan menyebabkan kematian orang lain.
Pertanyaan saya sedikit terjawab setelah saya membaca bukunya Sarlito Wirawan Sarwono yang berjudul “Terorisme Indonesia Dalam Tinjauan Psikologi”. Dalam Buku yang berbasis riset tersebut Sarlito menemukan bahwa ada beberapa macam motivasi berbeda yang dapat membuat seseorang terlibat terorisme mulai dari sekadar ikut-ikutan tanpa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, hingga pada jihad ekstrem yang bahkan rela mengorbankan jiwa bagi kemenangan Islam.
Terlepas dari perbedaan motivasi dari beberapa pelaku, terdapat satu kesamaan yang sifatnya prinsip, yaitu ingin memperbaiki keadaan yang mereka anggap tidak adil dan tidak sejalan dengan ajaran Islam. Secara eksplisit mereka menganggap pemerintah Indonesia menjalankan negara yang tidak Islami. Karenanya jihad dianggap penting untuk memperbaiki situasi negara.
Sedangkan jihad menurut mereka adalah memerangi mereka yang nonmuslim dan muslim yang tidak mempraktikkan Islam sesuat syariat. Tentu ini terjadi karena mereka melihat Islam secara hitam putih, baik dan buruk. Al-Quran dimaknai secara literal dan tekstual tanpa melihat konteks sosial dan budaya.
Penting untuk memahami bahwa ada dua tipe teroris yang berbeda. Pelaku bom bunuh diri bukanlah satu-satunya pihak yang merencanakan strategi. Mereka biasanya hanyalah eksekutor yang direkrut oleh aktor intelektual yang berada di balik layar. Penjahat yang sesungguhnya adalah yang di belakang layar karena dia yang merencanakan segalanya mulai dari strategi sampai implementasi operasi yang tujuan sebenarnya adalah untuk ambisi mereka sendiri, entah itu uang, kekuatan atau apa pun.
Karenanya, kondisi psikologi bisa saja berbeda antara dua tipe teroris ini. Jessica Stern dalam bukunya yang berjudul “Teror in the Name of God: Why Religious Millitans Kill” menggambarkan Ja’far Umar Abu Thalib pemimpin Laskar Jihad yang merekrut orang dan mengirimnya ke pertempuran di Ambon sebagai “Radikal agama yang kriminal”.
Hal ini dikarenakan metode dan teknik yang digunakan untuk meningkatkan citranya sebagai pemimpin yang suci dan kuat hampir tidak manusiawi. Di sisi lain dia juga mengembangkan hubungan baik dengan begitu banyak orang penting untuk mendulang dukungan politik bagi apa yang disebut jihad Islam. Tipe teroris semacam ini kemudian menurut Jessica cocok dengan kriteria Psikopatik seperti kemampuan memanipulasi, tidak sensitif dan kurang empati, lemahnya kontrol perilaku dan kecenderungan atas perbuatan kriminal.
Berbeda halnya dengan teroris yang menjadi eksekutor atau pelaku bom bunuh diri. Berdasarkan hasil riset Sarlito yang dilakukan melalui wawancara beberapa pelaku teror dan analisis video pengakuan tiga pelaku bom bunuh diri Bom Bali II, mengungkap bahwa tidak ada indikasi bahwa pelaku memiliki sakit mental atau kepribadian. Temuan ini sekaligus menyangkal asumsi yang dikatakan beberapa ahli bahwa pelaku bom adalah orang-orang yang psikopat atau neurotik.
Seperti ketika mewawancarai AF-Nama disamarkan pada September 2004 yang sebelumnya didiagnosis sebagai skizofrenik, hasil observasi nyatanya menunjukkan bahwa tidak ada tanda-tanda skizofrenia seperti delusional, halusinasi, ucapan tak teratur ataupun perbuatan yang acak. AF justru sangat bersahabat, murah senyum dan berbicara dengan logis dan fokus. Mereka juga bukan psikopat, mereka mencintai dan bertanggungjawab terhadap keluarganya. Mereka normal secara psikologis layaknya manusia pada umumnya.
Lantas apa yang membuat mereka berbeda? Jawabannya adalah nilai di kepala mereka. Sama seperti individu dan komunitas lain yang memiliki nilai dan logikanya sndiri, begitu juga para teroris dan pelaku bom bunuh diri, mereka mempunyai sistem nilai dalam diri yang mereka yakini kebenarannya. Mereka lebih memuja kematian daripada kehidupan. Satu-satunya impian dan pencapaian mereka adalah memenuhi apa yang mereka yakini sebagai takdir mereka yaitu menjadi syahid.
Keyakinan ini sebenarnya bermula dari rasa keingintahuan dan dorongan belajar Islam lebih dalam sehingga mereka bergabung dengan kelompok belajar Islam baik di sekolah, ataupun di lingkungan sekitar. Sayangnya mereka justru bertemu dengan ustaz-ustaz yang menyampaikan ajaran mengenai jihad secara masif dan mereka tidak menyadari siapa yang mereka dengarkan.
Kelompok ini adalah mereka yang dideskripsikan Jessica Stern sebagai orang-orang yang bimbang, yang kehilangan orientasi dalam menatap masa depannya dan tidak tahu pilihan apa yang harus mereka ambil. Mereka bisa saja orang-orang yang mengalami diskriminasi oleh masyarakat baik secara ekonomi, sosial, politik, budaya atau yang lainnya.
Beberapa kebutuhan implisit seperti kebutuhan akan identitas diri, kebutuhan untuk diakui dan dihargai membuat mereka membutuhkan status untuk meningkatkan harga diri mereka. Status tersebut hanya dapat diperoleh melalui suatu kelompok yang menawarkan jalan yang bisa menentukan baik dari buruk, benar dari salah, perasaan aman dan jalur pintas menuju surga.
Pada tingkat ini kemudian membuat mereka akan mempercayai bahwa setelah mereka melawan musuh, maka surga menanti mereka jika mereka mati syahid sebagai martir. Ketika mereka mampu berpartisipasi dalam merubah masyarakat, memberantas kejahatan dan memberikan pengorbanan, ketika itulah mereka merasa telah menjadi pahlawan.
Kita sepakat bahwa salah satu cara penanggulangan terorisme adalah dengan melakukan pendekatan komprehensif yang melibatkan banyak pihak baik pemerintah maupun masyarakat. Dalam konteks ini, pendekatan Psikologi sangat penting dilakukan untuk mengurai bagaimana profil dan latar belakang pelaku, karakter, kebiasaan hidup, pandangan keagamaan dan ideologi politik, serta perilaku sosial termasuk hal-hal apa saja yang bisa menentukan seseorang menjadi pelaku teroris atau tidak.
Pengetahuan akan hal tersebut kemudian akan memudahkan dalam pendeteksian dini. Tentu saja dengan melibatkan warga masyarakat dengan melakukan sosialisasi dan edukasi agar mereka lebih sadar dan waspada pada aktivitas tertentu yang tidak biasa. Harapannya hal ini kemudian akan menjadi salah satu jalan alternatif dalam memutus mata rantai aksi-aksi terorisme di Indonesia.