Satu dekade terakhir, ancaman dan potensi kekerasan berbasis terorisme serta ekstremisme masih membayangi banyak negara di dunia, termasuk di Indonesia. Bahkan semenjak pandemi, para kelompok radikalisme terus bergerilya mempropagandakan narasi radikalisme mereka meski mayoritas pemerintah memberlakukan kebijakan pembatasan gerak. Gerakan ekstremisme yang dulunya merekrut anggota dan menyebarkan propagandanya secara langsung kini tak kehabisan akal.
Mereka justru melihat peluang dari adanya pandemi yang menghantam seluruh negara di dunia. Alih-alih hadir dan berjumpa langsung dengan target baru gerakan radikalisme, mereka kini mengembangkan strategi untuk menyebarkan narasi ekstremisme secara daring. Mereka mulai mengoptimalkan media sosial terutama dengan minimnya sensor dan filter dari perusahaan-perusahaan media besar untuk terus menjaring follower baru.
Riset terakhir dari United Nations Counter-Terrorism Executive Directorate (UNCTED) melaporkan bahwa ‘marjinalisasi’ sosial akibat pembatasan wilayah mendorong lebih banyak orang untuk menghabiskan lebih banyak waktu dengan gadget, yang selanjutnya membuka peluang bagi kelompok radikal untuk memanfaatkan kondisi tersebut. Kelompok-kelompok radikal ini ditengarai secara membabi buat menyebarkan propaganda mereka secara masif melalui postingan narasi hingga cuplikan video pendek.
Bahkan target dari kampanye negatif mereka tidak hanya menyasar individu-individu paruh baya saja, tapi mereka juga menargetkan orang-orang dengan usia lebih muda. Generasi muda bagi mereka tidak hanya membantu mereka secara jangka panjang, tapi ketika mampu menggaet mereka sejak awal, mereka juga berharap bahwa mereka akan lebih mudah menjadi agen penggerak radikalisme selanjutnya.
Alasan anak-anak muda dijadikan sasaran baru gerakan radikalisme karena mereka masih dalam tahap pencarian jati diri. Dan alasan keduanya berkenaan dengan bagaimana tingkat eksplorasi anak muda terhadap hal-hal baru lebih terbuka dibandingkan orang dewasa. Tak heran dalam beberapa tahun terakhir, terutama ketika pandemi, gerakan radikal banyak menyasar anak-anak muda untuk menjadikan mereka target selanjutnya.
Melihat kondisi ini, serta merta melarang generasi muda untuk berhenti menggunakan media sosial dengan alasan menghindarkan mereka dari bahaya radikalisme bukanlah respon yang terbaik. Justru strategi paling efektif dalam mencegah mereka terjerumus narasi-narasi propaganda kelompok ekstremis adalah dengan memanfaatkan media sosial dengan narasi yang berbanding terbalik. Dan penting untuk dipertimbangkan untuk membuat narasi kontra radikalisme yang jauh lebih menarik dibandingkan dengan konten-konten yang diproduksi oleh kelompok-kelompok ekstremis. Sehingga, anak-anak muda lebih tertarik dengan konten toleransi dan perdamaian daripada konten-konten yang memancing emosi.
Untuk mendukung strategi tersebut, pihak berkepentingan seperti pemerintah dan LSM tidak bisa serta merta bergerak sendiri. Alangkah jauh lebih baik jika keduanya bekerja sama dengan influencer seperti selebgram, aktor/aktris yang dijadikan panutan atau idola oleh kawula muda agar pesan yang disampaikan dapat menjangkau audiens dengan lingkup yang lebih luas.
Mengapa bekerja sama dengan influencer? Merujuk riset Big Wave terkini, influencer media sosial memiliki kemampuan untuk menjangkau audiens yang besar di platform mereka baik dari Tiktok, Instagram, Facebook, dan lainnya. Yang istimewa dari sosial media, influencer adalah fanbase mereka sangat loyal dan kepercayaan mereka terhadap influencer tinggi. Menurut survei oleh Nielsen, 92% pelanggan lebih mempercayai influencer daripada iklan atau dukungan selebriti tradisional.
Sebuah produk, jika disajikan secara positif oleh influencer, dipandang lebih disukai oleh pelanggan. Artinya, pengikut mereka lebih cenderung melakukan pembelian sebagai akibat langsung dari promosi dari influencer. Sebuah survei oleh Twitter telah menunjukkan bahwa hampir 40% pengguna Twitter mengatakan bahwa mereka membeli produk setelah membaca tweet dari influencer media sosial.
Lebih jauh, data tadi menunjukkan bahwa 49% pengguna media sosial mengandalkan rekomendasi dari influencer daripada jika teman mereka sendiri yang merekomendasikan produk itu (56%). Situasi tersebut tentu akan berlaku sama jika produk diganti dengan konten/narasi positif. Sehingga alih-alih melarang/memblokir media sosial, semua pihak berkepentingan justru perlu memproduksi propaganda yang berbeda untuk melawan kampanye radikalisme yang dijalankan oleh gerakan-gerakan ekstremis.