Hijrah dan Bayang-Bayang Radikalisme

Bagi kalangan muda, istilah hijrah memiliki perluasan makna yang cukup tidak terbatas. Ditinjau dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hijrah memiliki makna perpindahan Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah. Makna tersebut merujuk kepada kisah perjalanan Rosulullah yang mencari tempat aman untuk melakukan perluasan dakwah dalam menyebarkan ajaran Islam. Pada term pemaknaan yang lain, hijrah diartikan sebagai proses perpindahan dari yang tidak baik menuju baik, atau dari baik menuju lebih baik.

Berdasarkan makna tersebut, maka hijrah dimaknai sebagai proses yang panjang dan sustainable, dimana setiap orang akan melakukan proses tersebut untuk menjalan kehidupannya. Keinginan untuk hidup lebih baik daripada hari kemarin, haruslah didasari dengan upaya untuk melakukan kebaikan dari dalam diri manusia itu sendiri. hal itu sesuai dengan sebuah pepatah yang pernah diucapkan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib RA bahwa, “Barangsiapa hari ini lebih baik daripada hari kemarin, maka ia adalah orang yang beruntung.”

Hijrah dan Bayang-Bayang Radikalisme

Namun, pemaknaan hijrah pada masa kini, di tengah cepatnya arus segregasi identitas keagamaan yang mengkotak-kotakkan para pengikutnya, hijrah menjadi sebuah cara hidup kekinian dengan banyak pengikutnya anak muda, yang rata-rata mengalami krisis identitas sebagai manusia. Di tengah banyaknya menjamur ustaz-ustaza di media sosial yang memiliki daya tarik jauh lebih bagus dibandingkan dengan ustaz yang ada di sekitar, ataupun kampung halaman, bahkan di pondok pesantren, media sosial menjadi ruang keagamaan baru yang dimiliki oleh anak muda dalam melakukan proses hijrah dirinya menjadi lebih baik. Berdasarkan fenomena ini, tidak jarang, hijrah terbatas pada perubahan penampilan, dari tidak berjilbab menjadi berjilbab, dari berjilbab menjadi syar’I ataupun seterusnya.

Tidak heran, ketika sanad keilmuan yang paling utama dimiliki oleh anak muda berasal dari media sosial, perilaku yang ditampilkan dalam proses hijrah tersebut cenderung menilai sesuatu hanya dari aspek eksternal saja, tanpa menyentuh substansi. Krisis yang dimiliki oleh anak muda yang membutuhkan jawaban dengan menghasilkan perubahan indikator keagamaan.

Hijrah menjadi cara hidup yang baru bagi anak muda. Artinya, manusia tidak hanya hidup untuk memikirkan keselamatan dirinya sendiri, akan tetapi keselamatan orang lain. Tidak heran, praktik hijrah yang ditampilkan adalah, memberi tahu orang lain apa yang menurutnya benar dan yang salah, tanpa menghargai perbedaan pendapat yang dimiliki oleh orang lain. Hal ini yang kemudian menjadikan hijrah masa kini dekat sekali dengan bayang-bayang radikalisme. Mengapa demikian?

Praktik keagamaan tersebut tidak ada bedanya antara ruang private dan ruang publik. Agama yang pada awalnya sebaga ruang private berubah menjadi ruang publik dengan simbol-simbol keagamaan yang dijadikan prioritas utama dalam melihat kegamaan yang dimiliki oleh seseorang. Ruang keberagamaan itu menjadi ruang yang ciamik bagi kalangan anak muda untuk mendapatkan pengakuan sebagai anak muda hijrah yang sholeh dan solehah di tengah masyarakat. Hal itu bisa dilihat dari banyak ruang seperti: media sosial dengan postingan ajakan hijrah sebagai upaya untuk mengajak orang lain juga ikut gerakan hijrah. Selain itu, kajian-kajian hijrah online, mulai dari Instagram, hingga grup whatsapp merupakan salah satu hal yang dilakukan oleh generasi millenial.

Berdasarkan aktifitas di atas, hijrah menjadi salah satu upaya yang dekat sekali dengan bayang-bayang radikalisme. Hal ini karena, berdasarkan tahapan radikalisme yang ada beberapa tahap, diantaranya: pra radikalisasi, identifikasi diri, indoktrinasi, dan jihadisasi (aksi). Pra radikalisasi, seseorang pada tahap untuk melakukan perubahan yang ada pada dirinya. Apalagi ketika merasa memiliki dosa yang amat besar, kehidupannya gersang dan mengalami kegelisahan. Selanjutnya berapa di posisi identifikasi diri. Saat seseorang mengalami krisis identitas, ia kemudian mempertanyakan posisi dirinya dalam agama.

Sehingga seseorang merasa sangat perlu untuk melakukan perubahan. Jika sampai pada tahap selanjutnya, yakni indoktrinasi, kegelisahan seseorang terhadap perannya pada agama mulai terjawab dengan belajar agama dari guru, salah satunya belajar agama di media sosial. Pada proses inilah, hijrah dihantui bayang-bayang radikalisme. Apabila praktik hijrah diwujudkan dengan membenarkan ajaran diri sendiri, tidak melihat keragaman perspektif, yang terjadi justru sikap eksklusifitas dalam beragama.

Di tengah cepatnya perubahan dalam berinteraksi bersama orang lain, ruang keagamaan yang sangat luas, memiliki pengaruh besar akan konsumsi ilmu pengetahuan agama di media sosial. Melebarkan sayap dakwah dalam media sosial merupakan tanggung jawab bagi para pendakwah, ataupun orang-orang yang memiliki kemampuan agama. Tanggung jawab tersebut harus berbanding lurus dengan kesadaran orang-orang yang memiliki kemampuan agama, khususnya para ustaz-ustazah dari kalangan pondok pesantren, kiai ataupun bunyai, dimana dalam kehidupan nyata, dipercaya oleh masyarakat memiliki otoritas keilmuan agama yang cukup baik.

Penulis

Opini

Di sini kita membahas topik terkini tentang perempuan dan upaya bina damai, ingin bergabung dalam diskusi? Kirim opini Anda ke sini!

Scroll to Top