Kofi Annan menyatakan bahwa pendidikan adalah tonggak kemajuan, baik dalam masyarakat maupun dalam keluarga. Namun sayangnya, perkembangan dunia pendidikan menunjukkan hasil yang mengecewakan utamanya bagi negara berkembang. Di Filipina misalnya, mengalami krisis pendidikan sehingga 9 dari siswa berusia 10 tahun di negara tersebut mengalami “learning poverty”.
Learning poverty disebut dengan kemiskinan belajara. Suatu kondisi dimana anak di usia tersebut gagal dalam memahami sebuah cerita sederhana. Padahal, membaca dan memahami bacaan adalah pintu utama untuk memahami kelimuwan yang lainnya. Ketidakmampuan anak dalam memahami sebuah bacaan sederhana akan menghambat kemampuan lain yang harus dikuasai pada usia selanjutnya.

Dampak Penggunaan Internet bagi Pemuda di Masa Pandemi
Keadaan semakin terpuruknya dunia pendidikan ini diperparah dengan kondisi pandemi covid-19 yang menjangkiti dunia dalam dua tahun terakhir. Sekolah ditutup, digitalisasi pendidikan dimasifkan. Bagi negara dengan tingkat kesenjangan digital yang tinggi, fenomena ini tentunya menjadi permasalahan yang sangat serius. Ketidaksanggupan negara berkembang dalam mengikuti tren digitalisasi pendidikan menyebabkan pendidikan semakin terpuruk.
Akibat pandemi ini pula, pemuda menjadikan internet dan social media sebagai sumber utama dalam mengakses segala informasi. Pemuda dengan usia 13 hingga 18 tahun bahkan menghabiskan 9 jam perhari untuk menatap layar gadget maupun laptop.
Fakta ini memunculkan berbagai tantangan, pertama; efek negatif yang ditimbulkan dari minimnya interaksi antar satu dengan yang lain untuk masa depan pemuda, kedua; kemungkinan munculnya permasalahan kesehatan mental akibat social media, ketiga; kerentanan terhadap akses berita palsu dan disinformasi, keempat; penyebaran ideologi ekstrimis dan ujaran kebencian di media online.
Tantangan keempat merupakan tantangan terberat yang harus dihadapi. Hal ini lantaran ideologi ekstrimis dan kekerasan banyak tersebar dari berita palsu, disinformasi, ujaran kebencian yang banyak tersebar di media online. Lantas apa yang harus dilakukan untuk memberikan edukasi kepada pemuda agar terhindar dari paparan ideologi radikal? Padahal saat ini segala informasi dapat diakses melalui gadget dalam genggaman jari mereka?
Strategi Menghindarkan Generasi Muda Dari Paparan Ideologi Radikal
Ada beberapa strategi yang bisa dilakukan untuk menghindarkan generasi muda dari paparan ideologi radikal. Strategi tersebut antara lain;
Pertama, memberikan pembelajaran dan kesempatan yang setara termasuk untuk akses digital. Ketika pemerintah mencanangkan digitalisasi pendidikan, maka penduduk yang tinggal di pedalaman harus mendapatkan perhatian dan bantuan yang serius. Ketidakmerataan kemampuan dalam akses digital harus dipahami oleh pemerintah. Sehingga pemerintah tidak hanya memberikan kebijakan yang relevan untuk masyarakat perkotaan saja.
Kesenjangan dalam dunia digital ini harus diiringi dengan penyetaraan akses. Salah satunya bisa dilakukan dengan memberikan akses internet gratis melalui pemerintah desa. Sehingga anak-anak di desa mampu mengikuti program digitalisasi pendidikan dengan baik.
Kedua, pemerintah bekerjasama dengan sekolah dalam memberikan pelatihan pencegahan terorisme dengan memasukkan materi tersebut dalam bentuk modul pelajaran sekolah. Sekolah adalah tmpat paling efektif yang bisa dijadikan sebagai tempat pencegahan terorisme. Salah satunya bisa dilakukan dengan melakukan insersi materi pencegahan terorisme dalam mata pelajaran kewarganegaraan.
Selain menjadi warganegara yang baik, pelajar juga harus memahami dampak negatif dari ekstrimisme terhadap identitas dan kelangsungan bangsa ini. Fakta terpecahbelahnya negara di Timur Tengah berangkat dari pemahaman radikal harus disampaikan kepada para pelajar.
Ketiga, perkuat kesehatan mental pemuda baik di sekolah, keluarga maupun masyarakat. Perlu sinergitas yang komprehensif dari ketiga elemen tersebut. Pendidikan sekolah yang bagus tanpa dukungan dari orang tua akan sia-sia. Pun jika dukungan keluarga bagus namun sekolah tidak melakukan edukasi yang baik juga tidak bisa mendapatkan hasil yang maksimal.
Keempat, memasifkan kontra narasi ekstrimisme melalui media digital. Fakta bahwa ideologi ekstrimis banyak tersebar melalui konten digital, maka harus dilakukan kontra narasi yang masih di seluruh media digital. Konten yang ditampilkan juga harus disesuaikan dengan karakteristik anak muda. Narasi sederhana, sesuai dengan konteks, dan sesuai dengan nalar di usia mereka. Kontra narasi yang teoritis dan bahasa yang sulit dipahami justru akan menjauhkan tujuan awal dari kontra narasi tersebut.
Hubungan antara media digital dan pemuda bersifat ambivalen. Di satu sisi bisa berdampak positif untuk tambahan pengetahuan. Namun di satu sisi juga berdampak negatif jika informasi yang diakses ternyata informasi yang kredibilitasnya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Maka perlu sinergi yang baik antara pemerintah, sekolah, keluarga, dan masyarakat untuk menghindarkan pemuda dari potensi terpaparnya paham radikal.