Rumah belajar atau Homeschooling telah menjadi tren dalam dunia Pendidikan dalam beberapa dasawarsa terakhir. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No.129/2014 disebutkan bahwa Homeschooling adalah layanan Pendidikan yang dilakukan oleh orangtua/keluarga di rumah atau tempat-tempat lain dalam bentuk tunggal, majemuk dan komunitas di mana proses pembelajaran dapat berlangsung dalam suasana kondusif agar setiap potensi peserta didik yang unik dapat berkembang secara maksimal.
Berdasarkan definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa homeschooling merupakan inovasi dan terobosan baru. Dalam peraturan tersebut disebutkan tiga bentuk homeschooling yang dibedakan berdasarkan jumlah peserta yang terlibat. Ada yang Tunggal atau sendiri, Majemuk atau lebih dari satu keluarga dan Komunitas atau gabungan dari semuanya.
Dari ketiga bentuk tersebut terdapat satu kesamaan yang prinsip, yaitu anak didik dapat belajar mandiri di lingkungan keluarga atau komunitas dengan kurikulum yang lebih spesifik dengan waktu yang fleksibel. Sangat berbeda dengan model pendidikan formal yang kurikulum, kelas dan waktu belajar dilakukan secara sistematis dan terjadwal.
Layanan Pendidikan ini kemudian mengalami perkembangan pesat di kota-kota besar di Indonesia ditandai dengan banyaknya publikasi tentang cara pengelolaan homeschooling dan juga tersebarnya beberapa layanan homeschooling seperti homeschooling Primagama, Homeschooling Rumah Inspirasi dan banyak lagi.
Dilihat dari sisi akademik, homeschooling dinilai mampu memberikan keunggulan pada anak untuk mempelajari bidang ilmu yang diminati secara lebih spesifik dan mendalam dibandingkan di sekolah formal. Orangtua juga tidak perlu khawatir akan bahaya perundungan yang biasanya terjadi di sekolah formal, selain itu orangtua juga bisa mengajarkan ajaran agama dan menanamkan nilai-nilai religiositas sejak dini sesuai nilai keagamaan yang dianut.
Namun, melihat banyaknya penelitian yang menemukan bahwa dunia pendidikan menjadi lahan strategis dalam meyebarkan paham radikal yang mengarah pada ekstrimisme, maka perlu kiranya untuk melihat potensi serupa dalam kelompok homeschooling ini. Potensi tersebut bisa jadi lebih berbahaya melihat kefleksibelannya dan kurangnya pengawasan pemerintah. Ditambah lagi perubahan tren terhadap kelompok ekstrimis beberapa tahun belakangan yang menjadikan keluarga sebagai basis radikalisasi perempuan dan anak.
Seto Mulyadi dalam bukunya yang berjudul “Homeschooling Keluarga Kak Seto: Mudah, Murah Meriah dan Direstui Pemerintah” mengatakan bahwa Terdapat sejumlah motif dan latar belakang mengapa banyak orangtua beralih ke model homeschooling.
Mulai dari keinginan untuk memelihara kepercayaan dan nilai-nilai yang dipegang teguh keluarga dan fokus mendidik anak berdasarkan keunikan tertentu bakat mereka. Keberatan dengan cara yang ditempuh sekolah dalam memperlakukan anak termasuk keberatan dengan gejala sekularisasi di sekolah formal sehingga memandang sekolah tidak lagi memiliki kekuatan yang memadai dalam menanamkan nilai-nilai disiplin dan etika.
Meski banyak sekali keunggulan yang didapat dari layanan pendidikan ini, namun beberapa ahli juga memberikan kritik. Seperti kritik dari National Education Association yang menyampaikan bahwa homeschooling berpotensi menyebabkan anak menjadi kurang bersosialisasi dengan teman sebaya yang memiliki agama dan latar belakang yang berbeda. Potensi ini kemudian bisa berkembang melahirkan ekstrimis agama, ekstrimis sosial ataupun sikap individualisme yang berlebihan.
Senada dengan kritik tersebut,Profesor Rob Reich dalam bukunya yang berjudul “The Civic Perils Of Homeschooling” berpendapat bahwa homeschooling berpotensi untuk memberikan anak satu sudut pandang saja. Sudut pandang yang lain bisa saja diutupi atau dijauhkan dari anak karena bertentangan dengan nilai-nilai yang dimiliki orangtua atau keluarga.
Dalam konteks Indonesia, Sebenarnya Pemerintah melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan telah mengeluarkan Permendikbud No.129 tahun 2014 Tentang Sekolah Rumah. Ini menandakan bahwa negara telah hadir untuk memberikan pengakuan. Namun sayangnya peraturan tersebut masih menjadi satu-satunya peraturan yang berkaitan langsung dengan homeschooling dan belum dilengkapi dengan peraturan turunannya terutama tentang pedoman dan petunjuk teknis.
Tidak adanya pedoman dan teknis pelaksanaan membuat homeschooling menjadi rentan karena kurangnya pengawasan. Strategi pembelajaran yang bersifat fleksibel ditambah dengan longgarnya regulasi negara, menjadikan homeschooling berpotensi menjadi lahan subur bagi berlangsungnya proses tranmisi nilai-nilai keagamaan yang radikal.
Melihat potensi tersebut PPIM UIN Jakarta melakukan penelitian dengan mengambil 56 sampel homeschooling yang tersebar di wilayah Jabodetabek. Bandung, Solo, Surabaya dan Makassar. Penelitian tersebut menemukan bahwa ada dua kategori besar dalam perkembangan homeschooling di Indonesia. Dua kategori tersebut adalah homeschooling berbasis nonagama dan homeschooling berbasis agama.
Perbedaan keduanya terletak pada fokus Pendidikan. Homeschooling berbasis nonagama fokusnya pada pengembangan bakat dan potensi anak, sedangkan yang berbasis agama walaupun tetap memperhatikan perkembangan bakat dan potensi anak, namun juga menempatkan agama sebagai fokus utama pembelajaran.
Pada Homeschooling berbasis agama inilah penyemaian bibit-bibit radikalisme dapat tumbuh subur. Apalagi jika modelnya adalah homeschooling salafi ekslusif yang tidak memperkenalkan keragaman Indonesia, fokus pada kelompok sendiri, dan tidak bergaul dengan pemeluk agama lain. Dengan iklim pembelajaran seperti ini, sikap intoleransi terhadap keragaman akan tumbuh yang selanjutnya mengarah pada radikalisme dan ekstrimisme.
Karena itu, penting untuk menjadi perhatian bersama bagaimana homeschooling bisa tetap dijalankan tanpa menimbulkan cluster baru penyebaran paham ekstrimisme. Tidak dapat dipungkiri, orangtua ataupun anak mempunyai hak untuk memilih model Pendidikan yang cocok untuk anak. Apalagi, bagi beberapa anak dengan kebutuhan khusus seperti anak dengan gangguan ADHD dan disleksia yang mungkin kesulitan jika memilih sekolah formal.
Perlu penguatan aspek ketahanan dan mengurangi aspek kerentanan dari paparan ideologi keagamaan yang radikal. Hal ini bisa diwujudkan dengan melengkapi regulasi terutama dalam hal petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan. Selain itu perlu juga adanya divisi khusus yang bertugas menjamin mutu penyelenggaraan homeschooling, termasuk mewajibkan anak untuk tetap bersosialisasi dengan keragaman kelompok masyarakat.
Tentu saja, semua pemangku kepentingan harus terlibat untuk mewujudkan hal tersebut. Baik itu pemerintah pusat maupun pemerintah Daerah. Dinas Pendidikan daerah perlu untuk melakukan monitoring dan evaluasi penyelenggaraan, mulai dari perijinan, kurikulum, pendidik, sarana dan prasarana serta lingkungan. Masyarakat juga harus dilibatkan dengan sosialisasi dan edukasi terkait homeschooling yang inklusif. Dengan demikian, harapannya potensi-potensi penyebaran paham ektrimisme tersebut setidaknya dapat dihilangkan.