Tak bisa dipungkiri bahwa dunia yang kita diami sekarang semakin terdigitalisasi. Ruang dan jarak semakin terkikis dengan adanya beragam platform media sosial yang menghubungkan antara satu individu dengan individu lainnya. Gencarnya informasi tersebut membuat media sosial penuh dengan jutaan ide dan pemikiran yang dibagikan setiap detik juga setiap hari di seluruh dunia.
Sayangnya derasnya kabar yang berdatangan belum diimbangi dengan tingkat literasi masyarakat yang memadai untuk menyaring seberapa akurat data fakta yang kita terima. Hal ini dibuktikan dengan munculnya sejumlah konflik sosial di berbagai belahan dunia yang disebabkan oleh berita bohong atau hoax. Penyebaran informasi yang salah tersebut bahkan turut dimanfaatkan oleh gerakan ekstremis untuk terus mengembangkan jaringannya, termasuk dengan merekrut anggota baru melalui Facebook hingga Tiktok.

Melihat begitu masifnya propaganda negatif mereka, tentu diperlukan langkah-langkah preventif agar masyarakat tidak mudah terperangkap dan menjadi korban kampanye ekstremisme mereka. Salah satu cara yang dapat dilakukan agar tidak mudah terperdaya akan konten narasi radikalisme yaitu memerkuat daya kritis agar tiap individu dapat mengetahui bagaimana mengevaluasi dan memahami secara komprehensif dari mana informasi yang ia terima itu berasal agar tidak asal menelan mentah-mentah.
Sebab, selama ini kelompok-kelompok radikal betul-betul memaksimalkan pemanfaatan media sosial sebagai cara untuk menyebarkan propaganda yang memecah belah dan menarik simpatisan dan anggota baru. Ancaman aktivitas mereka bahkan terus meningkat selama pandemi COVID-19. Dengan pembatasan sosial yang diberlakukan banyak negara untuk menahan penyebaran virus, ketergantungan pada media sosial dan internet tumbuh amat drastis.
Hal ini selanjutnya membuka pintu bagi kelompok-kelompok dengan agenda ekstremisme untuk terus mengeksploitasi kerapuhan dan penurunan kepercayaan publik pada sebagian besar pemerintah yang kurang cakap dalam menangani pandemi. Untuk membantu mengimbangi agenda ekstremis dan teroris di media sosial, praktisi dan aktivis dari aliansi masyarakat sipil Portugal, David Ruah menenkankan agar semua pihak tak terkecuali para pengajar dan pelajar untuk mengambil tindakan preventif. Salah satunya dengan memperbanyak konten bernada positif di media sosial.
Langkah perlawanan narasi radikalisme dengan mempromosikan pesan saling pengertian, toleransi dan keragaman, dan membekali orang dengan pengetahuan untuk melindungi diri mereka sendiri, memang terkesan sepele. Namun, tindakan semacam itu akan sangat membantu mengurangi daya tarik pesan ekstremis kekerasan dan membangun ketahanan masyarakat terhadap pengaruh negatif dan penyebarannya.
David juga berpesan bahwa, “kita semua memiliki kewajiban untuk melakukan sesuatu hal untuk mencegah ekstremisme kekerasan. Sebab tindakan sekecil apapun selanjutnya akan berkontribusi untuk menekan propaganda mereka. Di saat yang sama, kita juga turut melindungi hak asasi manusia,” kata David.
Termotivasi oleh asal usul Yahudi keluarganya, David Ruah tergerak untuk melakukan advokasi pada isu-isu ketidakadilan sosial sebagai tanggapannya atas tindakan kekerasan di masa lalu. David juga membantu meluncurkan ‘Humans of Tomorrow’ pada tahun 2016 dan ‘2Think’ pada tahun 2018, dua kampanye media sosial yang dirancang untuk mengatasi ujaran kebencian dan ekstremisme kekerasan.
Kampanye yang ia dan koleganya ciptakan bertujuan untuk berbagi sumber daya dan narasi positif di Facebook dengan goal menciptakan dialog yang lebih inklusif dan terbuka di antara orang-orang. David bahkan beberapa kali berbagi cerita personalnya ke publik agar memungkinkan lebih banyak orang untuk mau ikut bercerita dan mengembangkan empati serta menghasilkan debat publik.
Ia juga menjelaskan cara mengenali kesalahan umum dalam berargumen yang kerap digunakan kelompok ekstremis ketika sedang memengaruhi pemikiran orang lain. Apa yang David lakukan sejatinya dilandasi harapannya untuk membantu orang-orang, terutama kaum muda, agar dapat belajar bagaimana mengevaluasi informasi, berita, dan cerita yang mereka konsumsi, termasuk di media sosial.
Tindakan yang dilandasi oleh daya pikir kritis seperti yang dicontohkan oleh David tadi amatlah signifikan untuk melindungi diri dari manipulasi dan kemungkinan perekrutan oleh para ekstremis. Tak hanya itu, menurut riset Fitri (2021), seseorang yang berpikir kritis dapat bersifat lebih objektif, dan berpikiran terbuka dalam menghargai pendapat dan pandangan orang lain.
Individu dengan sikap kritis juga cenderung memiliki sikap toleransi yang tinggi karena mereka condong bersikap netral dan tidak emosional dalam menilai sesuatu. Sehingga ada sikap menghargai meski berada dalam lingkungan dengan penuh keragaman. Melalui berpikir kritis, individu dapat menilai suatu perbedaan sebagai anugerah untuk disyukuri yang kemudian dapat mengambil hikmah dibaliknya.
Dengan berpikir kritis, seseorang tidak hanya sekadar menerima informasi yang belum teruji, tetapi ia akan mempertanyakan, menguji, dan menyaringnya berdasarkan perspektif mereka. Sehingga pada akhirnya ia akan menemukan sesuatu yang mendasar dan melalui kekuatan kritis membuatnya tak mudah terperangkah oleh jebakan narasi yang disebarkan oleh gerakan-gerakan esktremisme.