Alasan Mengapa Perempuan Terlibat dalam Aksi Teroris

Keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme menunjukkan tren yang signifikan. Tren pertama, perempuan sebagai korban atas aksi teroris yang dilakukan oleh suaminya. Kemudian tren kedua, perempuan terlibat sebagai suport system dari aksi yang dilakukan oleh suaminya. Support tersebut dilakukan dengan melakukan berbagai macam peran antara lain menjadi kurir, dan melakukuan penyebaran ideologi kepada perempuan lainnya.
Tren ketiga, perempuan bersama dengan suami melakukan aksi terorisme. Tren ketiga ini kemudian dikenal dengan istilah bom pengantin karena dilakukan oleh sepasang suami istri dan berkeyakinan akan bersama masuk surga setelah melakukan pengeboman. Tren keempat, perempuan melakukan pengeboman seorang diri setelah mendapatkan perintah yang selama ini ditunggu.

Lantas apa alasan perempuan terlibat dalam aksi terorisme?. Melansir dari hasil policy brief Aman Indonesia yang ditulis oleh Ruby Kholifah, terdapat sekurangnya lima alasan kenapa perempuan terlibat dalam aksi terorisme. Adapun alasan-alasan tersebut akan disampaikan dalam artikel ini.

Alasan Mengapa Perempuan Terlibat dalam Aksi Teroris

Pertama, Ingin Diakui Militansinya
Diskriminasi terhadap perempuan terjadi diberbagi lini, termasuk dalam golongan kelompok ekstrimis. Keterlibatan perempuan sebagai suport sistem dalam aksi terorisme dianggap memiliki nilai pahala lebih rendah dibanding dengan pahala seorang bomber. Muncul juga keyakinan diantara mereka bahwa menjadi istri jihadis (bomber) juga memiliki pahala yang lebih rendah dibanding pahala bomber itu sendiri.
Atas dasar itulah, para perempuan kemudian saling berebut eksistensi untuk ikut dilibatkan dalam panggilan jihad dan menjadi bagian dari bomber. Mereka ingin diakui semangat jihadnya, ingin diakui militansinya, dan ingin dimasukkan sebagai golongan kelompok terpilih diantara mereka

Kedua, Terpengaruh Keluarga
Tak sedikit juga perempuan yang terlibat aksi terorisme karena doktrin yang didapat dalam perkawinan. Karena menikahi laki-laki dengan ideologi ekstrim, berpengaruh pada ideologi perempuan sebagai istri. Apalagi diperkuat dengan doktrin bahwa istri harus taat mutlak pada suami. Maka apapun yang disampaikan suami dianggap sebagai suatu mandat yang tidak bisa ditolak.
Kelompok laki-laki teroris meyakini bahwa perempuan adalah pihak paling efektif untuk menyampaikan ideologi dan mendoktrin anak-anak. Hal ini lantaran prinsip domestikasi perempuan yang diproduksi oleh kelompok ekstrimis. Perempuan didoktrin untuk banyak menghabiskan waktu di rumah dan melakukan kaderisasi pada anak keturunannya.

Ketiga, Transformasi Bentuk Terorisme di Indonesia
Propaganda terorisme melalui social media atau yang disebut dengan cyberterrorism, memanfaatkan kondisi para milenial yang memang melek tekhnologi, namun sedang dalam kubangan kemarahan dan kekecewaan, ketidakpastian hidup, kondisi ekonomi yang tidak beruntung, keluarga yang tidak harmonis, dan memiliki akses yang minim untuk pendidikan. Kondisi yang serba tidak menguntungkan ini seringkali tergambar di social media para generasi milenial tersebut.

Di lain sisi, dalam keadaan yang serba tidak menguntungkan itu, kemudian mereka mencari pembenaran dan langkah-langkah yang akan mereka ambil sebagai bentuk pemberontakan terhadap negara yang dianggap tidak mampu mengakomodir kebutuhan mereka sebagai warga negara. Maka aksi terorisme tak lagi berbasis kelompok atau jaringan, namun penyebaran ideologi dan bekerja sendiri-sendiri. Hal ini lantaran terorisme berbasis jaringan mudah dideteksi oleh BNPT.

Muncullah kemudian tipologi jihadis, pertama; jihadis tandim yang diketahui jaringan dan ada fatwa yang memperkuat. Kedua; jihad individu yang bisa menebarkan ideologi ekstrimis secara mandiri. Ketiga; jihad dhafi yaitu jihadis yang memiliki keyakinan bahwa setiap muslim memiliki kewajiban untuk melakukan jihad. Keyakinan tersebut didapat dari doktrin pihak asing yang terus menerus menginternalisasi ideologi ekstrimis.

Keempat, Lemahnya PUG dalam Penanganan Terorisme
Lemahnya PUG dalam penanganan terorisme ini tampak dari minimnya keterlibatan penegak hukum perempuan dalam menangani kasus terorisme. Penanganan terorisme di Indonesia masih menggunakan pendekatan laki-laki dan menafikan peran perempuan.

Padahal perempuan memiliki kompetensi yang sejajar dengan laki laki jika diberi akses dan kesempatan yang sama. Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi perempuan khususnya di Indonesia. Mengingat pengakuan atas kemampuan perempuan masih diragukan oleh sebagian kalangan. Hal ini tentu berbeda dengan fakta yang terjadi di negara lain dimana perempuan banyak dilibatkan sebagai pengambil keputusan di sektor keamanan.

Kelima, maraknya Cyberterrorism
Cyberterrorism adalah pemanfaatan dunia maya oleh teroris sebagai media penebaran pesan dan propaganda permusuhan dan promosi tindakan kekerasan. Beberapa temuan pemanfaatan dunia maya oleh kelompok teroris adalah: dunia maya digunakan untuk merilis manifesto, propaganda, dan statemen agitatif, menggalang dukungan dan penguatan jaringan, mengkomunikasikan antarjaringan, dan merekrut anggota baru.

Demikianlah kajian dan analisi mengenai alasan keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme sebagaimana disampaikan dalam policy brief Aman Indonesia. Hasil dari analisis diatas diharapkan mampu dijadikan dasar oleh pihak terkait untuk mewaspadai menjamurnya aksi terorisme yang dilakukan oleh perempuan.

Penulis

Opini

Di sini kita membahas topik terkini tentang perempuan dan upaya bina damai, ingin bergabung dalam diskusi? Kirim opini Anda ke sini!

Scroll to Top