“Saya tidak pernah menyangka suami saya akan ditangkap dan saya harus membesarkan ketiga anak saya seorang diri.Apalagi satu di antara 4 anak itu mengalami trauma.”
Bukan hal mudah bagi seorang istri ditinggalkan suaminya, terlebih menerima kenyataan sang suami harus mendekam di balik penjara karena terlibat kelompok ekstremisme.
Itu yang dialami Umi, bukan nama sebenarnya. Di suatu pagi, ia mendapati suaminya, Husein–juga bukan nama sebenarnya–harus ditangkap Densus 88 dalam perjalanan menjemput anaknya sekolah.
Umi tak akan pernah melupakan kejadian pada 2017 itu. Pagi itu ia sedang merawat anak bungsunya yang baru berusia beberapa minggu. Husein hendak menjemput anak kedua mereka di sebuah sekolah dasar, sedangkan anak ketiganya merengek ingin dibelikan mainan. Husein akhirnya mengajak sang anak ikut menjemput kakaknya sekaligus membeli mainan.
Selang beberapa saat, sang anak kembali ke rumah sambil menangis ketakutan. Ia kembali seorang diri tanpa ayahnya. Umi bingung. Ia mencoba menghubungi Husein tapi suaminya ternyata pergi tanpa membawa ponsel. Lalu, ia menghubungi kawan-kawan Husein, tapi mereka juga tak tahu keberadaannya. Umi semakin bingung karena anaknya masih terus menangis.
Tak lama berselang, gerombolan orang-orang berbaju hitam ramai di sekitar rumahnya. Awalnya ia mengira orang-orang itu adalah teman adiknya, sebelum akhirnya mereka mengetuk pintu dan mengatakan bahwa Husein ditangkap karena terlibat dalam jaringan terorisme. Gerombolan berbaju hitam itu tak lain adalah Densus 88.
Sulit bagi Umi mencerna kejadian tersebut. Setahunya, Husein tak pernah menunjukkan gelagat aneh. Husein yang ia kenal adalah suami yang berjiwa sosial tinggi. Tak mungkin rasanya Husein menjadi seorang teroris.
Sejak itu Umi harus merawat keempat anaknya sendirian.
Menjadi Orang Tua Tunggal
Pada saat proses penyidikan, Umi baru tahu suaminya ditangkap karena pernah tergabung dalam kelompok yang berafiliasi dengan ISIS. Husein bahkan pernah pergi ke Suriah pada 2013 selama tujuh bulan. Saat itu, tak seorang pun keluarga yang tahu bahwa Husein pergi ke wilayah konflik dengan niat “berjihad”.
Keluarga hanya tahu Husein pergi ke Arab Saudi untuk bekerja. Setelah pulang dari Suriah pun Husein tak pernah menceritakan sepak terjangnya di sana ke keluarganya. Ia menjalani hari-hari seperti biasa. Baru empat tahun setelahnya, ia ditangkap. Husein dijatuhi hukuman empat tahun penjara.
Saat penangkapan, anak ketiganya berkata ke ibunya bahwa ayahnya diculik oleh “sekelompok penjahat”. Sang anak mengetahui detail peristiwa penangkapan, sebelum diantarkan pulang oleh salah satu pihak kepolisian sembari menangis.
Sejak kejadian itu, sang anak mengalami trauma. Ia tak pernah mau berjauhan dengan Umi. Sang anak sering mengigau di malam hari. Ia sering menceritakan kronologi saat harus dipaksa terpisah dengan ayahnya. Bahkan ia pernah menggambar detail peristiwa tersebut.
“Itu adalah masa-masa terberat apalagi ketika anak-anak yang masih kecil itu sakit, terutama yang ketiga yang benar-benar tidak pernah mau pisah karena trauma,” kata Umi.
Sebelum kejadian, sang anak adalah sosok yang ceria dan berani. Untuk itulah Umi harus berjuang meyakinkan anaknya bahwa semua baik-baik saja.
Anak-anak juga kerap menanyakan keberadaan ayahnya. Umi mengatakan, demi menjaga perasaan ana-anak, ayah mereka tidak diculik. Ayah mereka hanya sedang ‘mondok’ di pesantren.
Menjadi orang tua tunggal dengan empat anak yang masih kecil dan butuh perhatian ekstra bukan hal mudah. Belum lagi memikirkan nasib suami di penjara. Umi juga kerap merasa sedih ketika melihat anak bungsunya yang baru berusia beberapa minggu tapi tak bisa bersama ayahnya.
Sejujurnya, Umi justru membutuhkan kehadiran suaminya saat itu. Secara psikologis, Umi mengalami guncangan jiwa. Cemas. Khawatir. Namun, Umi mencoba menerimanya sebagai bagian dari takdir.
Umi harus berusaha menutupi kisah suaminya kepada anak-anaknya hingga saat ini. Selama lima tahun ini Umi menutup lukanya sendiri. Ia enggan kisah sebenarnya Husein diketahui anak-anaknya. Meski kini suaminya telah bebas, Umi tetap ingin menjaga mental anaknya, terutama anak ketiganya yang masih trauma.
Beban Berlipat Seorang Ibu
Ekstremisme memang seringkali menempatkan perempuan sebagai korban. Saat suami mendekam di penjara, berbagai peran harus diambil oleh istri.
Sang ibu berperan mengurusi kebutuhan sekolah anak, juga harus menggantikan peran ayah. Peran ayah tentu bukan sekadar mencari nafkah, melainkan juga bertanggung jawab penuh atas keluarga. Setiap hari Umi memikirkan susu, popok, hingga biaya kebutuhan sehari-hari selagi suaminya di penjara.
Meski demikian, Umi lebih memilih untuk pasrah kepada Allah daripada mengeluh. Ia meyakini segala yang terjadi adalah yang terbaik dari Allah. Rasa pasrah inilah yang membuatnya merasa lebih ringan menjalani hidup.
Umi merasa beruntung karena keluarganya mendukung penuh. Banyak pula koleganya yang memberikan perhatian dan ikut membantu, baik berupa uang sekolah hingga pemenuhan kebutuhan rumah tangga.
Dukungan ini ia dapatkan karena selama ini Husein memang berinteraksi baik dengan masyarakat. Husein memang dikenal punya jiwa sosial yang tinggi dan suka membantu. Umi merasa kebaikan-kebaikan yang datang menghampirinya ketika suaminya di sel tahanan adalah balasan dari Allah atas kebaikan yang pernah dilakukan suaminya. Ini membuat beban yang dipikul Umi menjadi lebih ringan.
Bukan hanya Umi. Kisah lain datang dari Mia, bukan nama sebenarnya, istri mantan narapidana terorisme yang berusaha membersamai anak-anaknya setelah suaminya menyerahkan diri.
Mia mengalami impitan finansial. Ia juga sering menerima stigma negatif dari banyak pihak. Ia bahkan dianggap pengkhianat dan bekerja sama dengan pemerintah oleh jaringan yang diikuti suaminya. Bagi jaringan itu, Mia adalah golongan thoghut dan bisa dikafirkan.
Kasus suami Mia terus ditayangkan di berbagai media elektronik. Hampir sepekan penuh, media dipenuhi berita kasus suaminya. Selama itu Mia mencoba mematikan semua media elektronik agar kasus suaminya tidak diketahui anak-anaknya.
Ia berusaha menjaga mental anaknya. Ia mencoba melindungi identitas dirinya dan anak-anaknya sebaik mungkin karena ia tahu, jika banyak orang mengetahui bahwa ia adalah istri mantan teroris, hidupnya akan lebih sulit lagi untuk dijalani.
Ia tak ingin hal itu dialami anaknya. Ia menghindarkan anaknya dari segala macam perundungan bila orang-orang tahu mereka adalah keluarga “mantan teroris”.
Hal itu pula yang membuat beberapa istri teroris membatasi diri untuk diekspos.
Selama ini pemberitaan mengenai terorisme di berbagai media cetak maupun elektronik kerap menguak banyak hal tentang privasi keluarga pelaku yang tak jarang justru tak mengetahui apa-apa tentang aktivitas yang dilakukan oleh pelaku. Stigma negatif terhadap keluarga narapidana terorisme timbul dari media, sehingga tak jarang pihak keluarga menutup rapat-rapat identitasnya. Keadaan itu menambah beban psikis bagi keluarga terpidana teroris yang harus tetap melanjutkan hidup di tengah masyarakat.
Mengutip Yulia Nurkhasanah (2013), “Kapasitas Istri Terpidana Teroris dalam Mempertahankan Hidup”, sosok Umi dan Mia memiliki kemampuan resiliensi yang baik. Resiliensi adalah kemampuan mempertahankan stabilitas psikologis dalam menghadapi stres (Keye & Pidgeon, 2013).
Nurkhasanah menyebutkan resiliensi dibangun dari tujuh kemampuan yang berbeda dan hampir tidak ada satu pun individu yang secara keseluruhan memiliki kemampuan tersebut dengan baik.
Ketujuh kemampuan ini, yang pertama adalah regulasi emosi, yaitu kemampuan untuk tetap tenang di bawah tekanan. Kedua, pengendalian impuls sebagai kemampuan mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri seseorang. Ketiga, optimisme yang berarti tetap menjaga sebuah harapan. Keempat adalah yang merepresentasikan bahwa individu mampu membaca tanda-tanda psikologis dan emosi dari orang lain.
Kelima, gaya berpikir dalam menganalisis sebuah masalah. Keenam, efikasi diri sebagai keyakinan pada kemampuan diri sendiri untuk menghadapi dan memecahkan masalah dengan efektif. Terakhir, peningkatan aspek positif.
Umi dan Mia merupakan sosok perempuan yang resilien. Hal ini ditunjukkan dengan kemampuannya dalam meregulasi emosi dengan baik, yakni fokus mendidik dan membesarkan anak-anaknya daripada larut dalam kesedihan. Mereka juga bisa mengendalikan dorongan emosinya. Mereka bisa saja menunjukkan kesedihan di depan anak-anaknya tapi memilih untuk menutup rapat kesedihannya agar anak-anaknya tak mengerti apa yang menerpa ayah mereka.
Mereka juga merawat harapan dan optimisme untuk hidup lebih baik. Mereka mempunyai empati yang baik dan mampu meningkatkan aspek positif dalam hidupnya.
Referensi:
Keye, M. D., & Pidgeon, A. M. (2013). Investigation of the Relationship between Resilience, Mindfulness, and Academic Self-Efficacy. Open Journal of Social Sciences. https://doi.org/10.4236/jss.2013.16001
Nurkhasanah, Yuli. (2013). Kapasitas Istri Terpidana Teroris dalam Mempertahankan Hidup. Jurnal SAWWA – Volume 9, Nomor 1, Oktober 2013
_________
Artikel ini merupakan hasil beasiswa peliputan “Perempuan Berdaya di Media” yang diadakan oleh Project Multatuli dan Yayasan Hivos dalam kemitraan program We Lead yang didukung oleh Global Affairs Canada.