Masih ingatkah kita kepada perempuan jihadis yang melakukan rencana pengeboman di depan istana namun berani digagalkan? Ia adalah Dian Yulia Novi yang merupakan mantan pekerja migran di Taiwan. Dalam perjalanan panjangnya berkenan dengan Islamic State in Iraq and Syria (ISIS), di tengah kesibukannya menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW), ia bermain media sosial yakni Facebook dan telegram dengan nama Ayatul Nisa. Inilah awal mula ia masuk ke situs seperti Alzaira, Alburoba, dan Millah Ibrahim. Perempuan migran asal Cirebon, Jawa Barat ini kemudian belajar situs agama, berjihad, serta memperjuangkan Islam dari akun-akun tersebut. hingga pada tahun 2016, ia dipertemukan dengan suaminya, Solikin. Keduanya menikah secara virtual dan melakukan rencana bom bunuh diri yang sesuai keinginan Dian ketika mengenal ISIS di media sosial.
Singkat cerita, Dian dan suaminya bertemu selama 2 kali. Pertemuan pertama di penginapan dekat terminal Harjamukti, Cirebon. Solikin memberikan pemahaman tentang jihad dan ISIS, kemudian membekali istrinya dengan uang sejumlah Rp 1,5 juta untuk biaya hidup. Pertemuan kedua dilakukan setahun setelahnya di tempat yang sama. Dian dibaiat menjadi bagian dari ISIS. Keduanya lalu tinggal di kos-kosan Kota Bekasi. Solikin lalu menyutuh Dian untuk memesan panic di toko online. Panic tersebut akan digunakan untuk meracik bom bunuh diri yang akan dilakukan oleh Dian. Inilah asal muasal mengapa Dian, dalam kasus terorisme dikenal dengan teroris panci. Agak aneh memang. Namun, menggunakan akal kepada para teroris, rasanya tidak masuk akul untuk menjadi pertimbangan. Sebab segala hal yang dilakukan oleh para teroris, sejak awal memang tidak pernah masuk akal.
Selain Dian, kasus Ika Puspitasari dan Ayu, pekerja migran Hongkong, mengalami radikalisasi. Hal ini berdasarkan dengan bukti bahwa, Ika terlibat dalam perencanaan serangan di Bali pada perayaan tahun baru serta terlibat membantu dalam pendanaan bagi jaringan kelompok ISIS. Sedangkan Ika, merupakan salah satu pendukung ISIS sejak awal pendeklarasian khilafah ISIS oleh Abu Bakar AlBaghdadi pada tahun 2014.
Dengan fakta demikian, tidak heran, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jenderal (Komjen) Polisi Boy Rafli Amar mengatakan kepada para Pekerja Migran Indonesia bahwa mereka cukup rentan terpapar terorisme. Hal itu dikatakan kepada Warga Negara Indonesia (WNI) yang ada di San Frisco, Amerika Serikat.
“Selalu waspada dari pengaruh ideologi terorisme,” kata Boy Rafli Amar saat bertemu dengan 13.886 WNI pada rabu (14/09/22) kemarin.
Kekhawatiran tersebut nyatanya berbanding lurus dengan catatan pada tahun 2015 silam menurut Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), tercayay ada 15.322 tenaga kerja asal Indonesia yang bekerja di Hongkong, 60% adalah perempuan dan sekitar 45 perempuan pekerja dilaporkan terlibatan dalam kegiatan ISIS seperti membiayai dan menyediakan tiket ke Suriah hingga menikahi pejuang ISIS secara online.
Interaksi yang dilakukan di media sosial ini bukanlah sebuah hal baru dalam dunia terorisme. Media ini cukup sentral untuk perekrutan kader teroris yang digunakan oleh kelompok teroris. ISIS memainkan peran begitu baik di media sosial dengan menonjolkan sisi agama sebagai basis penguatan iman, kemudian dibuktikan dengan doktrinasi tentang kesedihan dan kesengsaraan yang dilakukan oleh bangsa Barat kepada umat muslim. Hal ini yang menjadikannya seseorang simpati untuk berjuang demi agama. Selanjutnya, berdasarkan rasa simpati inilah, orang-orang yang menggunakan media sosial, akan tertarik dengan gerakan yang dilakukan oleh para jihadis yang tampil di media sosial.
Tidak hanya itu, jika melihat kasus Dian, ia bersama suaminya justru menikah secara online. Memilih untuk bergabung bersama ISIS, ia lakukan dengan penuh kesadaran dalam dirinya. Pilihan tersebut dilatarbelakangi oleh informasi yang diterima tentang ISIS di media sosial. Apalagi, nantinya ia akan berpikir akan menerima ganjaran syurga atas perbuatan yang sudah dilakukan. Sementara itu, para imigran pendukung ISIS yang mengorbankan hartanya untuk mendukung pendanaan terorisme, dilakukan karena adanya ruang kosong yang dimiliki oleh para migran ketika berada di perantauan. Mereka tidak segan untuk mengorbankan apapun untuk mendapatkan ketenangan batin dalam dirinya, khususnya perihal agama dan kewajiban melaksanaan perintah Tuhan.