Salah satu pihak yang belum banyak dikaji dalam proses penanganan radikalisme adalah anak. Termasuk didalamnya bagaimana melakukan internalisasi nilai-nilai perdamaian, toleransi, dan sikap moderat selama mendampingi pendidikan dan pertumbuhan anak. Padahal peran keluarga dan orang tua memiliki pengaruh yang besar untuk membentuh ketangguhan anak.
Namun sebelum membahas lebih jauh mengenai bagaimana peran orang tua dalam mencegah radikalisme, para orang tua juga harus meningkatkan kapasitas parentingnya. Terutama untuk menghadapi isu-isu ekstrimisme terhadap anak. Menakar pentingnya memberikan pemahaman tersebut kepada orang tua, maka pada konferensi WGWC di tahun 2020 LKK-NU menyampaikan paper berkaitan dengan parenting untuk mencegah radikalisme ala Nahdiyin.
Meskipun disampaikan oleh Nahdiyin, namun tentunya teknik parenting tersebut juga bisa dilakukan oleh seluruh orang tua tanpa terkecuali. Lantas seperti apa teknik parenting yang diterapkan oleh Nahdiyin dalam upaya pencegahan radikalisme pada anak? Simak penjelasan berikut ini.
Menerapkan karakter sosial Aswaja dalam parenting
Terdapat lima karakter sosial Nahdiyin yang bisa diimplementasikan dalam proses parenting untuk mencegah radikalisme anak. Adapaun kelima nilai sosial tersebut adalah:
Pertama, moderat (at-tawassuth): adalah sikap berada di tengah, tidak ekstrim, tidak liberal, tidak berlebih-lebihan dalam beribadah. Dalam proses parenting nilai ini bisa diterapkan dengan membiasakan anak memiliki pemikiran terbuka, kritis, mengedepankan dialog dengan anak dalam mendiskusikan berbagai hal berkaitan dengan pilihan anak. Termasuk juga didalamnya memberikan kebebasan pada anak untuk mengembangkan pengetahuan, menghargai perbedaan hobi, pengalaman, dan bakat.
Kedua, seimbang (at-tawazun) : seimbang artinya menggunakan pertimbangan dalam mengambil keputusan dari berbagai perspektif. Dalam proses parenting, nilai ini bisa diterapkan dengan menjadikan keluarga sebagai penyeimbang aqli (rasionalitas) dan naqli (dalil agama). Penyeimbang kepentingan pribadi dan umum agar anak tidak memiliki egosentris dan memiliki kepekaaan terhadap problem sosial yang ada di sekelilingnya. Keseimbangan hak dan kewajiban anak, sehingga orang tua tidak terbiasa mendesak anak untuk hanya melakukan kewajibannya namun lupa memberikan hak nya.
Ketiga, integritas (i’tidal) : konsisten, istiqamah untuk kemaslahatan. Nilai integritas ini diinternalisasi dalam proses parenting dengan menjadikan keluarga sebagai pembentuk kesadaran tauhid anak. Kesadaran tauhid yang mendorong pada kemaslahatan umum, memiliki daya tahan atas mafsadah, dan konsisten mengutamakan kemaslahatan umum diatas kemaslahatan pribadi dan golongan.
Keempat, toleran (tasamuh) : bijaksana dan terbuka dalam menghadapi perbedaan. Keluarga memiliki peran yang penting untuk membangun sikap percaya diri anak untuk melihat persamaan sebagai perekat dan perbedaan sebagai rahmat.
Penting juga untuk menumbuhkan sikap sensitif pada anak terhadap kebutuhan khusus keluarga minoritas baik dalam keluarga, masyarakat, maupun dalam konteks nasional. Dalam proses ini, penting bagi orang tua untuk tidak memaksakan kehendak pada anak. Jika hal tersebut terjadi, maka nilai kebebasaan dan kepercayaan diri yang telah terinternalisasi pada diri anak, dijadikan modal untuk berinteraksi dengan masyarakat yang lebih luas.
Kelima, musyawarah (tasyawur): penting bagi orang tua untuk menjadikan keluarga sebagai gambaran bagaimana menjadi bagian dari masyarakat yang terbiasa mendengar dan merumuskan bersama keputusan keluarga. Penting melibatkan anak untuk mendiskusikan keputusan keluarga, terutama untuk hal yang berkaitan dengan kebutuhan anak itu sendiri. Dengan begitu, anak akan merasa kehadirannya dibutuhkan keluarga dan pendapatnya dihargai serta dipertimbangkan.
Sebelum menerapkan dalam pendidikan anak, kelima nilai ini juga harus diinternalisasi terlebih dahulu ke dalam jiwa suami dan istri. Karena Kelima nilai karakter sosial Nahdiyin tersebut bisa diimpelmentasikan dalam pendidikan keluarga secara maksimal jika terdapat kerjasama yang baik antara suami dan istri.
Konsep patriarki yang memberikan porsi parenting yang lebih besar pada satu gender diatas gender yang lainnya harus dihilangkan. Karena sejatinya rumah tangga, termasuk didalamnya adalah pendidikan anak merupakan tanggung jawab kedua belah pihak baik suami maupun istri. Orang tua juga harus adaptif dengan perkembangan zaman dan perubahan sosial yang bergerak masif di sekeliling anak. Karena teknik parenting yang kolot dan tidak adaptif akan menimbulkan dampak negatif bagi perkembangan anak. Dampak negatif tersebut salah satunya dilampiaskan dengan bergabung pada kelompok radikal dan ekstrim karena dianggap bisa memberikan kepuasan pada dirinya.