Studi global implementasi 15 tahun Resolusi 1325 tentang Perempuan, Perdamaian, dan Keamanan menemukan adanya peningkatan radikalisme dan ekstremisme kekerasan (violent extremism/VE) di daerah sedang berkonflik dan pasca konflik, dimana berdampak serius kepada kekerasan berbasis gender (gender based violence/GBV). Salah satu bentuk kekerasan berbasis gender yang sangat memprihatinkan adalah kekerasan seksual. Kebanyakan korban kekerasan seksual adalah perempuan, anak, dan penyandang disabilitas. Korban kekerasan seksual mengalami penderitaan fisik, psikis, seksual, akibat tindak pidana yang dialaminya. Dampak kekerasan seksual semakin menguat ketika korban merupakan bagian dari masyarakat yang marginal secara ekonomi, sosial, dan politik, atau mereka yang memiliki kebutuhan khusus, seperti anak dan penyandang disabilitas.
Saat ini Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial (UU PKS) yang mengatur tentang terorisme dan konflik. Indonesia juga memiliki Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Dalam beberapa ayat dalam UU TPKS di jelaskan tentang macam-macam pelecehan seksual. Pada pasal 4 ayat (1) UU TPKS mengatur bahwa Tindak Pidana Kekerasan Seksual terdiri atas: pelecehan seksual nonfisik; pelecehan seksual fisik; pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan sterilisasi; pemaksaan perkawinan; penyiksaan seksual; eksploitasi seksual; perbudakan seksual; dan kekerasan seksual berbasis elektronik.
Kemudian ayat (2) mengatur, selain Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Tindak Pidana Kekerasan Seksual juga meliputi: perkosaan; perbuatan cabul; persetubuhan terhadap Anak, perbuatan cabul terhadap Anak, dan/atau eksploitasi seksual terhadap Anak; perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak Korban; pornografi yang melibatkan Anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual; pemaksaan pelacuran; tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual; kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga; tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan Tindak Pidana Kekerasan Seksual; dan tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Jamille Bigio and Rachel Vogelstein dalam tulisannya Women and Terrorism: Hidden Threats, Forgotten Partners (2019) menyebut, banyak kelompok ekstremis mempromosikan ideologi yang mengklasifikasikan perempuan sebagai warga negara kelas dua dan menawarkan keuntungan strategis dan finansial melalui penaklukan perempuan. Ini sejalan dengan yang disampaikan Musdah Mulia (2018) bahwa perempuan Indonesia terlibat dalam gerakan terorisme adalah bersifat teologis sebagai motivasi utama.
Dalam situasi konflik dan kekerasan, perempuan seringkali dipandang pasif, korban, tidak berdaya, lemah, dan keibuan. Asumsi seperti itu memperkuat stereotip gender dan akibatnya melekatkan perempuan dalam kerentanan kekerasan berbasis gender, termasuk kekerasan seksual. Perempuan yang pada umumnya dalam masyarakat patriarki, menjadi korban kekerasan seksual karena berbagai alasan, dengan penguasaan kaum radikal memperburuk dan mendorong perempuan sebagai makhluk tertindas, kelas dua, dan seakan tidak memiliki nilai selayaknya manusia.
Kajian Komnas Perempuan (2002) tentang kekerasan seksual di wilayah konflik, menemukan bahwa tubuh perempuan dan seksualitasnya digunakan sebagai alat untuk menundukkan atau melemahkan perlawanan pihak lawan atau sebagai alat untuk menguasai. Perempuan sering menjadi korban cara-cara penyiksaan yang secara sengaja ditujukan terhadap organ seksual dan reproduksinya. Di wilayah konflik seperti Aceh dan Maluku, banyak penyiksaan yang diarahkan pada payudara dan vagina korban. Mereka juga ditelanjangi di muka umum atau dipaksa untuk melakukan hubungan seksual di hadapan sejumlah orang dan/atau keluarga.
Ketika terjadi pertempuran atau insiden-insiden penyerangan terbuka terhadap komunitas tertentu, perempuan hamil sering dijadikan sasaran penyerangan yang sangat khusus karena kehamilannya. Di wilayah-wilayah operasi militer dan daerah yang sedang mengalami konflik bersenjata terbuka, ditemukan juga beberapa kasus dimana perempuan menjadi sasaran khusus dari berbagai tindak ancaman, intimidasi dan bahkan serangan fisik karena korban dianggap melanggar ketentuan-ketentuan sosial tertentu, seperti cara berpakaian atau perilaku seksual yang tidak mau diterima oleh pihak-pihak tertentu dalam masyarakat.
Kehadiran negara dalam melindungi warga negaranya dari kekerasan seksual, konflik, radikalisme, ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme, sangat penting. Teori perlindungan hukum menekankan perlindungan hukum merupakan perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan atau sebagai kumpulan peraturan atau kaidah yang akan dapat melindungi suatu hal dari hal lainnya.
Ada dua perlindungan hukum. Pertama, preventif atau pencegahan, yaitu perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam melakukan suatu kewajiban; dan kedua, represif, yaitu perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran.
Jelaslah bahwa pencegahan perlu diselenggarakan secara komprehensif dengan menganalisa faktor-faktor penyebab, agar pencegahan radikalisme, konflik, dan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme, juga bermakna pencegahan tindak pidana kekerasan seksual. Demikian pula sebaliknya.