Bagaimana Ekstremisme Sayap Kanan Mempromosikan Kekerasan pada Perempuan?

Bulan Juli lalu, dalam suatu dialog nasional, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan UN Women melaporkan bahwa pandemi COVID-19 telah memberikan dampak yang cukup siginifikan, tidak hanya di sektor kesehatan tetapi juga berpengaruh terhadap dinamika gender dalam ekstremisme kekerasan. Bahkan, temuan terkini memperlihatkan bahwa kelompok ekstremisme berbasis kekerasan di Asia Tenggara telah memperkuat kampanye mereka dengan memanfaatkan kebencian sosial terhadap perempuan.

Selama pembatasan wilayah, mereka gencar mempromosikan kebencian terhadap perempuan lewat narasi-narasi dengan nada merendahkan. Platform yang digunakan pun beragam, tidak hanya melalui kanal media sosial besar seperti YouTube dan Instagram, mereka juga berselancar lewat platform game dengan mempropagandakan bahwa perempuan hanya warga kelas dua dan patut diperbudak di bawah kekuasaan laki-laki.

Bagaimana Ekstremisme Sayap Kanan Mempromosikan Kekerasan pada Perempuan?

Sekarang, dengan meluasnya ruang digital dan longgarnya pengawasan serta sensor, para penggerak misogini ini kemudian secara leluasa menyerang perempuan dengan tulisan. Pelecehan yang mereka lakukan di internet, seringkali ditujukan untuk membungkam perempuan. Pada level yang ekstrim, pelaku bahkan ada yang sengaja menguntit atau menyebarkan foto-foto pribadi perempuan melalui strategi “pornografi balas dendam”.

Cara ini biasanya melibatkan perasaan emosional terhadap mantan pasangan dengan memposting gambar intim sang wanita secara online sebagai bentuk pembalasan. Jika mereka masih menjalin hubungan, si pria dapat menjadi amat kasar secara fisik, atau mereka bisa juga melakukan kontrol melalui aplikasi dan kamera mata-mata tanpa sepengetahuan sang pacar. Dalam kasus lain, laki-laki misoginis itu bahkan dapat memanipulasi foto perempuan yang kemudian membuat ia terlihat mengenakan bikini atau telanjang.

Padahal, realitanya hasil gambar tersebut hanyalah rekayasa semata. Intensitas serangan terhadap perempuan lewat rekayasa foto nyatanya bukan satu- satunya cara tindak kebencian terhadap perempuan. Menurut riset dari Spiegel International (2021), metode mereka faktanya amat bervariasi, tetapi tujuannya tetap sama: mereka adalah bagian dari perjuangan melawan kesetaraan gender. Dan internet menjadi senjata yang paling ampuh dalam menyebarkan agenda misogini mereka.

Bahkan, selama bertahun-tahun, strategi misoginis online tadi telah berkembang, dan menjadi rumah bagi banyak kelompok ekstremis sayap kanan. Hasil laporan statistic yang disimpan oleh Kantor Investigasi Kriminal Federal Jerman (BKA), menyebutkan bahwa tren kekerasan terhadap perempuan sebenarnya mengalami kenaikan terus menerus selama bertahun-tahun, meskipun di saat yang sama ada peningkatan jumlah program yang bertujuan untuk mengurangi kekerasan tadi.

Pada tahun 2019, BKA menyampaikan ada seorang wanita dibunuh oleh pasangan atau mantan pasangannya, rata-rata setiap hari mencapai satu hingga dua orang. Setiap 33 menit, rata-rata, polisi juga mencatat satu kasus kejahatan kekerasan yang dilakukan terhadap seorang wanita di lingkungan rumah tangganya. Secara total, BKA mengumpulkan hampir 115.000 perempuan pada tahun 2019 telah menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga.

Perihal kebencian terhadap wanita yang sering dikaitkan dengan ekstremisme sayap kanan, di Eropa dan Amerika, wanita dan gadis yang mengenakan jilbab sering menjadi target penyerangan kaum radikal. Jumlah pelanggaran semacam itu terus bertambah setiap tahunnya. Menurut Asosiasi Pusat Konseling untuk Korban Kekerasan Sayap Kanan, Rasis dan Anti-Semit di Jerman, orang transeksual, interseksual, lesbian dan biseksual juga melaporkan terjadinya peningkatan kekerasan terhadap kelompok mereka.

Hal ini menandakan bahwa grup ekstremis memang mengincar kaum minoritas sebagai sasaran empuk. Melihat semakin gencarnya propaganda ekstremis terhadap kaum minoritas dan perempuan, para ahli memperingatkan bahwa, meskipun apa yang mereka lakukan mungkin terdengar seperti aksi radikal individu, bila terus dibiarkan tren gerakan mereka akan menjadi ancaman dan bahaya besar bagi masyarakat secara keseluruhan.

Menurut pakar komputer dan komunikasi Brasil, Manoel Horta Ribeiro, yang telah memimpin sekelompok peneliti dalam riset komprehensif untuk menganalisis manosfer secara online, gerakan misoginis kian hari kian menyebar luas dan berpotensi menjadi tindakan terorisme. Dari hasil penyelidikan Manoel dan kolega yang melihat 6,7 juta postingan dari enam forum mandiri dan sekitar 22 juta posting di Reddit sebagai bagian dari studi yang dirilis pada bulan Agustus lalu, terlihat bahwa gerakan misoginis kelompok radikal sudah seperti virus.

Awalnya, hanya satu-dua postingan, tapi kemudian disebarkan secara membabi buta. Dengan tren misoginis yang kian melaku pesat, narasi pembanding yang melawan gerakan ini juga perlu dikuatkan. Sebab, jika tidak segera ditentang, perempuan yang realitanya sudah dipinggirkan, akan semakin terancam keselamatan hidupnya oleh kelompok radikal migonis tadi.

Penulis

Opini

Di sini kita membahas topik terkini tentang perempuan dan upaya bina damai, ingin bergabung dalam diskusi? Kirim opini Anda ke sini!

Scroll to Top