31.2 C
Jakarta
Kamis, 12 Desember 2024

Muslimah di Bawah Bayang Fashion: Permainan Politik Ekonomi Dalam Tren Hijrah

Jika anda mengetikkan kata kunci “Fashion Hijrah” di mesin pencari, anda pasti akan diantarkan pada laman yang memuat beragam produk fashion. Setelah anda klik satu-satu, maka akan terlihat bahwa sebagian besar produk fashion tersebut berupa gamis panjang atau abaya dan jilbab dengan segala bentuk rupanya. Ini menunjukkan bahwa fashion hijrah mempunyai market yang besar dalam industri fashion di Indonesia.

Bahkan, ada banyak brand yang memiliki market besar dan pecinta yang fanatik. Sebut saja brand Atelier Angelina atau Ditsy Official yang ketika open order langsung sold out hanya dalam hitungan jam. Saya sudah membuktikan itu dengan beberapa kali mencoba ikutan order di jam yang sudah ditentukan tetapi selalu mendapat balasan pesan: “Afwan ukhti, produk yang ukhti pesan sudah habis

Saya juga pernah punyateman yang sangat fanatik terhadap suatu brand hijab. Kalau sampai gak kebagian dia akan galau berhari-hari ibarat orang patah hati. Dia bahkan rela merogoh kocek lebih dalam hanya untuk menyewa jastip dengan harapan dia bisa mendapatkan produk fashion yang dia incar. Padahal gamisnya itu sendiri menurut saya harganya sudah sangat mahal, mungkin setara dengan 10 kali nraktir teman ngopi di starbuck. Fyi, teman saya ini katanya sih sedang “hijrah”.

Sebagai muslimah yang memakai jilbab, tentu saya senang ketika banyak teman muslimah lain yang memutuskan untuk berjilbab. Saya juga bersyukur ketika fenomena ini menyebabkan permintaan busana muslim meningkat, yang itu berarti membuka lapangan kerja bagi para pihak.Namun, saya melihat ada permainan politik ekonomi dalam industri fashion yang memanfaatkan kaum hijrah, utamanya perempuan.

Jilbab dulunya dipakai sebagai ekspresi ketundukan dalam hati terhadap perintah Sang Pencipta dan juga simbol lahiriah dari esensi batiniah. Maka gak heran, jilbab tahun 90an modelnya sederhana saja, jilbab dan baju yang panjang, warna yang kalem, bahkan cenderung gelap dan longgar. Seperti itu-itu saja.Namun,sekarang jilbab seperti sebuah simbol identitas dalam kelas sosial yang memakai nama agama.

Fenomena tersebut tidak lepas dari keberhasilan selebritas hijrah mengubah citra jilbab sebagai busana yang kolot menjadi sangat kekinian dan punya nilai jual yang tinggi di era global. Mereka berhasil tampil di publik dengan identitas barunya yang kemudian menginspirasi anak muda yang sedang hijrah dalam menata lifestylenya. Meski saya rasa, ada motif dan kepentingan di balik itu.

Agama dan budaya adalah sitem nilai yang terdiri dari simbol-simbol yang saling berinteraksi. Dalam Symbol,DesireAndPower (1988), Benoit Millot merumuskan penyebab interaksi tersebut terjadi karena tiga hal, yaitu agama memengaruhi pembentukan budaya, budaya mempengaruhi simbol agama, dan budaya yang bisa menggantikan sistem nilai dan simbol nilai. Pada konteks ini, relasi agama dan budaya dikarenakan adanya perubahan pemahaman agama dan dorongan perubahan sosial.

Busana muslim dan hijab (kata lain dari jilbab) mempunyai makna yang kompleks bagi muslimah kelas menengah. Bagi mereka pakaian tidak hanya berfungsi sebagai penutup tubuh, tetapi juga memiliki makna kesopanan, profesi, budaya, identitas, selfconfidence, dan status sosial. Dengan demikian, menjadi wajar jika sebagian perempuan muslim melihat hijab sebagai sesuatu yang fashionable sehingga kemudian memunculkan kelompok seperti Hijabers. Dapat dipastikan bahwa mereka lahir dari semangat keberagamaan masyarakat muslim perkotaan yang bersentuhan dengan budaya pop dan budaya konsumerisme.Lantas apa salahnya jilbab menjadi fashion? Bukankah malah bagus karena akibatnya banyak muslimah tertarik mengenakan jilbab karena berbagai model dan bentuknya?

Dalam The Hidden Persuader (1980) vance Packard menjelaskan bagaimana bahasa iklan biasanya menembak sisi emosi konsumen sehingga mereka terdorong membeli atau menggunakan produk tersebut. Meskipun mungkin produk itu harganya sangat mahal dan mungkin tidak penting-penting amat untuk dibeli. Hal ini diperparah ketika kontestasi identitas dan status sosial dikawinkan dengan simbol-simbol keagamaan melalui fashion.

Sayangnya, konsumsi identitas muslimah melalui fashion dilakukan tanpa benar-benar mengkritisi standar diri. Pada sisi inilah saya rasa terjadi kapitalisasi tubuh Muslimah. Busana dan hijab lebih memperlihatkan aspek estetis daripada aspek etis. Identitas perempuan muslim kelas menangah dikontruksi melalui praktik-praktik komoditas dan konsumsi.

Nilai-nilai agama dipertukarkan dengan simbol materi sehingga profanisasi fungsi busana dan hijab tidak bisa dihindari ketika dia beralih fungsi sebagai komoditas agama.Itulah kenapa muncul atribusi religiusitas semacam “Jilbab Halal” atau “Sepatu Syar’i” dalam pemasaran produk mereka. Bagaimana bisa jilbab A menjadikan seseorang lebih agamis daripada jilbab B? kan lucu. Otoritas ilmu macam apa yang membuat standar tersebut?
Akhirul kalam, semoga kita tetap menjadi muslimah yag tidak menjadikan busana sebagai tolak ukur “kemuliaan” seseorang. Hal tersebut akan menyebabkan kita merasa paling saleh dan paling benar yang mengarap pada penghakiman terhadap orang lain. “Pakaianku lebih agamis daripada pakaianmu”hanyalah pemainan marketing belaka.

Nilai sakral agama tidak perlu dilebur menjadi nilai sosial yang bersifat profan, yang justru akan menyebabkan kita jauh dari esensi dan nilai-nilai agama itu sendiri. Kita tetap muslimah kog walaupun hanya memakai jilbab paris 10ribuan dan kaos longgar beli obral. Wallahu A’lam Bisshowab.

TERBARU

Konten Terkait