Beberapa waktu yang lalu, secara tidak sengaja saya menemukan sebuah postingan di Instagram yang kontennya berjudul “Melatih berkerudung dianggap merundung?what?!”. Sontak saja postingan itu mencuri perhatian saya. Ternyata ada konta narasi terkait pemaksaan jilbab di sekolah yang ketika itu sedang viral. Setelah saya kepoin akun dengan nama profil @muslimahnewsid tersebut, saya menemukan bahwa ternyata konten-konten yang dibagikan terindikasi mengarah pada ekstrimisme dan ajaran khilafah. Seperti kita ketahui, khilafah adalah ajaran yang dulu nyaring digaungkan oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Padahal, Ormas ini sudah dibubarkan pemerintah lewat Perpu UU No.16 tahun 2017 pengganti UU No.16 Tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat. Menurut Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto, kegiatan HTI terindikasi kuat bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 sebagaimana diatur dalam UU Ormas.Pasca dibubarkan, otomatis HTI tidak punya izin melakukan kegiatan. Namun ternyata fakta di lapangan menunjukkan bahwa dakwah HTI tidak lantas berhenti sampai di situ. Kemunculan ustaz hijrah seperti Felix Siauw yang pro terhadap sistem khilafah menjadi bukti nyata bahwa paham HTI belum hilang dari bumi Pancasila ini. Tokoh dan ideologinya masih eksis, bahkan pergerakannya makin massif.
Dinamika Pergerakan HTI
Berlangsung selama kurang lebih 40 tahun sejak tahun 1980, Pergerakan HTI mengalami pasang surut. Sejarah mencatat bahwa perjalanan dakwha HTI sangat bergantung pada pergolakan politik Indonesia. Pada masa Orde Baru mereka melakukan dakwah secara sembunyi-sembunyi dengan membentuk jaringan dari masjid ke masjid, rumah ke rumah dan dari kampus ke kampus.
Imaji negara Islam yang indah dengan sistem khilafahnya menjadi cita-cita yang selalu mereka dengungkan. Obsesi dan cita-cita itu bersambut baik ketika orde baru tumbang. Hak kebebasan berpendapat dan kebebasan pers menjadi angin segar bagi seluruh kalangan masyarakat, tidak terkecuali bagi HTI. Pasca reformasi mereka pun mulai mengembangkan dakwah dengan lebih leluasa dan terbuka.
Kampanye tentang penegakan negara khilafah pun secara terang-terangan mereka lakukan melalui berbagai forum dan kegiatan seperti diskusi, pelatihan, temu tokoh, konferensi, pembinaan dan pengkaderan. Gerakan mereka semakin massif dan dapat melenggang bebas pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang mengesahkan UU No.16 tahun 2013 terkait dengan izin Ormas HTI.
Hal tersebut kemudian membuat HTI berkembang pesat ke seluruh belahan nusantara. Sangat lucu dan ironi. Mereka menentang demokrasi, tetapi justru tumbuh subur dan berkembang pesat dalam negeri demokrasi yang mereka kritik. Namun pada akhirnya, seperti senjata makan tuan, aktivitas mereka yang terang-terangan menginginkan khilafah ditegakkan akhirnya mendapat tindakan tegas dari pemerintah dan akhirnya dibubarkan.
Terdapat tiga alasan pemerintah membubarkan HTI. Pertama, sebagai ormas berbadan hukum, HTI tidak mengambil bagian dalam proses pembangunan guna mencapai pembangunan nasional. Kedua, kegiatan yang dilaksanakan terindikasi kuat telah bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, dan yang terakhir aktifitas yang dilakukan dinilai telah menimbulkan benturan di masyarakat dan mengancam keutuhan NKRI.
Hijrah Sebagai Instrumen Dakwah
Dinamika pergerakan HTI memang mengalami pasang surut. Namun satu yang jadi perhatian, nampaknya organisasi ini tidak akan berhenti melakukan dakwah dengan cara apapun. Meskipun tanpa legal hukum, mereka tetap melakukan dakwah Islam terkait dengan khilafah. Malah semakin massif dan terstruktur. Keterbatasan ruang dan waktu nyatanya tidak membuat mereka hilang akal. Data pengguna internet di Indonesia yang terus naik dimanfaatkan sebagai media untuk berdakwah.
Facebook dan instagram sebagai platform online yang banyak digunakan generasi milenial dan anak muda menjadi sasaran empuk mereka untuk melancarkan dakwah. Akun mereka sebelum dibubarkan dan pasca dibubarkan tidak mengalami perubahan content, hanya nama akunnya saja yang bereinkarnasi. Konten yang disajikan dalam akun @muslimahnewsid tidak jauh-jauh dari urgensi penegakan khilafah dibalut dengan tema-tema “Islami” yang menyasar anak muda. Contohnya seperti anti pacaran, berhijab, jihad, bersedekah dan doktrin-doktrin yang mereka sebut “Kembali ke identitas muslim yang sesungguhnya”. Sejauh ini, akun ini bahkan memiliki 77,4 ribu followers dan telah memposting sebanyak 3948 postingan.
Apalagi di tengah tren hijrah yang semakin marak. Gagasan untuk kembali kepada Islam kaffah dengan menampilkan kesalehan aktif yang sarat akan simbol menjadi trik jitu untuk menarik simpati masyarakat awam. Situasi politik juga disampaikan dengan provokatif, seolah-olah apapun yang dilakukan pemerintah adalah bentuk kedzoliman. Masyarakat yang anti terhadap pemerintah tentu akan simpatik.
Narasi Tandingan
Pembubaran HTI sebagai ormas nyatanya tidak berpengaruh apa-apa. Jika dilihat lebih lanjut, HTI ini adalah Jemaah, bukan sekadar ormas. Jemaah bisa berubah nama tetapi tetap membawa misi yang sama. Justru dengan pembubaran tersebut mereka menemukan justifikasi merasa didzolimi oleh pemerintah dan menyebabkan jemaahnya semakin solid. Wacana khilafah sebagai misi mereka malah semakin mengemuka dan memiliki banyak pendukung.
Perlu adanya evaluasi lebih lanjut terkait kebijakan pemerintah dalam menangani masalah ini. Mungkin perlu adanya lembaga khusus yang melakukan identifikasi pergerakan HTI dan juga melakukan berbagai upaya untuk meredam pergerakannya. Mengingat ancaman HTI sangat besar dalam aspek politik dan juga social budaya.
Selain itu, harus ada narasi tandingan sebagai penyeimbang. Narasi bahwa sebenarnya NKRI sudah sangat Islami dan sesuai dengan karakter bangsa. Perlu adanya kerja sama dengan berbagai pihak dari mulai penulis, pegiat literasi ataupun conten creator untuk menggaungkan narasi tersebut. Kita harus lebih gencar menyuarakan, kita tidak boleh kalah. Karena sebenarnya mereka ini jumlahnya sedikit, tetapi paling berisik.