Dalam beberapa tahun terakhir, terutama sejak serangan streaming langsung di Christchurch, Selandia Baru, pada tahun 2019 lalu, video game, komunitas gamer, dan platform online yang dibuat untuk bermain game serta aktivitas lain terkait, telah menjadi salah satu fokus perhatian peneliti kebijakan publik, praktisi, dan akademisi yang bekerja untuk mencegah dan melawan ekstremisme (kekerasan).
Koordinator Kontra-Terorisme cabang Uni Eropa bahkan baru-baru ini memperingatkan tentang potensi game digital yang menjadi lingkungan empuk untuk terus menumbuhkan dan mendukung berbagai kegiatan kelompok teroris dan ekstremis. Termasuk melakukan penjaringan dan radikalisasi kaum muda. Kesimpulan tadi diperoleh dari analisis laporan situasi dan tren terorisme dari periset Uni Eropa.

Mereka yang merinci bahwa video game dan platform game semakin banyak digunakan untuk menyebarkan ideologi ekstremisme. Serta menyebarkan propaganda, terutama oleh aktor ekstremis sayap kanan. Grup peneliti tadi juga memperingatkan bahwa pandemi COVID-19 dan peningkatan interaksi individu dengan layar, baik melalui ponsel maupun laptop selanjutnya berkontribusi pada peningkatan peluang bagi aktor ekstremis untuk melakukan kontak dengan kaum muda melalui platform game.
Dari sana, diperoleh asumsi kuat bahwa aktor-aktor dari kelompok ekstremis berusaha untuk “mengkapitalisasi” para audiens muda yang populasinya cukup besar dengan mengintegrasikan mereka secara mendalam lewat dunia game dan budaya pop. Cara dalam ‘merekrut’ anggota-anggota ekstremis baru pun beragam. Tercatat ada enam strategi yang digunakan oleh kelompok ekstremis untuk mencapai tujuan mereka.
Keenam cara tersebut antara lain: memproduksi video game bertemakan ekstremisme, memodifikasi alur cerita game yang sudah ada, penggunaan fungsi obrolan dalam game yang menjurus pada provokasi ke arah ekstremisme, penggunaan platform game untuk mempromosikan kekerasan, pembentukan komunitas gamer yang beraliran ekstremis, dan gamification atau penggunaan teknik desain permainan, pola berpikir dan gaya mekanik untuk memperkenalkan ideologi kekerasan dari kelompok sayap kanan.
Lebih lanjut, kini ditemukan juga bahwa banyak platform game yang dikendalikan oleh kelompok radikal tidak hanya menggunakan game sebagai sarana hiburan tetapi memanfaatkan jaringan media sosial dibaliknya untuk berdiskusi tentang berbagai permasalahan anak, remaja di sekolah dan di rumah. Oleh karena itu, pendekatan yang dicoba oleh grup ekstremis dalam komunikasi digital ditengarai berpotensi menjadi titik awal untuk mempropagandakan penggunaan platform game sebagai saluran komunikasi.
Misalnya, streamer dengan perspektif ekstremis dapat dengan mudah hadir dalam obrolan selama streaming langsung dan berpartisipasi aktif dalam percakapan daring. Sementara ini dengan banyaknya platform permainan yang ada, amatlah sulit mendeteksi mana saluran yang disusupi oleh kelompok radikal. Hal ini kemudian dimanfaatkan sebagai peluang besar bagi mereka untuk terus gencar mempropagandakan narasi kebencian. Proses ‘pencucian otak’ pun tidak terasa ganjal karena para gamer yang menyukai permainan perang atau petualangan penuh konflik tentu familiar.
Dengan kata-kata kasar dan makian, sehingga susupan narasi radikalis menjadi hal yang dipandang lumrah. Kemudahan lainnya yaitu kelompok ekstremis yang beraksi lewat platform game online tidak perlu repot-repot bertemu langsung, sehingga mereka tidak mudah dicurigai. Ini berbeda dengan metode konvensional yang kerap membutuhkan kehadiran secara real-time, untuk dapat menjalin komunikasi langsung dengan target sasaran kelompok teroris.
Pada media permainan, antara akun yang digunakan oleh kelompok radikal dengan gamer biasa juga sulit dikenali. Nama-nama akun bisa sangat random dan aneh, yang selanjutnya membuat penyelidikan oleh pihak berwajib semakin rumit. Dari penyelidikan sementara, ditemukan bahwa kedok mereka selalu menekankan bahwa percakapan awal tidak boleh dimulai dengan mengungkapkan bahwa secara terang-terangan mendukung ideologi radikal pada platform streaming. Melainkan mereka bergabung seperti biasa untuk berpartisipasi dalam alur pembicaraan.
Nah, ketika semakin cair situasinya, barulah mereka mulai menampakkan topeng mereka sesungguhnya: menggencarkan narasi kebencian, pengagungan politik identitas hingga konfrontasi politik. Melihat gencarnya pergerakan kelompok ekstremis di ranah daring, penguatan edukasi pada pasca pandemi harus terus digencarkan, sebab tanpa netralisasi dari pihak sekolah dan keluarga, generasi muda kita berpotensi terjebak dan terjerumus dalam lingkaran setan ekstremisme lebih dalam.