Hijrah milenial menawarkan perpindahan gaya hidup yang dianggap sesuai syari’at. Mulai dari cara berpenampilan anjuran nikah muda, no riba, dan juga penggunaan beberapa istilah dengan bahasa Arab. Hijrah model ini kemudian berkembang di Indonesia dengan adanya paradigma berorientasi identitas, keikutsertaan dalam kajian-kajian dan juga peran dakwah di media sosial.
Ideologi Patriarki Dalam Hijrah Milenial

Fakta menunjukkan bahwa media sosial dinilai efektif mensosialisasikan segala sesuatu yang berkaitan dengan hijrah, Di Instagram misalnya, jika kita mengetik tagar hijrah, maka kita akan menemukan berjuta lebih postingan. Begitu juga grup hijrah di platform facebook yang memiliki anggota mencapai puluhan ribu orang.Yang menarik adalah,seringkali perempuan menjadi objek gambar dalam konten yang dibagikan. Padahal, kata hijrah sendiri tidak berjenis kelamin dan gender.
Dalam sebuah penelitian yang berjudul “Representasi Gambar Hijrah Milenial di Media Online” dengan analisis multimodal dan gender mengungkap bahwa hijrah milenial menganut ideologi patriarki yang menjadikan perempuan sebagai objek gambar dan objek yang harus diatur dalam hijrah yang berslogan gaya hidup syar’i ini.
Representasi jilbab lebar dan cadar menjadi standar norma dan simbol hijrah sekaligus penanda pesan yang dikomunikasikan bahwa cara pandang terhadap perempuan adalah pada sisi ketubuhannya (aurat,fitnah).Sementara laki-laki direpresentasikan pada gambar yang menonjolkan potensi spiritual dan intelektual (soleh,bertanggungjawab,visioner).
Ideologi patriarki seperti tergambar dalam representasi gambar konten yang dibagikan tersebut menggambarkan ketiadaan relasi yang setara antara perempuan dan laki-laki. Nilai-nilai patriarki tersebut juga diinternalisasikan dalam ceramah-ceramah yang dibawakan dalam kajian-kajian atau halaqoh yang biasa mereka lakukan.
Ada satu pola yang sering terlihat dalam setiap dakwah yang didengungkan yaitu bahwa segala ruang gerak sosial-politik perempuan baik itu di ruang publik maupun domestik selalu berada di bawah otoritas laki-laki. Ada pemisahan ruang yang membedakan peran laki-laki dan perempuan sehingga penyempitan peran perempuan makin kuat. Perempuan yang salihah dan ideal digambarkan sebagai perempuan yang tinggal di rumah, mengabdi pada suami dan anak-anak. Sementara laki-laki yang saleh adalah yang bekerja mencari nafkah di luar rumah.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan hal tersebut jika keduanya memilih dengan sadar dan dengan pertimbangan kebaikan bersama. Yang jadi masalah adalah menjadikan pemisahan ruang tersebut sebagai standar tunggal yang harus dipatuhi yang menyebabkan batasan-batasan dimulai.
Hal tersebut diperburuk dengan tradisi belajar kaum hijrah yang instan. Metode internalisasi nilai-nilai tersebut dalam halaqoh maupun kajian-kajian dilakukan dengan monolog.Jarang sekali terjadi dialog atau diskusi yang membangun kritik. Jemaah mungkin bertanya, namun ketika ustaz menjawab selesailah persoalan tersebut. Jadi seperti ada the power of legitimate dalam peran ustaz yang berfungsi untuk memaksakan nilai-nilai yang ditafsirkannya diterima begitu saja.
Jemaah perempuan kemudian merasa telah menerima paket kebenaran mengenai peran dan fungsinya dalam rumah tangga. Apalagi jika kegiatan pengajian hanya sebatas batu loncatan untuk menaikkan status sosialnya tanpa menimbang apakah materi kajiannya itu sesuai dengan nilai-nilai Islam yang diajarkan nabi Muhammad SAW.
Peran Perempuan dalam Islam
Perempuan di hadapan banyak agama memang sering mendapatkan diskriminasi. Tidak hanya dalam konteks agama saja, dalam kebudayaan perempuan rentan dijadikan objek seperti menjadi penjaja seks, diperjualbelikan bahkan diwariskan. Maka hadirnya agama adalah sebagai kontrol atas kebudayaan jika budaya tersebut bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.Islam adalah agama dengan agenda penyelamatan. Bebas diskriminasi dan anti marginalisasi.“Wa maa arsalnaaka illa rahmatan lil alamiin” menjadi dalil kuat bahwa Islam mempunyai misi untuk menjadi rahmat bagi semesta alam, termasuk rahmat bagi perempuan.
Bahkan saat perempuan dipertanyakan apakah mereka manusia atau bukan? Punya hak untuk beribadah dan mendapat pahala atau tidak? Allah merespon keraguan tersebut dengan tegas dalam Q.S Al-Hujurat ayat 13 “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kalian dari laki-lki dan perempuandan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya saling mengenal. Sesungguhnya orang yang aling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa…”
Ayat tersebut menegaskan bahwa faktor yang menentukan kemuliaan seseorang di sisi Allah tidak berdasar pada jenis kelamin maupun status sosial, melainkan berdasar pada ketakwaan. Dengan demikian semua manusia, baik dia laki-laki maupun perempuan setara di mata Allah. Tidak ada yang lebih baik dan lebih tinggi posisinya satu sama lain. Semua punya peran yang sama sebagai khalifah Allah di bumi.
Ketubuhan dan fisik perempuan yang seringkali menjadi alasan dilemahkannya mereka kemudian dirubah oleh Islam dengan penghormatan.Menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui digambarkan oleh Allah sebagai wahnan ‘ala wahnin (sakit yang bertambah-tambah) sebagai sebuah bentuk penghormatan dan mewasiatkan itu kepada semua anak. Hal tersebut tertuang jelas dalam Q.S Luqman ayat 14.
Islam telah mendudukkan perempuan sama dengan laki-laki tanpa mengabaikan kondisi-kondisi khusus yang mungkin dialami perempuan karena alat dan fungsi reproduksinya juga status sosialnya. Dengan demikian, narasi bahwa perempuan salihah itu adalah istri dan ibu yang hanya di rumah dan mengabdikan diri kepada suami adalah sesuatu yang keliru.
Perempuan adalah subjek penuh sebagaimana laki-laki. Sebagaimana manusia yang punya dimensi intelektual maupun spiritual, perempuan juga punya hak menentukan pilihan-pilihan dalam hidupnya. Menjadikan perempuan sebagai objek dan membatasi ruang geraknya dalam menebarkan manfaat, sama saja dengan menghalangi terwujudnya misi Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin.
Jika hijrah diartikan sebagai perpindahan dari perbuatan buruk ke perbuatan baik, maka mari kita berhijrah dari ideologi patriarki yang mendiskriminasi perempuan ke sebuah sistem yang lebih adil untuk semua. Kita harus terus melanjutkan tongkat estafet nabi Muhammad dalam mewujudkan misi Islam. Seperti yang dikatakan founder ngaji KGI Ibu Nur Rofiahbahwa berislam sejatinya adalah proses terus-menerus bergerak dari realitas yang tidak adil menuju keadilan yang hakiki.