Saya percaya bahwa setiap orang adalah influencer, mampu memberikan pengaruh terhadap orang lain. Tidak terkecuali di dunia media sosial. Berapapun jumlah followers, sedikit atau banyak, tetap memberikan pengaruh terhadap orang lain. Artinya, setiap branding yang kita bangun di media sosial, baik berupa postingan, foto, ataupun story, sedikit banyak bisa mempengaruhi orang lain. Buktinya, dalam konteks perekrutan teroris, media sosial menjadi media baru, bahkan sebagai alternatif utama untuk memperbanyak kader, dan melakukan regenerasi kelompok. Fakta ini ditonjolkan secara kuat melalui film dokumenter, “Jihad Selfie” yang disutradai oleh Noor Huda Ismail.
Film dokumenter “Jihad Selfie” menceritakan kisah anak-anak muda yang tergabung dengan ISIS di Suriah karena pengaruh media sosial. Hal ini terjadi pada Teuku Akbar Maulana, pemuda asal Aceh yang menjadi penerima beasiswa tahun ke empat di sekolah menengah Turki yang tertarik ikut ISIS setelah melihat postingan temannya di media sosial. Awal mulai Akbar tertarik untuk ikut ISIS ketika melihat postingan facebook Yazid.
Dalam sebuah foto yang disebarkan di facebooknya, Yazid berpose dengan senjata jenis AK 47. Menurut Akbar, pose itu sangat gagah dan menarik untuk diikuti. Dari situlah, Akbar memiliki keinginan untuk bergabung dengan Yazid. Keinginan Akbar untuk bergabung dengan ISIS semakin besar ketika mengetahui bahwa, Yazid pernah merekrut salah satu temannya, asal Indonesia yang bernama Bagus.
Kemampuan Akbar sebenarnya tidak bisa diragukan. Ia adalah pemuda luar biasa dengan segala prestasi. Kemampuannya dalam menghafal Al-Qur’an, pandai dan berprestasi, menjadikan ia sebagai salah satu penerima beasiswa untuk belajar di Turki. Namun, hal itu tidak menjamin seseorang bersih dan tidak terpengaruh oleh pusaran radikalisme dan terorisme. Justru, orang seperti Akbar, rentan sekali untuk terpapar radikalisme dan terorisme.
Apalagi, melalui narasi yang erat sekali dengan agama, khususnya agama Islam, sangat disukai oleh orang-orang cerdas yang memiliki tingkat religiusitas tinggi dan kemampuan agama yang sangat mumpuni. Fenomena ini menjadi salah satu trend perekrutan terbaru dan marak terjadi dalam arus pergerakan radikalisme dan terorisme. Perlu diketahui bahwa, ketertarikan orang lain untuk bergabung dalam organisasi ISIS, susah sekali untuk dilawan karena, mereka tidak diajak melalui paksaan.
Akan tetapi, rasa ingin tahu yang besar, ditambah dengan keinginan untuk menjadi figur yang diidolakan, membutakan seseorang untuk berbuat hal yang sama seperti idolanya. Film “Jihad Selfie” menurut hemat penulis, adalah strategi yang cukup unik dalam proses regenerasi kelompok jihadis. Fenomena ini tidak bisa dipungkiri mengingat tingginya pengguna media sosial sebagai media utama yang digunakan oleh masyarakat.
Mengetahui tantangan ini, film “Jihad Selfie” berbicara tentang peran pentingnya orang tua dalam mendampingi anaknya. Khususnya anak remaja yang sedang di fase, memiliki keingintahuan yang besar untuk mencari jati diri, utamanya yang erat hubungannya dengan masalah agama. Orang tua memiliki pengaruh besar dalam pengambilan keputusan anak remaja, yang ingin bergabung dengan ISIS. Belakangan ini, seperti yang kita ketahui bahwa, remaja merupakan kelompok paling besar sebagai pengguna media sosial.
Jihad Selfie, adalah film yang mencoba untuk meneguhkan peran orang tua di era media sosial. Dengan melihat fakta yang dilakukan oleh Akbar, faktor serupa pasti terjadi pada anak remaja yang lain. Sehingga posisi orang tua sebagai teman belajar,
teman berbagi, yang bisa memberikan arahan, menasehati, harus diperankan dengan baik oleh orang tua dalam mendampingi anak. Melihat film “Jihad Selfie,” kita melihat betapa banyaknya pergeseran ideologi yang cepat tersebar di media sosial.
Trend baru media sosial sebagai media utama dalam perekrutan aktor jihadis, secara terang-terangan dilakukan oleh kelompok teroris untuk mempromosikan ideologinya. Arus pergerakan radikalisme dan terorime, di tengah maraknya media sosial, menjadi media baru yang sangat ciamik untuk menyebarkan ideologinya. Pada kenyataannya, media sosial tidak bisa meng-counter postingan para radikal dan teroris dalam, atau postingan berbahaya lainnya. Akan tetapi, pengguna media sosial dituntut untuk mampu memiliki pengetahuan, tingkat literasi digital cukup baik agar bisa meng-counter narasi yang bisa dikonsumsi.