Laporan dari Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada Agustus 2021 lalu memperlihatkan bahwa Ibu (Perempuan) menanggung beban ganda ketika anggota keluarga mereka terjebak dalam lingkaran ekstremisme. Perempuan juga menjadi tulang punggung keluarga dan masyarakat, terutama ketika pasangannya meninggal, dan banyak mereka yang menjadi korban kekerasan seksual termasuk perbudakan seksual.
Padahal merujuk payung hukum yang ada, kekerasan terhadap perempuan dan anak termasuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan melanggar prinsip-prinsip dasar HAM Internasional. Pada tahun 1995 The Beijing Platfrom for Action (BPFA) menggarisbawahi penghapusan kekerasan pada perempuan dan anak (termasuk anak perempuan) dalam situasi konflik bersenjata. Namun, realitanya memutus lingkaran kekerasan utamanya di daerah konflik tak semudah membalikkan telapak tangan.

Salah satu contohnya apa yang dilakukan oleh Pakistan Initiative for Mothers and Newborns/PAIMAN, yayasan nirlaba yang fokus menginisiasi gerakan perdamaian di Pakistan. Di sana, mereka mengungkapkan bahwa banyak sekali problem dan tantangan berlipat yang menyebabkan mereka perlu berupaya terus menerus agar kaum perempuan tak menjadi korban. Dari sekian program yang ada, gerakan inisiatif untuk hidup damai dan memberdayakan kelompok perempuan yang terperangkap dalam radikalisme patut diapresiasi.
Awalnya, PAIMAN menyadari bahwa ibu-ibu di sana sejatinya tidak bersalah. Mereka hanyalah korban yang tidak menyadari bahwa apa yang mereka lakukan untuk keselamatan keluarga justru membuat mereka berjuang untuk kepentingan kelompok radikal. Oleh karenanya, PAIMAN lalu mengembangkan strategi untuk melibatkan para ibu dengan keyakinan bahwa mereka adalah agen utama dalam membentuk moral dan nilai-nilai anak-anak mereka.
Dengan menanamkan rasa tanggung jawab untuk menciptakan hubungan manusia yang positif dalam keluarga dan masyarakat. Menjalankan ini semua tentunya tidak mudah. Terutama untuk membujuk perempuan dan ibu keluar dari rumah mereka dan melibatkan mereka dalam inisiatif PAIMAN demi melawan ekstremisme kekerasan. Tapi, LSM tersebut tidak putus asa. Para aktivisnya pun bergerak mulai membangun hubungan dengan ibu-ibu di setiap komunitas dan mengundang mereka untuk belajar keterampilan. Dari apa yang mereka pelajari tadi, jadilah kemampuan itu menjadi bekal mata pencaharian untuk mulai mendapatkan uang demi keluarga mereka.
Pada saat yang sama, PAIMAN juga mengadakan dialog dan membangun kepercayaan dengan tetua masyarakat dan kerabat laki-laki yang berpengaruh, membuka jalan bagi ibu-ibu yang terdomestikasi untuk keluar dari rumah mereka. Berfokus pada konsep kepercayaan diri, kompetensi, dan pemberdayaan, PAIMAN memulai program ambisiusnya untuk melibatkan kelompok ibu dalam dua fase.
Fase pertama PAIMAN memberi mereka keterampilan mata pencaharian yang dapat dipasarkan sesuai dengan bakat mereka karena mereka perlu membangun posisi otoritas dalam keluarga mereka. Hal ini dilakukan dengan landasan bahwa seorang anak hanya menghormati ibu ketika posisinya tidak ditantang oleh suaminya, teman atau masyarakat secara keseluruhan. Ini juga membantu para ibu dalam memberikan kontribusi untuk pendapatan keluarga mereka dalam waktu singkat dan menanamkan kepercayaan pada ibu-ibu sasaran kegiatan.
Pada fase kedua PAIMAN membekali mereka dengan pengetahuan dan kepercayaan diri yang diperlukan untuk menjadi pemain aktif dalam keluarga dan komunitas mereka. Sesi kedua bertujuan untuk membangun kapasitas mereka untuk berpikir kritis, memungkinkan mereka mengenali indikator ekstremisme kekerasan pada individu dan komunitas mereka, dan menemukan cara untuk mengatasi tanda-tanda peringatan dini ini dengan mempromosikan dialog dan pembangunan perdamaian dalam lingkup komunitas.
Penekanan program ditujukan agar perempuan sadar akan potensi mereka dalam mempengaruhi dan membimbing kehidupan anak-anak mereka, dan dalam mencegah mereka terlibat dalam kegiatan ekstremis. Dalam hampir semua kasus, para ekstremis menggunakan teks Al-Quran untuk menarik kaum muda dan masyarakat ke arah konsep jihad kekerasan atau meyakinkan mereka untuk bertindak dengan cara ekstremis.
Tak ingin kalah pegangan, PAIMAN menggunakan ayat-ayat Alquran dalam konteks yang tepat untuk membantu mengubah pola pikir para ibu ini. Metodologi transformative yang diajarkan oleh organisasi nirlaba yang fokus pada perempuan dan anak ini didasarkan pada Al-Quran dan Sunnah, sebagaimana Nabi Muhammad (SAW) menegaskan bahwa peran seorang ibu sangat penting dalam mendidik anak-anaknya sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam yang benar, yang tidak mengajarkan kebencian atau kekerasan.
Secara umum, proses transformasi berjalan lambat, tetapi stabil dan tegas. Pengetahuan yang baru diperoleh dan program pemberdayaan ekonomi yang dilakukan, telah memberi mereka kepercayaan diri untuk berkomunikasi secara terbuka dengan putra mereka dan membantu membina hubungan ibu-anak yang lebih dalam. Melalui ibu-ibu yang berubah ini, PAIMAN mendekati putra-putranya yang kemudian didorong untuk mengikuti program deradikalisasi PAIMAN.
Metamorfosis ibu dari yang merayakan kemartiran putra mereka dalam serangan bunuh diri menjadi agen perubahan positif di masyarakat adalah proses yang berliku dan tidak mudah. Sangat sulit bagi ibu dalam masyarakat patriarki dan konservatif untuk meyakinkan orang lain untuk menerima pendekatan mereka di tengah dampak negatif dari ekstremisme kekerasan atau eksploitasi oleh kelompok tertentu atas nama agama.
Setelah pelatihan PAIMAN, para wanita ini kemudian diapresiasi dengan panggilan Ibu TOLANA (yang berarti ibu bersama dalam bahasa Pashto) dan mulai menjangkau ibu- ibu lain untuk membantu mereka dari jeratan radikalisme.