Ketika memulai perkuliahan Sejarah Peradaban Islam, saya selalu menanyakan apa pendapat mahasiswa tentang Sejarah Peradaban Islam. Meskipun tidak semuanya, namun mayoritas mahasiswa menjawab perang, pembunuhan, pengkhianatan, perebutan kekuasaan, dan hal-hal bersifat militeristik dan politis lainnya.
Tak ada yang salah dengan jawaban tersebut. Materi pembelajaran dalam SPI memang mengkaji mengenai bagaimana Islam disebarkan untuk pertama kali, sistem dakwah nabi, dan juga relasi Islam dengan agama samawi lainnya. Bukan materinya yang salah, namun pengemasan materi yang lebih fokus pada konflik dan tanpa pengambilan hikmah memunculkan pemahaman yang ekstrim bagi peserta didik.
Lukman Hamid dalam skripsinya menyatakan bahwa ekstrimisme memang bukan hal yang baru dalam sejarah ideologi pemikiran Islam. Bahkan benih dan bibit ektsrimisme dalam kajian historis bersinggungan dengan paham khawarij di masa Khulafaur Rasyidin. Lantas apakah mempelajari Sejarah Peradaban Islam berarti mengkader pemahaman ekstrimis juga? Atau justru pembelajaran sejarah peradaban Islam mampu digunakan sebagai dasar penanggulangan paham ekstrimisme?
Kenapa Harus Belajar Sejarah Islam?
Sebelum membahas mengenai sejarah lebih lanjut, alangkah baiknya jika kita awali dengan pendapat Sartono Kartodirdjo tentang sejarah. Dalam bukunya yang berjudul Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah ia menegaskan bahwa menceritakan bagaimana terjadinya suatu peristiwa, belum memberikan eksplanasi secara tuntas dan lengkap.
Sejarah harus diterangkan secara lebih jauh dan lebih mendalam mengenai bagaimana terjadinya, latar belakang kondisi sosial, ekonomi, politik, dan juga kulturalnya. Belajar sejarah juga harus sampai pada kajian mengenai pola-pola perkembangan, konteks dan kondisi peristiwa, serta akibatnya.
Menurut Ahmad Mahsum, sejarah merupakan suatu penalaran kritis dan kerja yang cermat untuk mencari kebenaran; suatu penjelasan yang cerdas tentang sebab-sebab dan asal-usul segala sesuatu; suatu pengetahuan yang mendalam tentang bagaimana dan mengapa peristiwa-peristiwa itu terjadi.
Sejarah dapat mengajar man of action (manusia pelaku) tentang bagaimana orang lain bertindak dalam keadaan-keadaan khusus, pilihan-pilihan yang dibuatnya, dan tentang keberhasilan dan kegagalan mereka. Tanpa mengenal sejarah, seseorang akan kehilangan arah dan acuan dalam melaksanakan kebijaksanaannya.
Dalam belajar sejarah harus bisa menjangkau bagian dalam peristiwa sejarah atau pikiran-pikiran yang melatarbelakanginya. Dalam konteks ini Collingwood menekankan keistimewaan yang dapat dilakukan oleh para mahasiswa terhadap objeknya yaitu dengan jalan re thingking them in his own mind (memikirkan kembali dalam pikiran sejarawan sendiri).
Dengan ini, mahasiswa harus mampu meneropong pikiran pelaku sejarah dengan cara mencoba menghidupkan kembali pikiran-pikiran pelaku sejarah tersebut dalam pikirannya sendiri; dengan kata lain secara imajiner sejarawan harus mencoba menempatkan dirinya ke dalam pelaku-pelaku sejarah yang bersangkutan.
Lantas apa hubungan sejarah dengan ekstrimisme?
Diawal pembahasan sudah dijelaskan bahwa akar ekstrimisme muncul dalam kajian sejarah. Namun jika peristiwa ekstrim tersebut hanya dijelaskan dalam bentuk susunan waktu dan kejadian saja, itu artinya belum mempelajari sejarah secara utuh. Apalagi pembelajaran sejarah yang hanya fokus pada hafalan hari, tanggal, tahun, dan nama tokoh, sama sekali bukan pembelajaran sejarah yang sesungguhnya.
Contoh pemikiran ekstrimis dalam sejarah Islam bisa kita temui pada sikap fanatisme Syiah terhadap sayyidina Ali Ra. Fanatisme Syiah yang men-Tuhankan Ali Ra menjelma sebagai gerakan ekstrimis, konservatif, dan bahkan ajaran sesat. Gerakan kaum Syiah ini berkembang berdasarkan motif pribadi, mempertahankan suatu pemahaman yang kaku dan menolak pemahaman lain yang dianggap tidak sesuai dengan keyakinannya.
Syiah tetap menggunakan al-Quran dan hadits sebagai sumber hukumnya, namun hanya terpaku pada suatu paham yang dianggap sesuai dengan keyakinannya. Melakukan penafsiran yang sempit dan keras serta bertentangan dengan pendapat dan tafsiran mayoritas ulama. Setelah mengetahui fakta bagaimana ekstrimis Syiah dalam beragama, kemudian dikaji mengenai apa latar sosial yang menyebabkan pemahaman tersebut lahir? Bagaimana keadaan politik yang berlaku saat itu? Dan apakah tindakan tersebut relevan untuk dipraktikkan masa kini? Dan bagaimana seharusnya Syiah berinteraksi dengan masyarakat beragama lainnya?
Contoh lainnya, telah diketahui fakta tentang peristiwa terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan RA. Fakta tidak mungkin bisa dirubah, tetapi kajian untuk melihat fakta tersebut harus komprehensif dan multiperspektif. Maka dalam memahami realitas tersebut, mahasiswa harus mampu memahami latar sosial, politik, dan juga keadaan yang sedang terjadi ketika para pemberontak mengepung kediaman Usman bin Affan.
Faktor apa saja yang mendasari munculnya surat palsu (berita hoax) tentang kepemimpinan Usman, dan menghubungkan fakta tersebut dengan naluri “nafs” manusia yang cenderung ingin berbuat kejelekan. Perlu digali juga siapakah yang menyebarkan isu nepotisme Utsman sehingga menyebabkan pemberontakan.
Jika pembelajaran dalam sejarah sampai pada analisis yang mendalam mengenai fakta-fakta gerakan ekstrimis di masa lampau, maka akan sampai pada sebuah pemahaman yang komprehensif. Sejarah tidak hanya sekedar memfokuskan pada hafalan namun harus sampai pada nilai yang ingin dicapai. Yaitu nilai kemanusiaan, keadilan, dan jalan lurus sebagaimana diajarkan dalam Islam.
Dengan pembelajaran sejarah Islam yang komprehensif, mahasiswa juga akan memahami bahwa gerakan ekstrimis yang bersifat melampaui batas sebagaimana orang terdahulu dilarang dalam agama Islam. Karena sifat yang melampui batas hanya akan menyebabkan pertikaian dan juga kebinasaan.