Begini Caranya Menangkal Pemahaman Ekstremisme dengan Fikih Humanis

Mayoritas teroris dan aksi radikal mengatasnamakan dirinya sebagai alumni pondok pesantren. Namun fakta tersebut tidak bisa dijadikan landasan untuk mengeneralisir bahwa semua pondok pesantren mengajarkan radikalisme. Karena bagaimanapun pola pengembangan lembaga pendidikan berbasis keagamaan maupun pesantren di Indonesia memiliki perbedaan dengan lembaga serupa di luar negeri. Pondok Pesantren al-Iman Ponorogo adalah salah satu pesantren yang dengan tegas menolak pemahaman ekstrimisme. Hal tersebut dilakukan dengan memberikan penguatan nalar teologi Islam moderat dalam penyelenggaraan pendidikan. Atas dasar itulah, hingga saat ini tidak adanya satupun alumni Pondok Pesantren al-Iman Ponorogo yang terafiliasi organisasi transnasional.

Pesantren al-Iman Ponorogo terletak di dua lokasi. Di kecamatan Babadan untuk pondok putri dan di kecamatan Sukorejo untuk pondok putra. Saat ini pesantren ali-Iman memiliki Lembaga Pendidikan Tarbiyatul Athfal, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah yang dipadukan dengan sistem KMI (Kulliyatul Muallimat al-Islamiyah) Gontor, Kemenag, dan salafiyah. Berdiri di tahun 1990, pesantren yang didirikan oleh KH. Mahfud Hakim dan Nyai Hj. Siti Qomariyah memiliki 1.200 santri dan 150 guru baik laki-laki maupun perempuan, dan ribuan alumni yang tersebar di seluruh nusantara.

Begini Caranya Menangkal Pemahaman Ekstremisme dengan Fikih Humanis

Dinamika Pembelajaran Fikih

Memasuki era society 5.0, kesempatan untuk mengakses dunia maya sudah berada dalam satu genggaman. Selain berdampak positif agar cepat menyesuaikan dengan perkembangan yang terjadi di dunia global, kebebasan akses ini juga bisa berdampak negatif. Salah satunya dengan semakin tersebarnya hate speech, war di sosial media yang tak jarang berawal dari perbedaan dalam hal furuiyyah (cabang) dalam beragama.

Hal ini muncul karena pemahaman tentang perbedaan madzhab yang sering disalahpami. Menurut Muhammad Husein Abdullah, mayoritas masyarakat tidak memahami bahwa perbedaan pendapat (khilafiyah) di kalangan madzhab-madzhab adalah sesuatu yang alamiah dan sehat serta bukan sesuatu yang menyimpang dari ajaran Islam sebagaimana sangkaan sebagian pihak. Sebab kemampuan akal manusia berbeda-beda, sebagaimana nash-nash syariat juga berpotensi memunculkan perbedaan pemahaman. Perbedaan ijtihad di kalangan sahabat sesungguhnya telah terjadi bahkan semenjak zaman Rasulullah SAW melalui taqrir-nya.


Pola Pengajaran Fikih Berjenjang di Pesantren al-Iman
Fikih untuk Pemula (ula)

Pondok pesantren al-Iman menerapkan pembelajaran fikih dengan sistem berjenjang. Pada tahun-tahun pertama, yang diajarkan kepada para santri adalah fiqh ibadah menggunakan dasar kaidah umum, dengan tujuan agar para santri dapat beribadah dengan baik. Ini didukung dengan pelajaran tafsir, hadits dan mahfudzat (falsafah hidup) yang berkaitan dengan akhlak, sebagai pembentukan karakter dan budi pekerti. Pada tahap ini, santri belum diperkenalkan kepada perbedaan pendapat dalam fiqh.

Selanjutnya santri diperkenalkan dengan ushul fiqih, Mabadi’ Awwaliyyah dan al-Bayan karangan ‘Abd al-Hamid Hakim. Melalui ushul fiqh mereka diajarkan metode penarikan (istinbath) hukum Islam, yang seringkali menjadi akar perbedaan pendapat dalam hukum Islam. Hal ini sejalan dengan pendapat Ibnu al-Qayyim yang menyatakan bahwa ushul fiqh menjadi sangat urgen karena merupakan barometer, timbangan atau neraca dalam menimbang dan menilai akal (metode berpikir) manusia dalam relevansinya terhadap isthinbath hukum-hukum syariah dari dalil-dalilnya yang rinci.

Peran neraca ini adalah untuk mendapatkan keadilan, sekaligus alat untuk mengetahui sesuatu itu adil atau tidak. Dengan ushul fiqh, santri diarahkan untuk mampu membuat bagaimana nash-nash dalam al-Quran mampu berbicara pada setiap problematika sosial yang muncul di masyarakat. Sehingga sebuah hukum dalam al-Quran tidak hanya law in the book saja namun mampu menghadirkan solusi bagi sebuah permasalahan.

Fikih Jenjang Menengah (wustho)

Di jenjang selanjutya, santri diajarkan dengan kitab Bulugh al-Maram. kitab bulugul maram termasuk ke dalam klasifikasi kitab-kitab hukum, sehingga metode penulisan kitab ini adalah sesuai dengan urutan bab yang terdapat dalam kitab fiqih. Dalam pembukaan kitab ini, Imam Ibnu Hajar menegaskan bahwa kitab ini adalah kitab mukhtasar yang mencakup kepada pokok-pokok hadis hukum. Sedangkan, dalam pembukaan kitab subul as salam (salah satu kitab syarah bulugul maram yang paling populer), disebutkan bahwa dalam kitab ini Imam Ibnu Hajar Al ‘Asqalani mengumpulkan hadis-hadis hukum yang dijadikan istinbath oleh para ulama fiqih kemudian beliau menyebutkan perawi hadis tersebut dengan redaksi “Akhrajahu Al Bukhari” atau “Rawahu Muslim”.

Dengan kitab tersebut, para santri diajarkan untuk mengetahui langsung sumber hukum Islam, yaitu hadis-hadis yang menjadi sandaran fiqih. Pada saat yang sama, mereka juga menghadapi keragaman sumber hukum, karena tidak jarang antara hadis-hadis itu tampak berlawanan atau bertentangan satu sama lain dalam suatu masalah fiqih.Dalam diskursus ‘Ilm al-Haditsistilah ini disebut mukhtalaf al-hadîth, meskipun ada juga yang memberi nama ta‘arrud al hadits.

Fikih Jenjang Tinggi (a’la)

Pada jenjang yang lebih tinggi lagi, pondok pesantren al-Iman mengajarkan fiqih perbandingan melalui Bidayat al-Mujtahid karya Abu al-Walid Muhammad ibn Rusyd. Kitab Bidayatul Mujtahid, secara lengkap namanya adalah Bidah al-Mujtahid wa Nahayah al-Muqtasshid yang berarti tingkat pemula bagi seorang ahli hukum dan tingkat akhir bagi seorang yang ilmunya sederhana. Dalam nama ini dapat dipahami bahwa Ibn Rusyd menulis kitab tersebut sebagai persiapan awal bagi seorang yang hendak melakukan ijtihad dan sebagai pegangan utama bagi orang-orang yang ilmunya sederhana (selain mujtahid). Ibn Rusyd menulis kitab tersebut yang dalam pembahasannya mengemukakan bagian-bagiannya yaitu: bagian ibadah 77 masalah, akhwal syakhshiyah 20 masalah, muamalah madaniyah 36 masalah, jinayah 6 masalah dan peradilan 4 masalah.

Tujuannya diajarkannya kitab ini adalah untuk menunjukkan perbedaan pendapat antar ulama. Hal ini sejalan dengan pendapat al-Afkar yang menyatakan bahwa Bidayatul Mujtahid merupakan kitab fikih terbaik yang menganalisis secara metodologis perbedaan pendapat para pakar hukum sejak era sahabat hingga era stagnasi fikih. Perbedaan fuqaha dalam masalah-masalah fikih didiagnosis dengan cara menelusuri tendensi hukumdan dasar argumentasi masing-masing mazhab. Dalil al- Quran dan hadist beserta metodologi masing masing mazhab diuraikan dengan sistematis.

Modal membangun relasi berdasar kemanusiaan

Melalui pelajaran ini para santri dan alumni pesantren al-Iman tidak kaku dalam berhubungan dengan non-muslim, tetapi bisa membedakan secara tegas mana wilayah akidah dan mana yang masuk dalam bidang mu‘amalah (hubungan sosial. Dengan demikian, Pondok Pesantren al-Iman sesungguhnya telah menanamkan kepada para santrinya nilai-nilai moderat, sikap berlapang dada dan toleransi, tidak saja terhadap sesama umat Islam yang berbeda faham keagamaannya, tetapi juga terhadap penganut agama lain.

Penulis

Opini

Di sini kita membahas topik terkini tentang perempuan dan upaya bina damai, ingin bergabung dalam diskusi? Kirim opini Anda ke sini!

Scroll to Top