hijrah sebenarnya adalah laku hidup yang wajar dilakukan oleh seorang manusia sebagai titik balik kehidupan dan refleksi diri. Di tengah kegersangan spiritualitas yang dirasakan, tentu tebersit keinginan untuk berubah dan memperbaiki diri. Lahir menjadi manusia dengan spiritualitas yang baru untuk menggapai kehidupan yang lebih baik di atas fondasi ajaran-ajaran Islam.
Potret Hijrah Masa Kini: Pergeseran Makna
Tren Hijrah adalah salah satu fenomena sosial yang hadir sebagai imbas dari modernitas. Kejenuhan dan kegersangan spiritual di tengah hiruk-pikuk globalisasi membuat perilaku keagamaan masyarakat perkotaan berubah. Antusiasme keberagamaan yang awalnya diisi oleh nilai-nilai dan budaya tradisional perlahan dikikis oleh globalisasi dan modernisasi. Tren ini kemudian menemukan momentumnya bersamaan dengan makin marak dan berkembangnya media sosial sebagai sarana dakwah kelompok hijrah.
Hijrah kemudian makin populer seiring dengan banyaknya selebriti tanah air yang menyebut diri mereka sedang hijrah ketika mereka sedang belajar agama. Biasanya ditandaidengan perubahan penampilan seperti memakai jilbab dan cadar bagi perempuan, atau memakai celana di atas mata kaki serta memanjangkan jenggot bagi yang laki-laki.
Tidak hanya dalam penampilan, dalam perilaku keagamaan pun kelompok hijrah ini selalu menawarkan kesalehan yang aktif. Misalnya selalu hadir dalam salat berjamaah dan aktif dalam kajian-kajian dan kegiatan sosial. Hal ini tentu menarik di mata masyarakat awam dan tidak jarang dijadikan panutan.
Sayangnya, Gerakan hijrah cenderung mempromosikan penafsiran tunggal terhadap ajaran Islam yang mengarah pada kehidupan beragama yang ekslusif. Mulai dari mendukung formalisasi Hukum Islam, sebagian lainnya mendukung khilafah bahkan ada juga yang meyakini bahwa hijrah adalah perpindahan dari darul-harb menuju darul Islam seperti yang pernah diserukan oleh ISIS.
Pemahaman atas hijrah seperti ini hanya berfokus pada perubahan gaya hidup sehingga cenderung simbolik dan terkesan kehilangan makna substansialnya. Oleh karena itu, parameter kesuksesan hijrah akan lebih mudah tergelincir pada aspek-aspek yang tampak. Ironisnya, pemahaman hijrah yang simbolik ini juga merambat pada ranah paradigma pemikiran yang memengaruhi sikap dan perilaku keagamaan.
Makna Hijrah dalam Al-Qur’an
Dalam Al-Qur’an, kata hijrah tersebar dalam beberapa surah dan memiliki konteks yang berbeda-beda. Salah satu ayat Al-Qur’an yang masyhur digunakan sebagai dalil berhijrah adalah QS.An-Nisa ayat 100 :
“Barang siapa berhijrah di Jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan rasulnya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang ditujua), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah”
Kata al bait dalam “barang siapa keluar dari rumahnya”menurut Ibn Arabi tidak hanya dimaknai sebagai rumah, tetapi juga sebagai almanzil, yang bisa berarti hati atau kalbu. Mengacu pada makna ini, hijrah tidak hanya tentang aspek perpindahan atau meninggalkan sebuah tempat semata,akan tetapi diiringi dengan aktualisasi perubahan diri yaitu hijrah batin yang bermakna meninggalkan segala hal yang menghalagi kemuliaan manusia itu sendiri.
Dalam konteks ini, hijrah merupakan perjalanan dari keburukan menuju kebaikan, kegelapan menuju cahaya, dan dari tindakan dosa menuju ketaatan. Seseorang yang melakukan hijrah lahir atau meninggalkan sebuah tempat belum bisa dikatakan hijrah jika belum diiringi oleh hijrah batin dan jiwanya. Sebaliknya, seseorang mingkin tidak meninggalkan rumahnya tetapi bisa dikatakan berhijrah jika batin dan jiwanya telah berhijrah dan bertawajuh kepada Allah.
Jadi, hijrah tidak selalu dimaknai dengan berpindahnya tempat atau berubahnya penampilan seseorang. Bukan hanya tentang hal-hal lahiriah yang bersifat tampak, tetapi adalah perubahan secara batin atau hal-hal yang tidak tampak. Pesan dari hijrah itu sendiri adalah perubahan menuju kebaikan dan ketaatan dan tidak harus ditampilkan dalam performa religiusitas yang hanya bersifat simbolik yang justru dapat menghalangi pada tujuan penting dari hijrah itu sendiri.
Hijrah dan Aktualisasi Islam yang Moderat
Tren Hijrah dan tipikalnya yang memproses pembelajaran Islam dengan sangat instan, menjadikan pemahaman literatur keagamaan tidak mendalam. Perbincangan soal agama tidak lagi didapat dari otoritas keagamaan yang telah mendapatkan pengakuan seperti kyai, ulama, di masjid atau di madrasah, melainkan hanya melalui internet dan ustaz youtube.
Hal semacam ini berpotensi pada terputusnya sanad keilmuan yang kemudian akan menjadi embrio fanatisme, intoleransi, dan radikalisme. Semua hal dilihat serba hitam putih, minim argumentasi dan refleksi. Akibatnya, hanya melihat kebenaran sebagai kebenaran tunggal dan merasa bahwa jemaahnya yang paling benar dan paling diridhai sedangkan yang lainnya sesat dan kafir.
Padahal, sangat penting untuk bersikap moderat dalam beragama maupun dalam dimensi kehidupan kita lainnya. Karena Islam sendiri mengajarkan itu. Nilai-nilai moderasi Islam yang meliputi tawasuth, tawazun dan tasamuh harus senantiasa kita aktualisasikan dengan menjunjung tinggi sikap toleran sehingga tercapai masyarakat Islam ideal yang “ummatan wasathan”.
Oleh karena itu, penting untuk memaknai ulang hakikat makna hijrah yang sesunggguhnya. Tidak hanya hijrah lahir, namun juga hijrah batin. Islam selalu berada dalam landskap cinta, welas asih, toleransi dan tenggang rasa sehingga mukmin yang hakiki pasti akan selalu mengaktualisasikan nilai-nilai tersebut dalam keberagamaan dan kehidupannya sehari-hari. Tidak merasa paling benar ataupun menyalah-nyalahkan orang lain.
Tren hijrah di Indonesia seharusnya kembali dilihat dengan proporsional berbasis historis, ideologis dan kultural melihat konteks Indonesia yang plural. Jika dipahami sebagai metode dakwah, maka diperlukan adanya penguatan pemahaman hijrah secara terpadu baik dari nilai-nilai normatif ataupun historisnya. Sehingga makna dan implementasi hijrah tidak hanya terkesan dalam ranah monumental romantis saja, tetapi terpadu secara simultan dan komprehensif, akomodatif terhadap konsep negara bangsa dan lebih terbuka.