Seiring dengan maraknya kasus teorisme di Indonesia, system pembelajaran di pondok pesantren mendapatkan atensi khusus. Hal ini lantaran muncul anggapan bahwa system Pendidikan pesantren menghasilkan para teroris dan pemikiran radikal. Data terbaru, pada Januari 2022 Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) melalui kepala BNPT merilis 198 pesantren terindikasi berafiliasi dengan kelompok jaringan terorisme. Sebanyak 11 pondok pesantren terafiliasi Anshorut Khilafah (JAK), 68 pondok pesantren terafiliasi jaringan kelompok Jamaah Islamiyah (JI) dan al-Qaeda, dan 119 pondok pesantren terafiliasi Jamaah Ansharut Daulah (JAD) atau simpatisan ISIS.
Banyak yang tidak setuju dengan data BNPT tersebut. Salah satunya datang dari Menteri Agama Yaqut Qalil yang menegaskan bahwa tidak ada pesantren yang mengajarkan radikalisme. Jika ada Lembaga Pendidikan yang mengajarkan radikalisme maka itu bukan pesantren. Karena definisi pesantren itu jelas, dan lahir jauh sebelum Indonesia merdeka. Pondok Pesantren al-Iman Putri Ponorogo adalah salah satu pesantren yang menolak ideologi ekstrimis dalam penyelenggaraan pendidikan. Hal ini terbuki dengan tidak adanya satupun alumni Pondok Pesantren al-Iman Putri Ponorogo yang terafiliasi organisasi transnasional.
Pondok Pesantren al-Iman didirikan di Bajang, Gandu, Mlarak Ponorogo oleh KH. Mahfudz Hakiem dan Nyai Hj. Siti Qomariyah. saat ini Pesantren al-Iman memiliki Lembaga Pendidikan Tarbiyatul Athfal, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah yang dipadukan dengan sistem KMI (Kulliyatul Muallimat al-Islamiyah) Gontor, Kemenag, dan salafiyah. Dengan jumlah santri keseluruhan saat ini sebanyak 1.200 dan 150 guru baik laki-laki maupun perempuan, dan ribuan alumni yang tersebar di seluruh nusantara.
Menolak Ideologi Ekstrimis melalui Penerapan Panca Jiwa
Panca jiwa adalah dasar pokok yang dijadikan landasan seluruh kegiatan di pondok pesantren al-Iman. Melalui panca jiwa, pesantren al-Iman putri dengan tegas menolak ideologi ekstrimis. Lantas seperti apa pengimplementasian dalam kehidupan sehari-hari para santri?
Jiwa Keikhlasan
Santri pondok pesantren al-Iman melalui prinsip keikhlasan, dibiasakan untuk menyikapi dua keadaan. Keadaan ketika dipimpin maka harus menjadi santri yang taat dan kritis, dan keadaan ketika memimpin harus berorientasi untuk kemaslahatan anggota. Sehingga para santri bisa memposisikan dan mengambil peran terbaik ketika sedang dipimpin maupun ketika memimpin.
Santri dituntut untuk mampu menyesuaikan sikap dan perilakunya sesuai dengan kondisi. Dan dalam proses kepemimpinan itu pula, para santri Pondok Pesantren al-Iman dibiasakan untuk mendidik dengan pendekatan dakwah kultural, persuasif, edukatif dan tidak melalui cara-cara kekerasan.
Jiwa Kesederhanaan (simplicity)
Konsep kesederhanaan yang diterapkan di pondok pesantren al-Iman bertujuan untuk menyeimbangkan antara konsep materialistik dan spiritualitas. Mengingat fenomena hedonism saat ini, remaja lebih mencari kesenangan hidup, menghabiskan waktunya di luar rumah untuk bersenang-senang dengan temannya, gemar membeli barang yang tidak dibutuhkan, serta selalu ingin menjadi pusat perhatian di lingkungan sekitarnya.
Dengan adanya fenomena tersebut, remaja cenderung untuk lebih memilih hidup yang mewah, enak, dan serba berkecukupan tanpa harus bekerja keras. Dampak buruk dari pola hidup hedonism remaja yang berkelanjutan ini akan memunculkan diskriminasi berdasarkan strata sosial dan kelas.
Demikian pula dengan konsep spiritualisme, bagaimanapun diciptakannya manusia di muka bumi ini salah satunya adalah karena untuk beribadah. Keseimbangan hidup dunia dan akhirat dilakukandengan menyeimbangkan segala bentuk pola kegiatan dalam menjalani kehidupan ini dengan menjadikan akhirat sebagai tujuan hidup yang harus dicapai tanpa mengabaikan kehidupan dunia serta bekerja keras dalam menjalani kehidupan ini sesuai syariat Allah
Jiwa Kemandirian
Pendidikan tentang kemandirian sangat terlihat dari pola kegiatan santri di pesantren ini. Pendidikan formal dalam kelas dilakukan selama 42 jam dalam seminggu baik putra maupun putri. Jenis mata pelajaran dan kitab yang diajarkanpun sama. Kegiatan selanjutnya adalah ekstrakurikuler setelah shalat Ashar. Ekstrakurikulernya pun bermacam-macam sesuai dengan keminatan santri. Seni bela diri, drumband, band, tari menari, olah vokal juga termasuk dalam rangkaian kegiatan di sore hari. Ektsrakurikuler yang memiliki perbedaan cukup jauh antara pesantren putra dan putri terletak di bidang olahraga. Meskipun sama-sama memiliki lapangan yang luas, namun jenis cabang olahraganya berbeda.
Di tengah kegiatan yang cukup variatif untuk menanamkan jiwa kemandirian, santri juga diarahkan untuk terbiasa menerima perbedaan diantara berbagai pilihan tersebut. Dalam setiap proses, ditekankan bahwa perbedaan preferensi juga bagian dari bagaimana menginternalisasi nilai moderasi. Karena nilai moderasi lahir dari keterbiasaan seseorang untuk tinggal di lingkungan yang mungkin saja berbeda dengan dirinya. Sikap terbiasa berada dipilihan yang berbeda ini menyiratkan gerakan moderasi.
Jiwa Ukhuwah Islamiyah
Pondok pesantren al-Iman memiliki ribuan santri dan alumni yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Namun semua santri dieratkan dengan jiwa ukhuwah Islamiyah yang tinggi, tanpa melihat nasab, ras, suku, dan keturunan. Selama mereka masuk dalam bagian kelurga besar pondok pesantren al-Iman maka tidak ada alasan untuk membeda-bedakan antar satu dengan yang lainnya. Bahkan anak kyai dan juga cucu pendiri pondok pesantren al-Iman pun diberlakukan sama dengan para santri lainnya tidak ada previlage meskipun mereka adalah keturunan dari pendiri pondok.
Karena menggunakan dasar ukhuwah islamiyah, maka segala permasalahan yang muncul diantara para santri Pondok pesantren al-Iman diselesaikan dengan prinsip musyawarah. Pun demikian jika salah satu santri mengalami musibah, maka secara otomatis santri yang lainnya dengan lapang hati akan membantu. Hal ini sejalan dengan makna moderasi sebagaimana dirumuskan oleh Yusuf al-Qaradhawi.
Yusuf alQaradhawi memandang moderat mengangkat nilai-nilai sosial seperti musyawarah, keadilan, kebebasan, hak-hak manusia dan hak minoris. Pemenuhan hak minoritas tampak dari cara Pondok pesantren al-Iman memberlakukan aturan yang sama untuk santri yang berasal dari Indonesia Timur meskipun santri minoritas. Mereka diberi kesempatan yang sama untuk mengakses semua fasilitas pendidikan di Pondok pesantren al-Iman.
Jiwa Kebebasan
Santri di pesantren al-Iman dibiasakan dengan jiwa kebebasan untuk menentukan sikap dan pilihan. Tentunya bukan kebebasan yang negatif dan tanpa batas, namun kebebasan yang berdasarkan pada nilai-nilai kebaikan. Sehingga santriterbiasa untuk berdikari dan mampu mengambil keputusan dan sikap yang bebas dari intervensi dan berkuasa penuh atas otoritasnya sebagai manusia.
Hal ini sejalan dengan salah satu ciri-ciri moderasi beragama yaitu Tahadhdhur (Berkeadaban). Dimana didalamnya menjunjung tinggi moralitas, kepribadian, budi luhur, identitas dan integrasi sebagai khoiruu ummah dalam kehidupan dan peradaban manusia.