Bagi orang awam, ketertarikan seseorang untuk masuk jaringan terorisme hingga ada yang berani mengajukan diri untuk mati akan terdengar sangat konyol, bahkan tidak masuk dalam logika. Meski begitu, tiap tahunnya masih saja ada yang terjebak dan akhirnya terperangkap dalam jejaring gerakan mereka untuk akhirnya melakukan bom bunuh diri hingga melakukan penyerangan secara individu, walau risikonya dipenjara hingga tertembak oleh polisi.
Melihat fenomena tersebut, David Wright-Neville dan Debra Smith dari Pusat Riset Terorisme Global dan Monash University usai mendalami berbagai kasus perekrutan anggota baru kelompok radikal, menyampaikan bahwa kelompok pelaku ekstremisme memaksimalkan pergolakan emosional individu untuk kemudian dimainkan sebagai umpan agar mereka tunduk serta loyal terhadap arahan organisasi.Vitalnya dinamika emosi ini sampai-sampai bisa meruntuhkan bekal pengetahuan dan kemampuan akademik si korban perekrutan kelompok radikal.
Tak heran kedua akademisi tadi menaruh perhatian besar pada proses cuci otak lewat permainan emosi yang dilakukan oleh jaringan terorisme. Terlebih, dari sisi akademisi meskipun secara luas diakui bahwa emosi secara langsung mempengaruhi perilaku tindakan kriminal ekstremisme, studi terorisme belum secara kritis menjelaskan teori yang direvitalisasi ini secara komprehensif.
Sehingga David dan Debra berpendapat bahwa ada kebutuhan untuk melihat terorisme sebagai tindakan politik yang didasarkan pada serangkaian emosi manusia tertentu. Hal itu dipicu oleh serangkaian faktor dalam lingkungan sosial para pengikut gerakan teror. Berdasarkan riset awal yang David dan Derba lakukan, ternyata modernitas dapat berkontribusi pada intensifikasi emosi dalam perilaku politik jaringan terorisme.
Mereka melihat gaya hidup modern sebagai suatu hal yang asing dan tidak sesuai dengan nilai- nilai yang mereka yakini. Bagi gerakan yang berkedok agama, modernitas selalu dipandang sebagai penghalang seseorang dekat dengan Tuhan. Sehingga para anggota jejaring terorisme ini tiap hari terus diyakinkan bahwa mengikuti alur kehidupan modern adalah satu hal yang salah dan kehidupan seperti ini perlu diberanta.
Bahkan jika memungkinkan masyarakat yang menganutnya perlu dilenyapkan sekalian untuk kemudian mereka bisa membangun generasi baru dengan sistem baru yang mereka yakini. Lebih lanjut, labelisasi era modern sebagai musuh ini secara konsisten dipupuk dengan embel-embel bahwa mereka melakukannya untuk kebaikan atau suatu hal yang positif. Narasi tersebut ditumbuhsuburkan terutama pada kelompok marjinal termasuk golongan miskin papa yang selama ini tidak terjangkau oleh pelayanan publik yang optimal.
Dampak dari doktrinasi sesat tersebut, salah satu hasilnya adalah adopsi kekerasan oleh para korban rekrutan jaringan terorisme atau individu-individu target yang sedang berusaha untuk mengatasi problematika personal mereka yang belum selesai. Jika pemerintah dan pihak pemangku kepentingan ingin meredam perluasan jaringan terorisme mereka, sebaiknya pengambil kebijakan mampu memfasilitasi kemarahan politik dengan menunjukkan pentingnya menyediakan jalan alternatif untuk afiliasi sosial dan ekspresi politik.
Apalagi kini dinamika identitas di era serba modern ternyata telah menggerogoti potensi pendekatan tradisional untuk membangun ikatan emosional dengan masyarakat luas. Oleh karena itu, strategi kontra-terorisme memerlukan kerja sama global, yang berarti perlu adanya penegasan kembali definisi sempit identitas nasional: bukan hanya merujuk ke Indonesia, tapi juga lingkungan internasional. Sebab, gerakan terorisme kini sudah melewati batas-batas wilayah tradisional antar negara.
Apalagi suatu kebijakan di negara tertentu sekarang dapat memunculkan beragam respon dari negara lain dalam hitungan detik semata. Termaasuk kebijakan diskriminatif yang dilakukan banyak pemerintah Barat dalam beberapa tahun terakhir; dari pengenalan tes kewarganegaraan di negara-negara seperti Australia dan Inggris hingga pelarangan jilbab Muslim di Prancis. Dengan demikian mereka seakan-akan melanggar prinsip toleransi dan demokrasi yang acap kali mereka gaungkan sendiri.
Tak hanya itu, program kebijakan tadi berisiko mengintensifkan pengalaman pengucilan dan keterasingan di antara mereka yang tidak mampu atau tidak mau memenuhi tuntutan bahwa mereka telah mengorbankan aspek inti dari kehidupan mereka. Dari sini, kian terlihat bahwa sejatinya ada kebutuhan untuk membangun inisiatif strategi kontra-terorisme yang tidak hanya mengakui semakin kompleksnya identitas tetapi juga menerima perbedaan sebagai suatu kebajikan.
Dengan kata lain, ada kebutuhan untuk mengembangkan inisiatif yang mengakui keniscayaan identitas ganda dan yang menerima ekspresi pandangan politik yang terkait dengan satu aspek identitas sebagai sesuatu yang sah, bahkan ketika mereka bertentangan dengan pandangan arus utama. Singkatnya, kontra-terorisme yang efektif tidak dapat terjadi tanpa perluasan ruang demokrasi untuk mengakomodasi dinamika emosi masa. Termasuk memfasilitasi kapasitas yang lebih besar untuk secara bebas berekspresi damai dari pandangan politik alternatif.