Jihad Para Komedian Melawan Gerakan Ekstremisme

Pola dan faktor pendorong tindakan kekerasan berbalut ekstremisme kian hari kian beragam. Bahkan, berdasarkan riset dari Uni Eropa, ditemukan bahwa tidak ada penyebab tunggal yang mendorong seseorang atau suatu kelompok menjalankan gerakan radikalisasi dan ekstremisme kekerasan. Secara spesifik, ternyata terdapat beragam faktor pada tingkat analisis makro, meso, dan mikro yang saling berkelindan.

Penelitian lain yang menganalisis jaringan terorisme juga telah menunjukkan bahwa baik kemiskinan maupun deprivasi sosial-ekonomi bukan selalu menjadi akar langsung terorisme. Justru pemahaman sempit tentang ideologi maupun kepercayaan lah yang cukup berpengaruh. Sebab, kesalahpahaman yang dianggap sepele ternyata dapat memicu sisi emosional seseorang, dan bisa saja mendorongnya untuk bertindak ekstrem.

Jihad Para Komedian Melawan Gerakan Ekstremisme

Dihadapkan oleh problema misinterpretasi dan isu kepercayaan di antara anggota komunitas, dalam beberapa tahun terakhir sekelompok komedian melihat masalah ini sebagai peluang mereka untuk tampil meluruskan kesalahpahaman publik lewat humor. Alih-alih memberikan ceramah serius lewat mimbar-mimbar orasi, mereka justru memilih ‘berjihad’ melalui dakwah komedi.

Terlebih, komedi telah lama menjadi media pilihan bagi orang-orang untuk membicarakan topik yang tabu atau yang cenderung mempolarisasi. Bagi comedian berdarah Amerika-Israel Benji Lovitt, komedi sejatinya berperan layaknya kail saat memancing. Komedi hanyalah alat, namun dari sana si pencari ikan akan mencari cara bagaimana mendorong agar pancingannya berhasil.

Begitu juga komedi, diharapkan menjadi penggerak agar orang membuat orang berpikir lebih dalam. Namun di satu sisi, terkadang orang tidak mau berpikiran terbuka dan menganggap lelucon terlalu serius. Sehingga mereka kehilangan kemampuan untuk menikmati humor dengan bijak. Meski berisiko, komedi masih dipandang sebagai oase dalam dakwah kultural melawan gerakan radikalisme. Terutama, ketika masyarakat luas masih haus akan hiburan dan jengah terhadap hiruk pikuk dunia.

Dalam banyak kasus, komedi justru efektif menyampaikan pesan ‘berat’ dengan cara yang amat ringan. Seperti yang dilakukan oleh Hatoon Kadi dari Arab Saudi lewat video satirnya tentang masalah perempuan dan keluarga. Selain Hatoon, Sakdiyah Ma’ruf dari Indonesia, salah satu stand-up Muslim wanita pertama di dunia, juga secara reguler mengkritik isu kekerasan dalam rumah tangga, perjodohan, hingga ekstremisme beragama di atas panggung.

Kedua figur tersebut dinilai banyak pihak telah sukses dalam mempromosikan nilai-nilai agama yang ramah nan toleran, hal yang bertolak belakang dengan agenda besar jaringan ekstremisme. Terlebih, kini kelompok radikal terus berkreasi dengan berbagai cara untuk merekrut anggota baru, termasuk lewat media sosial yang amat mudah dijangkau oleh semu orang, termasuk anak-anak muda.

Oleh karena itu, menangkal gerakan mereka pun juga harus dengan strategi yang unik dan fresh pula. Apalagi jika kita menargetkan generasi Z yang mayoritasnya lebih menyukai konten ringan ketika menilik media sosial. Dari sini, tentu dipahami kenapa komedi menjadi alternatif pilihan untuk meredam gerakan ekstremisme. Tak hanya menyajikan pendekatan yang menyenangkan, ‘jihad’ melalui komedi ternyata memiliki banyak dampak positif, terutama pada aspek kesehatan mental.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa para korban yang terjebak dalam jaringan terorisme, rata-rata memiliki gangguan kesehatan mental atau mengalami ketidakpuasan hingga depresi yang selanjutnya turut mendorong mereka untuk melakukan hal yang tidak masuk akal. Dari situ, acara komedi berpeluang membantu mereka dalam menghadapi masa-masa sulit.

Sekilas, humor mungkin tampak seperti balsem yang menenangkan sementara atau pengalihan ringan. Tapi faktanya humor berdampak sangat besar. Bukti klinis menunjukkan bahwa humor mengurangi hormon stres. Saat disibukkan dengan sesuatu yang lucu, manusia tidak dapat secara bersamaan fokus pada hal-hal negatif. Selingan yang lucu dapat memberi waktu kita untuk istirahat dari rasa khawatir.

Ruang itu, tempat di mana kita bisa merasa rileks, merupakan efek positif yang dihasilkan oleh humor. Selain dampak kesehatan, humor terbukti memberikan benefit sosial. Tertawa bersama menciptakan ikatan di antara individu. Tertawa juga mudah menular dan menyebar dengan cepat dari dua orang melalui sebuah kelompok. Orang biasanya merasa lebih dekat setelah tertawa bersama.

Humor bahkan menciptakan komunikasi yang lebih positif. Hanya dengan berbagi meme atau menceritakan lelucon, orang lain lebih cenderung ingin berbicara dengan kita. Menggunakan humor, terutama ketika kita sedang mendiskusikan topik yang ‘berat’ atau terlibat perselisihan, dapat membuka jalan untuk diskusi yang lebih baik. Cara ini efektif dalam meredakan ketegangan dan membuat orang lain rileks.

Berbagi cerita lucu tidak hanya akan menghibur teman, saudara, atau rekan kerja, tetapi juga akan meningkatkan imun kita. Suasana hati biasanya akan lebih baik dan lebih bahagia dari sebelum berbagi humor. Tak heran, sisi kemanusiaan manusia akhirnya jauh lebih mudah muncul ke permukaan ketika berbagi tawa bersama. Dan, secara tidak langsung sekat-sekat permusuhan yang menjadi sumbu gerakan ekstremisme pun runtuh ketika komedi efektif disampaikan.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tentang WGWC

Working Group on Women and Preventing/ Countering Violent Extremism (WGWC) merupakan sebuah platform jaringan bagi masyarakat sipil dan pemerintah yang bekerja untuk memperkuat pengarus-utamaan gender (gender maintreaming) dalam policy maupun intervensi penanggulangan radikalisme dan ekstrimisme (terorisme) di Indonesia. Dideklarasikan pada tanggal 24 Juli 2017 di Bogor, WGWC telah menjadi rumah bersama bagi para aktor yang bekerja dalam pengarusutamaan gender dalam pencegahan ekstremisme kekerasan.

Newsletter

Scroll to Top