Tanggal 23 Juli akan diperingati Indonesia sebagai Hari Anak Nasional (HAN). Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (the Convention on the Rights of Child) sebagai bentuk komitmen untuk melindungi, menghormati, dan memenuhi hak Anak.
Indonesia juga telah memiliki undang-undang Perlindungan Anak yang mengamanatkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk memberikan dukungan sarana, prasarana, dan sumber daya manusia dalam penyelenggaraan perlindungan anak. Peringatan HAN merupakan momentum penting untuk menggugah kepedulian dan partisipasi seluruh komponen bangsa dalam menjamin pemenuhan hak anak atas hak hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pelaksanaan HAN tahun 2022 ini telah mulai memasuki pasca pandemi, dimana terjadi perubahan dalam pola kehidupan anak. Sehingga mengalami berbagai persoalan antara lain penyesuaian kembali anak dalam kehidupan bermasyarakat, belajar, dan pemanfaatan waktu luang dengan tidak mengabaikan protokol kesehatan. Berdasarkan tantangan tersebut, tema HAN 2022, “Anak Terlindungi, Indonesia Maju”, diambil sebagai motivasi bahwa pandemi tidak menyurutkan komitmen untuk tetap melaksanakan HAN tahun ini.
Semangat peringan HAN tahun ini untuk mendorong langsung berbagai pihak untuk memberikan kepedulian langsung anak-anak Indonesia. Hal ini dilakukan agar anak-anak tetap tangguh menghadapi berbagai tantangan dalam pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus anak pada pasca pandemi COVID-19.
Perlindungan khusus ini, termasuk anak yang memerlukan perlindungan khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 59 ayat (2) UU Perlindungan Anak. Pasal 59 ayat (2) menyatakan bahwa, perlindungan khusus kepada anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Anak korban jaringan terorisme;.” Kemudian Pasal 69B UU Perlindungan Anak menyatakan bahwa, perlindungan khusus bagi Anak korban jaringan terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf k dilakukan melalui upaya:
a. edukasi tentang pendidikan, ideologi, dan nilai nasionalisme;
b. konseling tentang bahaya terorisme;
c. rehabilitasi sosial; dan
d. pendampingan sosial.
Perkembangan terorisme sebagai ancaman global, berbanding lurus dengan meningkatnya situasi yang mendukung munculnya ekstremisme berbasis kekerasan. Kondisi ini didukung oleh mudahnya kelompok teroris dalam menyebarkan pahamnya, melalui berbagai sarana komunikasi. Baik pertemuan di dunia nyata maupun instrument berbasis teknologi informasi dan komunikasi, khususnya internet (online).
Cara tersebut terbukti efektif dalam menyebarluaskan propaganda dan pemahaman ekstrem yang bertujuan mempengaruhi masyarakat untuk bersimpati dan mendukung aksi terorisme. Kelompok teroris secara aktif melakukan perekrutan, dengan target warga negara Indonesia, untuk bergabung dalam kegiatan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme, dan terlibat aksi teror, termasuk rekrutmen perempuan dan anak-anak.
Dengan perubahan perilaku komunikasi anak yang semakin aktif menggunakan internet, anak menjadi sasaran empuk. Sepanjang 2020 Polri melaporkan telah menangkap 228 tersangka kasus terorisme, menurun dibandingkan tahun 2019 sebanyak 297 dan 395 pelaku terorisme di tahun 2018. Meskipun dinyatakan menurun, bentuk terorisme semakin beragam dan pelaku teror kini melibatkan perempuan dan anak.
Data BNPT 2018 mencatat 13 perempuan terlibat aksi teror, sementara tahun 2019 bertambah menjadi 15 orang. Jumlah di tahun 2019 termasuk kasus pengeboman di Sibolga, yang dilakukan perempuan melibatkan anak-anak. Pada 2019, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menetapkan Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak omor 7 Tahun 2019 tentang Pedoman Perlindungan Anak dari Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme.
Permen ini menjadi landasan hukum untuk kerja bersama melindungi anak dari radikalisme dan tindak pidana terorisme. Hal ini kemudian didukung oleh Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional tentang Pencegahan dan Penanganan Ekstremisme Berbasis kekerasan yang mengarah pada Terorisme Tahun 2020-2024 (RAN PE). Disamping prinsip-prinsip seperti hak asasi manusia, supremasi hukum dan keadilan, pengarusutamaan gender, keamanan dan keselamatan, tata kelola pemerintahan yang baik, partisipasi pemangku kepentingan yang majemuk, serta kebinekaan dan kearifan lokal.
RAN PE menjamin proses dan pelaksanaannya juga menerapkan prinsip pemenuhan hak anak. Prinsip pemenuhan hak anak ini diharapkan mendorongkan pentingnya pemenuhan hak anak dalam konteks radikalisme, tindak pidana terorisme, dan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme.
Prinsip pemenuhan hak anak ini setidaknya terelaborasi dalam RAN PE seperti pada Kesiapsiagaan, yaitu fokus pencegahan terhadap radikalisme, tindak pidana terorisme ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme, bagi kelompok anak. Kemudian pada Kontra Radikalisasi, fokus meningkatkan efektivitas kampanye pencegahan tindak pidana terorisme dan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme di kalangan kelompok rentan; dan meningkatkan daya tahan kelompok rentan untuk terhindar dari tindak pidana terorisme dan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme.
Serta pada Deradikalisasi, dengan fokus kepada orang atau kelompok orang yang sudah terpapar paham radikal terorisme, termasuk deportan dan returni perempuan dan anak. Hari Anak Nasional 2022 sudah sepatutnya juga memberi perhatian kepada Anak korban jaringan terorisme, demikian pula kepada anak-anak yang menjadi kelompok rentan terpapar terorisme dan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme. Selamat Hari Anak Nasional!