Pada bulan Maret tahun 2021 lalu, data dari Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengungkapkan bahwa tren radikalisme cenderung menurun selama pandemi COVID-19. Penurunan tren potensi radikalisme selama pandemic COVID-19 terlihat dari hasil survei yang dilakukan BNPT bersama Alvara Research dan Yayasan Nasarudin Umar. Survei tersebut menunjukkan bahwa tren potensi radikalisme di Indonesia menurun dari tahun 2017 sebesar 55,2 persen atau pada tataran potensi kategori sedang.
Pada 2019, angkanya turun lagi menjadi 38,4 persen yang membuat Indonesia menghadapi potensi radikalisme rendah. Bahkan pada tahun2020, risiko Indonesia menjadi sangat rendah karena presentasenya berada di kisaran angka 14 persen. Namun data ini perlu disikapi dengan bijak dan jangan sampai membuat kita semua lengah. Indonesia harus tetap waspada karena maraknya terorisme melalui media online terus berjalan, dan mungkin setelah pandemi mereda, potensinya bisa jadi naik kembali.
Melihat ancaman yang masih membayangi tadi, diperlukan langkah-langkah strategis untuk menutup kemungkinan meluasnya perekrutan anggota baru dalam gerakan radikalisme, utamanya yang menargetkan anak-anak muda yang berada dalam fase pencarian jati diri. Pada fase ini, terkadang mereka mencari lingkungan aktualisasi diri dengan berbagai cara, salah satunya melalui forum keagamaan.
Di Indonesia, banyak forum keagamaan yang sudah ada sayangnya terlalu fokus pada kajian internal. Padahal, selain penguatan kapasitas internal, penguatan keyakinan dan internalisasi keimanan juga bisa dicari melalui pengenalan komunitas dan individu dengan latar belakang berbeda lewat forum lintas iman. Secara harfiah, forum lintas iman akan terlaksana ketika orang-orang atau kelompok-kelompok dari pandangan dan tradisi agama/spiritual yang berbeda berkumpul.
Bahkan forum ini dapat mencakup ateis dan agnostik, dan orang-orang yang tidak beriman. Sebab esensi dari pertemuan yang ada adalah terbangunnya dialog antar orang-orang dari keyakinan agama, spiritual, dan etis yang berbeda. Konsep forum lintas iman sendiri dilandasi oleh karakter bangsa Indonesia sebagai bangsa majemuk yang terdiri dari berbagai latar belakang agama. Sehingga komunitas heterogen yang dimiliki oleh Indonesia merupakan suatu realitas yang tak dapat dipungkiri.
Namun di satu sisi beragamnya etnis, budaya, agama yang melekat pada rakyat Indonesia dibarengi dengan rasa awas yang terkadang muncul dalam sanubari kita, karena ancaman konflik antar umat beragama terus mendera bangsa. Terlebih, realitas sosial-ekonomi bangsa ini tak berimbang di setiap elemen warga-bangsa. Melihat ancaman ini, agama sesungguhnya dapat memberi jawaban sekaligus sebagai pengikat keutuhan masyarakat yang dapat menjadi peredam konflik antar umat beragama.
Agar agama tidak menjadi faktor pemecah belah dan sumber konflik, agama perlu diposisikan sebagai pengikat persatuan. Cara praktisnya adalah dengan mengamalkan nilai-nilai toleransi dalam ritus dan ibadah dari masing-masing pemeluknya. Di mana ritus dan ibadah yang dijalankan masing-masing pemeluk bisa menjadi solidaritas sosial.
Sederhananya, para pemeluk agama perlu melihat ibadah tak hanya sekadar ritual semata, namun juga diamalkan dalam bentuk berbuat baik, tidak hanya kepada individu yang punya keyakinan sama, tapi pada komunitas yang lebih luas termasuk yang berlatar belakang berbeda. Satu contoh tindakan yang paling sederhana adalah menyapa tetangga yang beragama berbeda. Meski sepele, hal seperti ini kadang diabaikan, sehingga jika dibiarkan bisa berpotensi memupuk potensi konflik.
Oleh karenanya, bila ingin mencegah radikalisme tumbuh subur, salah satu yang bisa diamati adalah bagaimana para individu dari komunitas berbeda mau peduli dan menghargai keberadaan satu sama lain lewat saling sapa. Sebab bila tidak ada kemauan dari pemeluk agama yang saling bertegur sapa, maka akan menjadi ancaman konflik sosial, sebagai akibat dari ego masing-masing dalam mempertahankan identitas keagamaan mereka.
Kecenderungan seperti ini diakibatkan secara langsung oleh doktrin ekslusif dari agama yang dianut masing-masing individu. Konflik sosial yang dipicu oleh perbedaan agama sendiri dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain karena pemahaman agama yang sempit, sikap eksklusif yang disertai perasaan cemburu dan curiga, dan sikap stereotipe terhadap agama lain.
Beberapa sikap keagamaan ini memiliki peran dominan dalam setiap konflik sosial bernuansa agama. Atas dasar itu, forum lintas agama menjadi penting untuk terus diagendakan agar paham ekstremisme dapat diredam. Lebih lanjut, berdasarkan riset dari Santiawan dan Warta (2021), forum lintas agama terbukti sangat efektif dalam memperkuat moderasi beragama dengan tiga indikator.
Dalam forum tersebut bisa menjadi wadah memperkaya pengetahuan lintas agama, dapat berfungsi untuk mempererat persaudaraan dengan yang berbeda keyakinan. Terakhir, dapat meningkatkan pemahaman terkait budaya nasional yang beragam. Dengan demikian, forum lintas agama perlu terus digiatkan sebelum tren radikalisme mencuat kembali usai pandemi.