Bagaimana Posisi Perempuan dalam di Kelompok Radikalisme dan Terorisme?

Ada beberapa kalimat yang pasti pernah kita temui melalui pamflet yang tersebar di Instagram, sederhananya kalimatnya begini, “Khalifah melindungi perempuan. Islam memuliakan perempuan.” Saya sangat sepakat dengan kalimat di atas, sebab benar faktanya Islam memuliakan posisi perempuan dengan sebaik-baiknya. Saya juga memahami bahwa Islam juga sangat mengapresiasi orang yang mampu mengembangkan potensi dan bakat yang sudah diberikan oleh Allah dan mendorongnya menjadi orang yang mandiri.

Hal itu sejalan dengan konsep belajar yang diwajibkan setiap muslim baik laki-laki dan perempuan. Saya juga memahami sangat tidak masalah ketika ada perempuan yang berusaha untuk berdikari dengan kemampuan yang diberikan oleh Allah. Sehingga ia tampil sebagai perempuan yang tampil dengan kemampuannya. Dan dengan kemampuan itu lah, ia bisa memberikan manfaat kepada banyak orang.

Bagaimana Posisi Perempuan dalam di Kelompok Radikalisme dan Terorisme?

Di satu sisi, sangat denial sekali ketika melihat posisi perempuan dalam bayang-bayang radikalisme dan terorisme, yang diposisikan sebagai objek dalam segala tindakan yang dilakukan. Melalui bukunya yang berjudul “Seperti Memakai Kacamata yang Salah”, Lies Marcoes menjelaskan secara seksama bagaimana posisi perempuan sebagai subjek dengan tugas memproduksi anak sebagai tentara-tentara Tuhan. Artinya, peran perempuan bukan dalam hal potensi, melainkan aspek ketubuhan reproduksi sebagai mesin penghasil anak.

Tidak hanya itu, pada suatu informasi berita tentang NII (Negara Islam Indonesia), yang baru-baru ini menjadi perbicangan setelah keberadaan khilafatul muslimin. Salah satu alasan yang membuat seseorang ikut masuk NII tidak lain adalah bisa memilih gadis cantik. Tentu, alasan yang sangat geli ketika misalnya, diutarakan oleh seorang teman laki-laki kepada saya, lalu ia menjelaskan secara seksama alasan semacam itu yang membuatnya masuk NII.

Dalam organisasi keislaman seperti NII, JAD, ISIS, FPI, HTI, tidak ada ruang perempuan untuk menunjukkan kehadirannya sebagai manusia sehingga bisa terlibat dalam gerakan kemanusiaan dalam melangsungkan kebermanfaatan bagi sesama. Jika membandingkan dengan organisasi keislaman yang lain seperti Muhammadiyah, NU, sebagai salah satu organisasi besar di Indonesia, kehadiran perempuan dalam organisasi tersebut justru lambat laun dihadirkan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.

Perempuan dalam organisasi tersebut membawa jenis kelamin yang melekat pada dirinya disertai dengan kemampuan yang bisa dimanfaatkan untuk keberlangsungan organisasi. Mereka, tidak mengeksploitasi dirinya dengan ketubuhannya untuk memperbanyak anak, tidak ada yang dijadikan istri yang nantinya akan dijadikan tentara untuk melanjutkan perjuangan. Konsep itu tidak ada dalam ormas NU dan Muhammadiyah.

Pada term yang lain, keberadaan Taliban yang oleh kelompok khilafah diagung-agungkan sebagai kelompok yang membawa Islam kaffah, nyatanya tidak memberikan keadilan kepada perempuan. mereka justru mengekang perempuan dengan kebijakan yang sangat tidak ramah kepada perempuan.

Kebijakan tersebut bisa dilihat dari banyak hal, mulai dari kewajiban memakai burqa, peminggiran perempuan dalam akses pendidikan, akses berkarir dan akses untuk berperan dalam ranah publik. Kita perlu menggugat aturan tersebut karena sangat tidak memanusiakan perempuan selayaknya laki-laki. Padahal, setiap orang hidup dengan membawa masalahnya masing-masing. Bisa saja perempuan tersebut adalah single parent yang membutuhkan pekerjaan tersebut untuk menghidupi keluarganya.

Maka tidak salah, ketika perempuan sudah masuk bagian dari gerakan radikalisme, disadari atau tidak, pasti menjadikan dirinya sebagai subjek penuh atas kendali sistem yang ada. Mereka, para aktifis khilafah tidak jarang pula, mengkritik kehadiran perempuan dalam ranah politik. Padahal, ruang itu sangat penting bagi perempuan untuk menciptakan aturan yang ramah terhadap perempuan dengan segala kebutuhan fisiologis yang dimiliki.

Mereka juga mengkritik para perempuan yang berdikari dan go international, namun tidak membawa nama Islam secara lisan, dianggap tidak islami. Padahal, wajah Islam tidak hanya tampil karena seseorang menyebutnya dirinya muslim, lebih dari itu, orang lain justru melihat kepada kemampuan, karakter dan kepribadian. Atas dasar itu, kemudian orang lain melihat, agama yang melatar belakangi kemampuannya tersebut.

Selain itu, ruang untuk berdikari sebagai perempuan, menjadi orang tua tunggal yang penuh dengan kewajiban dan tanggung jawab, dihadapkan dengan situasi kemiskinan dan kekurangan yang merajalela, belum menjadi pertimbangan yang besar dalam perjuangan para perempuan di tengah bayang-bayang radikalisme dan terorisme.

Penulis

Opini

Di sini kita membahas topik terkini tentang perempuan dan upaya bina damai, ingin bergabung dalam diskusi? Kirim opini Anda ke sini!

Scroll to Top