Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual telah disahkan oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 9 Mei 2022. Lalu, pada 2021 telah disahkan RAN PE. Apakah UU TPKS mendukung pencegahan ekstremisme kekerasan? Kekerasan seksual merupakan pelanggaran hak asasi manusia, kejahatan terhadap martabat kemanusiaan, serta bentuk diskriminasi yang harus dihapuskan. Data menunjukkan kebanyakan korban kekerasan seksual adalah kelompok rentan, seperti perempuan, anak, dan penyandang disabilitas.
Kekerasan seksual merupakan salah satu kekerasan berbasis gender (gender based violence) yang menimbulkan dampak luar biasa kepada korban. Begitu juga eliputi penderitaan fisik, mental, kesehatan, ekonomi, dan sosial hingga politik. Dampak kekerasan seksual juga sangat memengaruhi hidup korban. Bahkan, dampak untuk korban semakin menguat ketika korban berasal dari masyarakat yang marginal secara ekonomi, sosial, dan politik. Atau mereka yang memiliki kebutuhan khusus, seperti anak dan penyandang disabilitas.
Ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme sangat berkaitan erat dengan konflik. Perkembangan radikalisme dan ekstremisme di wilayah yang sedang berkonflik maupun pasca konflik membawa dampak lebih buruk pada kekerasan berbasis gender. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa menempatkan pencegahan konflik dan kesetaraan gender termasuk pemberdayaan perempuan menjadi pilar penting dalam rencana aksi. Begitu juga dapat didorongkan untuk diturunkan dalam bentuk rencana aksi nasional.
Aspek gender dalam menganalisis permasalahan terorisme dan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme, sangat penting guna melihat hubungan kekerasan seksual yang kebanyakan dialami perempuan dan anak dalam situasi konflik. Pasal 3 UU TPKS mengatur bahwa substansi dalam UU TPKS bertujuan untuk: mencegah segala bentuk kekerasan seksual; menangani, melindungi, dan memulihkan Korban; melaksanakan penegakan hukum dan merehabilitasi pelaku; mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual; dan menjamin ketidakberulangan kekerasan seksual.
Jika menelisik UU TPKS, ada beberapa hal yang dapat dikatakan berkaitan dengan konflik dan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme. Pertama, selain mengatur jenis-jenis tindak pidana kekerasan seksual, hukum acara khusus, hak-hak korban, penyelenggaraan pelayanan terpadu, Pasal 15 ayat (1) UU TPKS mengatur pemberatan pidana penambahan 1/3 (satu per tiga) jika:
a. dilakukan dalam lingkup Keluarga;
b. dilakukan oleh tenaga kesehatan, tenaga medis, pendidik, tenaga kependidikan, atau tenaga profesional lain yang mendapatkan mandat untuk melakukan Penanganan, Pelindungan, dan Pemulihan;
c. dilakukan oleh pegawai, pengurus, atau petugas terhadap orang yang dipercayakan atau diserahkan padanya untuk dijaga;
d. dilakukan oleh pejabat publik, pemberi kerja, atasan, atau pengurus terhadap orang yang dipekerjakan atau bekerja dengannya;
e. dilakukan lebih dari 1 (satu) kali atau dilakukan terhadap lebih dari 1 (satu) orang;
f. dilakukan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan bersekutu;
g. dilakukan terhadap Anak;
h. dilakukan terhadap Penyandang Disabilitas;
i. dilakukan terhadap perempuan hamil;
j. dilakukan terhadap seseorang dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya;
k. dilakukan terhadap seseorang dalam keadaan darurat, keadaan bahaya, situasi konflik, bencana, atau perang;
l. dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik;
m. mengakibatkan korban mengalami luka berat, berdampak psikologis berat, atau penyakit menular;
n. mengakibatkan terhentinya dan/atau rusaknya fungsi reproduksi; dan/atau
o. mengakibatkan Korban meninggal dunia.
Pada Huruf k secara spesifik menyebut, jika dilakukan terhadap seseorang dalam keadaan darurat, keadaan bahaya, situasi konflik, bencana, atau perang. Jelaslah bahwa UU TPKS menegaskan situasi konflik sebagai salah satu situasi yang penuh kerentanan, sehingga sudah sepantasnya diberikan pemberatan pidana.
Kedua, di dalam aspek pencegahan yang diatur dalam Pasal 79 ayat (3), yaitu bahwa penyelenggaraan pencegahan tindak pidana kekerasan seksual dilakukan dengan memperhatikan situasi konflik, bencana, letak geografis wilayah, dan situasi khusus lainnya. Menjadi jelas bahwa pencegahan kekerasan seksual harus memperhatikan situasi konflik dan situasi khusus lainnya.
UU TPKS memandatkan sejumlah peraturan pelaksanaan. Pasal 91 ayat (1) menyatakan bahwa peraturan pelaksanaan dari UU TPKS harus telah ditetapkan paling lambat dua tahun terhitung sejak UU TPKS diundangkan. Kiranya penyusunan peraturan pelaksaan tersebut dapat memperhatikan aspek konflik dan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme.
Hal sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial. Serta dalam Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah Pada Terorisme Tahun 2020-2024.